BAB I
PENDAHULUAN
A.
Dasar
Pemikiran
Kalau
kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah
kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet
(1987:19)[1],
telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang
dibahas pada kajian linguistik.
Bahasa
sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa
alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan
cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan
gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi.
Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya.
Meskipun
dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya
bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang
memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian.
Kata
linguistik (yang sepadan dengan linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Belanda)
diturunkan dari kata bahasa Latin lingua yang
berarti ‘bahasa’. Di dalam bahasa-bahasa Roman yakni bahasa-bahasa yang berasal
dari bahasa Latin, terdapat kata yang serupa atau mirip dengan kata Latin lingua itu. Antara lain, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, langue (dan langage) dalam bahasa Prancis. Bahasa Inggris yang memungutnya dari
langage Prancis menggunakan bentuk language.
Perlu
diperhatikan bahwa bahasa Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue dan langage dengan makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris,
bahasa Batak, atau bahasa Prancis. Sedangkan langage berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan
“Manusia punya bahasa sedangkan binatang tidak”. Di samping istilah langue dan langage bahasa
Prancis masih punya istilah lain mengenai bahasa yaitu porole. Parole adalah bahasa dalam wujudnya yang nyata, yang konkret, yaitu
yang berupa ujaran.
Parole adalah
yang diucapkan manusia dalam kegiatan sehari-hari. Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu, maka sifatnya
lebih abstrak. Sedangkan langage adalah
sistem bahasa manusia secara umum maka sifatnya paling abstrak.
Ilmu
linguistik sering juga disebut linguistik umum (general linguistics). Tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja,
seperti bahasa Batak atau bahasa Jawa, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa
pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia. Contoh
kata bahasa Indonesia perpanjang
dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan panjang (morfem
akan dibahas pada pembahasan Morfologi). Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna ‘sebabkan
jadi’; perpanjang berarti ‘sebabkan
sesuatu menjadi panjang’. Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) befriend yang berarti ‘menjadikan
sahabat’. Di sini jelas ada morfem be- dan
morfem friend; dan mrfem be- juga memberi makna kausatif. Dengan
membandingkan kedua contoh di muka, kita mengenali adanya morfem pembawa makna
kausatif baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Begitulah semua
bahasa, meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada
ciri-cirinya yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti oleh linguistik
dan karena itu pula nama ilmu ini, linguistik, biasa disebut linguistik umum.
Sebagai
alat komunikasi manusia bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan
sekaligus sistemis. Yang dimaksud dengan sistematis adalah bahwa bahasa itu
bukan suatu sistem tunggal, melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem,
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik. Kajian mengenai subsistem ini,
yang merupakan cabang dari linguistik, akan dibahas pada pembahasan
selanjutnya.
Setiap
disiplin ilmu biasanya dibagi atas bidang-bidang bawahan (subdisiplin)[2]
atau cabang-cabang berkenaan dengan adanya hubungan disiplin itu dengan
masalah-masalah lain. Pembagian atau pencabangan itu diadakan karena objek yang
menjadi kajian disiplin ilmu itu sangat luas atau menjadi luas karena
perkembangan dunia ilmu.
Demikian
pula dengan linguistik. Mengingat bahwa objek linguistik, yaitu bahasa,
merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia
sebagai mahluk sosial, sedangkan kegiatan itu sangat luas, maka subdisiplin
atau cabang linguistik itu pun menjadi sangat banyak.
B.
Rumusan Masalah
Pokok pembahasan
dalam makalah ini cakupan linguistik, maka rumusuan masalahnya adalah sebagai
berikut;
a. Apa cakupan linguistik dengan pendekatan struktural?
b. Apa cakupan linguistik dengan pendekatan fungsional?
c. Apa cakupan linguistik jika dikaitkan dengan cabang
ilmu lain seperti; sosiolinguistik,
psikolinguistik, linguistik terapan, neurolinguistik, linguistik komputasional,
linguistik antropopogis, linguistik filosofis?
C.
Tujuan Makalah
Makalah ini dibuat dalam rangka pemenuhan tugas
kelompok mata kuliah linguistik dengan dosen pengampu; Ibu Siti Wachidah, Ph.D. Selain itu juga untuk menerangkan apa saja cakupan linguistik itu dengan
pendekatan struktural, fungsional dan jika dikaitkan dengan cabang ilmu
lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Cakupan linguistik dengan pendekatan struktural
Cakupan linguistik dengan
pendekatan struktural ini dikaji pada linguistik mikro yang kajiannya pada
struktur internal suatu bahasa tertentu
atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya. Sejalan dengan adanya
subsistem bahasa, maka dalam linguistik mikro ada subdisiplin linguistik
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi.[3]
Studi linguistik mikro ini sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik sebab
yang dipelajari adalah struktur internal bahasa itu.
A. Fonologi
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara
etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu[4]. Menurut hierarki satuan
bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan
fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Sebagai contoh
pada bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik]
<idak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris < pace >, < space > dan < map >, juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada
deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran
studi fonetik. Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan
bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi
[p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi
contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan
berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.
1. Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan proses
terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik
artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris[5].
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis
atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara
manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi
itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari
bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga
jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik
artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana
bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik
akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih
berkenaan dengan bidang kedokteran.
2. Fonemik
Fonemik adalah
bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna kata[6].
2.1 Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui
apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya
sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan
satuan bahasa lain yang mirip. Misalnya, kata laba dan raba. Perbedaan pada
kata tersebut adalah pada bunyi [l] dan [r]. Maka,
dapat disimpulkan bunyi [l] dan bunyi [r] adalah
dua buah fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia yaitu fonem [l]
dan fonem [r].
2.2 Alofon
Alofon adalah
realisasi dari fonem, atau pengucapan yang konkret dari sebuah fonem. Dalam
bahasa Indonesia, fonem [o] mempunyai dua alofon, yaitu bunyi [ͻ
] seperti pada kata tokoh dan bunyi [o] seperti pada
kata toko. Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis.
Artinya, benyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya.
2.3 Perubahan Fonem
1) Asimilasi dan Disimilasi
Asimilasi adalah
peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat dari bunyi
yang ada di lingkungannya sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai
ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Misalnya, kata Sabtu biasa
diucapkan [saptu], di mana bunyi [b] berubah
menjadi [p] karena pengaruh bunyi [t]. Asimilasi
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Asimilasi progresif
Bunyi yang diubah terletak di belakang bunyi yang Kata
mit der Frau (Belanda) diucapkan mempengaruhinya [mit ter
Frau]
2) Asimilasi regresif
Bunyi yang diubah terletak di muka bunyi yang
mempengaruhinya Kata op de weg (Belanda) diucapkan [obdeweg]
3) Asimilasi resiprokal
Perubahan terjadi pada kedua bunyi yang saling
mempengaruhi Kata Bereng hamu (Batak Toba) diucapkan [berek
kamu]
Disimilasi adalah
perubahan bunyi yang menyebabkan dua buah fonem yang sama menjadi berbeda atau
berlainan[7].
Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata cipta dan cinta yang
berasal dari bahasa Sansekerta citta. Kita lihat, bunyi [tt] pada
kata citta berubah menjadi bunyi [pt] pada kata cipta dan
menjadi bunyi [nt] pada kata cinta.
2) Netralisasi dan Arkifonem
Dalam bahasa
Belanda kata hard dilafalkan [hart]. Dalam bahasa adanya
bunyi [t] pada posisi akhir kata yang dieja hard adalah
hasil netralisasi. Fonem /d/ pada kata hard yang bisa berwujud /t/ atau
/d/ disebut arkifonem[8].
Contoh lainnya, dalan bahasa Indonesia kata jawab diucapkan [jawap];
tetapi bila diberi akhiran –an bentuknya menjadi jawaban. Jadi,
di sini ada arkifonem /B/, yang realisasinya bisa berupa [b] atau
[p].
3) Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Kata umlaut
berasal dari bahasa Jerman yang berarti perubahan vokal sedemikian rupa
sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari
vokal yang berikutnya yang tinggi. Misalnya, dalam bahasa Belanda bunyi [a]
pada kata handje lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan bunyi [a]
pada kata hand. Penyebabnya adalah bunyi [y] yang
posisinya lebih tinggi dari bunyi [a]. Ablaut adalah
perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa Indo-Jerman untuk menandai
berbagai fungsi gramatikal. Misalnya, dalam bahasa Inggris kata sing berubah
menjadi sang atau sung untuk penandaan kala.
Perubahan bunyi
berupa harmoni vokal atau keselarasan vocal terdapat dalam bahasa Turki.
Misalnya, kata at ’kuda’ bentuk jamaknya adalah atlar
’kuda-kuda’; oda ’rumah’ bentuk jamaknya adalah odalar
’rumah-rumah.
4) Kontraksi
Perubahan bunyi
berupa kontraksi adalah pemendekan lafal[9].
Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata tidak tahu menjadi ndak tahu;
dalam bahasa Inggris kata will not menjadi won’t.
5) Metatesis dan Epentesis
Proses metatesis
bukanlah mengubah bentuk fonem menjadi fonem lain, melainkan mengubah urutan
fonem yang terdapat dalam kata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia selain
bentuk jalur ada lajur;
selain kolar ada koral. Dalam proses epentesis sebuah fonem
tertentu, biasanya yang homorgan dengan lingkungannya, disisipkan ke dalam
sebuah kata. Misalnya, ada kampak di samping kapak; ada sampi di
samping sapi.
B. Morfologi
1. Pengertian morfologi
Morfologi
adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem.
Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata.
Dalam
pembahasan mengenai fonologi, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang
membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah
dua fonem yang membedakan arti.
Sekarang jika kata mati itu dirubah menjadi kematian atau mati-matian maka dua kata terakhir ini
adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai
arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe
= form = bentuk). Karena itu ada yang memberi
definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti.
2. Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem
atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya
dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara
berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem.
Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan
tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat.
Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang
berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah
morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb.
Ternyata bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri
dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan
demikian bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem.
Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem
yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk
merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.
Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat
pada contoh sebelumnya, kemudian bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada
pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.
Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama,
yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama
itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga
sama.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau
bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh
(4): menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat
berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu,
ternyata kalau bentuk menelantarkan memang
punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.
3. Morfem, Morf dan Alomorf
Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata,
yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung persegi, dan dengan fonem-
fonem yang diapit diantara garis kanan, maka morfem-morfem lazim dilambangkan
dengan mengapitnya diantara kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort
dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai { comfort }+ {-able},
uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau
(dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu
hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental).
Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang
diapit diantara kurung kurawal itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya
(yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua
morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet
sebagai{foot}+{jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep}+{Ǿ}. Pelambangan
seperti “{jamak}” itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan
yang abstrak: dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”,
dapat juga berupa nada tertentu.
Berbeda dengan morfem, almorf-almorfnya jauh lebih
konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Jadi, alomorf
adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap
morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau
bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk
yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya,
sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui
status morfemnya.
4. Klasifikasi morfem
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan
kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya[10]
a. Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam
pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia): pulang, makan, dan bagus adalah termasuk morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak
dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa
Indonesia.
b. Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang
dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau
merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain.
Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan
{pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian yang
terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem
terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua
morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah
konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat
yang terbagi pula. Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar
untuk kata-kata : kataba (ia laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan
telah menulis,), maktabun (perpustakaan).
c. Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem
suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental
adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem
{lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah
morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang
dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi.
d. Morfem beralomorf zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai
morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah
satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure
suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”
e. Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah
dikotomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal.
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara
inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan
morfem lain. Seperti: {kuda}, {pergi}, {lari}, {merah}. Sebaliknya morfem yang
tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri,
akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti: {ber-}, {me-}, dan {ter-}.
f. Morfem Dasar, Dasar,
Pangkal, dan Akar
Sebuah morfem
dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses
morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa
diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain
dalam suatu proses morfologi.
Istilah pangkal
(stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses
pembubuhan afiks infleksi. Misalnya, dalam bahasa Inggris kata books pangkalnya
adalah book. Dalam bahasa Indonesia, kata menangisi pangkalnya adalah tangisi.
Akar atau (root)
digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi.
Misalnya, kata Inggris untouchables akarnya adalah touch.
C. Sintaksis
1. Pengertian Sintaksis
Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’
+ tattein ‘menempatkan’. Jadi kata
sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata atau kalimat[11]. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata
dalam tuturan[12].
Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur
gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah
frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan
orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian
atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase”.
2. Kata sebagai Satuan Sintaksis
Dalam tataran sintaksis
kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi komponen
pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata,
hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam
hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase,
klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan
sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu
yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori
nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas
adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi[13].
3. Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal
yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut
gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Frase tidak
memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya
dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna
baru atau memiliki satu makna. Fase terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen
komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar.
Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan
frase eksosentrik yang nondirektif.
b. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu
unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan
keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat
menggantikan kedudukan frase tersebut.
c. Frase Koordinatif adalah frase yang komponen
pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan
secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
d. Frase Apositif adalah frase koordinatif yang kedua
komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya
dapat dipertukarkan.
4. Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan
kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada
komponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang
lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan.
Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada
konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi
nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final
kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya
klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas dalah klausa yang mempunyai
unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan predikat, dan
karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat
memiliki struktur yang tidak lengkap.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi
predikatnya dapat dibedakan adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa
ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan adanya berbagai
tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa
refleksif dan klausa resprokal.
Klausa ajektival adalah klausa yang
predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun frase. Klausa
adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional
adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori.
Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya
berupa kata atau frase numerila. Klausa berupasat adalah klausa yang subjeknya
terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase
nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
5. Kalimat
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang
berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis
yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang
disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan
konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final
yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif,
intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai,
kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non
Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk
dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan
afirmarif. Di dalam praktek berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti
daripada kalimat inti. Kalimat di bagi menjadi[14]:
1) Kalimat Tunggal dan Kalimat
Majemuk
Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut
disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari
satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan
klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif
(konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk
subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks (
terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik dihubungkan secara koordinatif maupun
subrodinatif atau disebut kalimat majemuk campuran.
2) Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki
unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau
klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja, ataukah
keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.
3) Kalimat Verbal dan Kalimat
Non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari
klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang
berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya
bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4) Kalimat Bebas dan Kalimat
Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi
untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana
tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat
terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap,
atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada
tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis.
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa.
Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.
6. Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga
dalam hierarki gramatikal merupakan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah
terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian. Alat-alat gramatikal
yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain:
konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai
rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang
kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek
semantik. Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana
wacana itu dilihat. Pertama-tama dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis
berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari
penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi.
Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap,
maksudnya adalah wacana ini satuan ”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan
dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya
kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana itu.
2.
Cakupan linguistik dengan
pendekatan fungsional
2.1 Linguistik
Fungsional Sistemik
Pada bagian ini, pembaca akan disuguhi dengan beberapa istilah yang mungkin tidak baru
lagi. Istilah-istilah itu adalah; teks dan konteks, register, transitivitas,
modalitas, tema-rema.
Linguistik fungsional Sistemik (LFS) dikenal sebagai penyedia kerangka
deskriptif dan penafsiran yang sangat berguna untuk memandang
bahasa sebagai sumber daya strategis dan pemberi makna. Persepsi linguistik
fungsional adalah bahasa diperlukan manusia untuk melakukan tiga fungsi, yakni
menggambarkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Ketiga fungsi ini
merupakan hakikat hidup dan kebutuhan manusia normal.
Pada dasarnya dalam prespektif
linguistik fungsional bahasa adalah sistem arti dari sistem lain (sistem bentuk
dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Dua konsep dasar teori
linguistik fungsional adalah:
a.
Bahasa merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai
semiotik
social
b.
Bahasa merupakan teks yang konstrual (saling menentukan dan
merujuk) dengan konteks sosial.
Para pakar
linguistik sistemik memiliki minat dan perhatian bagaimana orang memakai bahasa
untuk berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sosial. Minat ini mendorong
para pakar linguistik untuk mengajukan teori tentang bahasa yaitu pemakaian
bahasa bersifat fungsional, fungsinya ialah untuk memberi makna-makna,
makna-makna tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Dan proses
pemakaian bahasa merupakan proses semiotik, yaitu proses pemberian makna dengan
cara memilih.
Konsep fungsional
memiliki tiga pengertian yang saling berhubungan. Pertama, pengertian
fungsional adalah bahasa terstruktur berdasarkan fungsi yang akan dimainkan
oleh bahasa dalam kehidupan manusia. Hal ini disebut fungsional berdasarkan
tujuan pemkaian bahasa, yang kedua adalah metafungsi bahasa, yakni fungsi
bahasa dalam pemakaian bahasa. Yang ketiga, dikatakan bahwa setiap unit bahasa
adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu
menjadi unsur. Dengan pengertian fungsional ketiga ini ditetapkan bahwa morfem
fungsional di dalam kata, kata fungsional dalam grup atau frase, grup atau
frase fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa
kompleks.
Pendekatan
linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial, berkait dengan
sosiologi dan hanya dipahami dalam konteks sosial. Semiotik sosial menganalisis
bahasa, wacana atau teks merupakan sebuah aktifitas semiotik. Semiotik
pemakaian bahasa terdiri dari semiotik denotatif dan semiotik konotatif.
Semiotik denotatif
memiliki arti dan bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik denotatif terbentuk
dalam hubungan antar strata (level)
aspek bahasa yang terdiri atas arti (semantiks),
tata bahasa (lexicogrammar) dan bunyi
(phonology) atau tulisan (graphology). Semiotik denotatif bahasa
menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan
oleh ekspresi. Semiotik denotasi bahasa menunjukkan bahwa semantik
direalisasikan tata bahasa dan tata bahasa direalisasikan oleh bunyi (fonologi)
dalam bahasa lisan atau tulisan (grafologi) dalam bahasa tulisan.
Semiotik konotatif
hanya memiliki arti dan tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik
konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri
atas ideologi, konteks budaya (context of
culture) dan konteks sosial (register)[15]. Sebagai semiotik
konotatif, konteks sosial membentuk strata dengan ideologi menempati strata
tertinggi yang memiliki sifat abstrak dan kemudian diikuti oleh budaya dan
konteks situasi. Semiotik konotatif pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi
tidak memiliki bentuk dan meminjam budaya sebagai bentuknya. Ideolgi
direalisasikan oleh budaya yang juga tidak memiliki bentuk dan budaya
direalisasikan oleh konteks situasi. Konteks situasi meminjam semiotik yang
berada di bawahnya yaitu bahasa. Bahasa sebagai semiotik sosial adalah bahasa
berfungsi di dalam konteks sosial atau bahasa fungsional di dalam konteks
sosial.
Teks adalah unit
arti dan wujud sebagai hasil interaksi dalam konteks sosial. Arti harus
direalisasikan oleh bentuk, artinya arti dapat direalisasikan bunyi, kata,
frase, klausa atau kalimat.
Konteks pemakaian
bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian
bahasa. Konteks mengacu kepada segala sesuatu yang mendampingi teks. Konteks
mencakup dua pengertian yakni 1) konteks linguistik (yang disebut konteks
internal), 2) konteks sosial (konteks eksternal). Jadi linguistik fungsional
tidak hanya suatu teori untuk analisis tertentu, tetapi merupakan satu kerangka
teori linguistik umum yang dapat digunakan untuk melakukan analisis mulai dari
tataran fonologi sampai tataran di atas wacana (pembahasan mengenai wacana
sudah ada di muka).
2.2 Metafungsi
Bahasa
Metafungsi bahasa merupakan fungsi
bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Dalam konsep teoritis
metafungsi memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memahami bahasa dengan
dunia luar bahasa dan juga sebagai titik pertemuan yang telah membentuk bentuk
tata bahasa. Dengan kata lain, konsep metafungsi yang menghubungkan antara
bentuk-bentuk internal bahasa dan kegunaannya dalam semiotik konteks sosial.
Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem
linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu suatu bentuk
realisasi dari semiotik sosial. Bahasa memiliki tiga fungsi dalam kehidupan
manusia yaitu memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
Metafungsi memiliki tiga komponen yaitu
ideasional, interpersonal, dan tekstual. Sedangkan jika seseorang merealisasikan
pengalamannya yang bukan merupakan pengalaman linguistik dapat berupa kenyataan
dalam kehidupan manusia atau kejadian sehari-hari. Pengalaman bukan linguistik
dan direalisasikan ke dalam pengalaman linguistik terdiri dari tiga unsur yaitu
proses, partisipan, dan sirkumstan.
Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga)
komponen yaitu interpersonal, ideasional dan tekstual adalah tiga makna abstrak
(nuansa makna) yang dikandung dalam klausa atau teks. Sumber ideasional
berhubungan dengan pemahaman dari pengalaman : apa yang telah terjadi, termasuk
apa yang dilakukan seseorang terhadap siapa, di mana, kapan, kenapa dan
bagaimana hubungan logikal terjadi antara satu dengan yang lainnya. Sumber
interpersonal membahas hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi,
termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan sumber tekstual membahas
alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal disebarkan pada
semiosis, termasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan, gambar,
musik, dll).
Makna ideasional memiliki fungsi yang
berhubungan dengan dunia realitas dalaman dan luaran; yaitu bahasa adalah
memaparkan tentang sesuatu. Apabila seseorang mempunyai refleksi terhadap dunia
fenomena di luar atau dunia dalaman kesadaran seseorang, representasi dari
refleksi tersebut mengambil bentuk. Bentuk ini disebut fungsi eksperensial (experential). Selain fungsi eksperensial, di dalam
konsep fungsi ideasional ada fungsi atau makna logis “logical” yang menyimpan
informasi tentang cara satu situasi berhubung dengan situasi lainnya.
Makna interpersonal memiliki fungsi
sebagai klausa pertukaran yang merepresentasikan hubungan peran pertuturan.
Apabila dua penutur menggunakanbahasa untuk berinteraksi, satu hal yang
dilakukan mereka adalah menjalin hubungan sosial di antara mereka. Di sini
mereka mulai menyusun dua jenis peran atau fungsi pertuturan yang fundamental
yaitu memberi dan meminta informasi. Sistem klausa direpresentasikan melalui
struktur moda klausa yaitu modus dan residu.
Makna tekstual merupakan sebuah
interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan, yaitu berfungsi sebagai
pembentuk teks dalam bahasa. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang
untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional
dan kontekstual. Pada tingkat teks, makna ini terdiri dari bagaimana
unsur-unsur interklausa diorganisir untuk menyatukan suatu kesatuan seluruh
teks untuk membuat makna-makna. Dengan menunjukkan adanya fungsi tekstual pada
sebuah teks yang diorganisir atau dibentuk. Makna tekstual bahasa dalam fungsinya
sebagai sebuah pesan direalisasikan melalui sistem tema bahasa. Sistem tema
dari sebuah klausa direpresentasikan oleh struktur tematik klausa yang terdiri
dari tema dan rema.
![]() |
Konteks sosial terjadi dari tiga unsur,
yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur
konteks sosial tersusun di atas teks. Bahasa, terdiri atas tiga bagian atau tingkat,
yakni semantik, tata bahasa atau leksikogramar, dan ekspresi. Ekspresi dapat
berupa bunyi (fonologi), tulisan (grafologi), atau isyarat. Ketika unsur bahasa
dan ketiga unsur konteks sosial membentuk semiotik yang berstrata banyak (multistratified
semiotics), anak
panah menunjukkan arah realisasi, yakni ideologi direalisasikan budaya, yang
selanjutnya direalisasikan oleh situasi, yang seterusnya direalisasikan oleh
semantik, yang selanjutnya direalisasikan oleh leksikogramar, yang akhirnya
diekspresikan oleh fonologi, grafologi, atau isyarat.
Secara rinci pada fungsi ideasional
direalisasikan oleh Medan makna, fungsi anatarpersona
direalisasikan oleh Pelibat, dan fungsi tekstual direalisasikan
oleh Sarana atau Cara. Pada strata budaya tidak ada
pemisahan realisasi ketiga unsur metafungsi. Strata Budaya mengatur atau
menentukan unsur medan apa yang ditetapkan bergabung dengan pelibat, dan sarana
tertentu. Dengan kata lain, budaya mengatur apa (medan) yang boleh dilakukan
siapa (pelibat) dan dengan (sarana) atau cara bagaimana. Strata ideologi
merupakan unsur tertinggi yang menentukan budaya. Realisasi ketiga metafungsi
bahasa terdapat pada strata ideologi. Spesifikasi realisasi masing-masing unsur
metafungsi terjadi pada strata situasi, semantik (wacana), dan leksikogramar
atau tata bahasa.
2.3
Modalitas
Modalitas adalah sarana linguistik yang
memungkinkan penutur dapat mengekspresikan ujaran yang berbeda-beda dari
komitmen atau keyakinan pada suatu proposisi yang diucapkannya.
Keraf dalam Ramadian menamakan modalitas denga keterangan
kecaraan.Keraf membagi Modalitas atas tujuh bagian yaitu : 1) kepastian, 2) kesangsian,
3) pengakuan, 4) keinginan, 5) ajakan, 6) larangan dan 7) keherananan.
Menurut Saragih “modalitas adalah
pandangan, pendapat pribadi, sikap atau komentar pemakai bahasa terhadap
paparan pengalaman yang disampaikannya dalam interaksi.” Modalitas, sebenarnya
tidak punya arti khusus,
tetapi bertugas untuk menunjukkan cara
(modus) yang digunakan seseorang untuk menyatakan makna pikirannya atau bahkan
upayanya untuk mengubah arti suatu ungkapan. Misalnya pada kalimat ’saya ingin mandi’,
mengandung pengertian bahwa si pembicara bermaksud untuk membersihkan diri
karena sudah terlalu lelah selama perjalanan jauh yang telah ditempuhnya,
sedangkan pada kalimat ‘saya ingin kamu segera mandi’ menyatakan separuh
perintah pada lawan bicara untuk mandi agar kelihatan bersih atau agar tidak
terlambat pergi sekolah, misalnya.
3.
Linguistik
dikaitkan dengan cabang ilmu lain
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu yang berkaitan
dengan linguistik merupakan pembahasan yang saling berkaitan satu sama lain
yang membahas tentang suatu fenomena bahasa, ragam bahasa, maupun variasi yang
digunakan oleh setiap individu atau sekelompok orang yang berbeda dalam
kelompok social tertentu. Berikut adalah cakupan linguistik dikaitkan dengan
cabang ilmu lain:
1.
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik bersasal
dari kata “sosio” dan “linguistic”.
Sosio sama dengan kata sosial yaitu
berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa
khususnya unsur-unsur bahasa dan antara unsur-unsur itu. Jadi, sosiolinguistik
adalah kajian yang menyusun teori- teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa.
Berdasarkan pengertian sebelumnya, sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa khususnya
perbedaan-perbedaan yang terdapat
dalam bahasa yang berkaitan dengan
faktor-faktor kemasyarakatan ( Nababan 1993:2).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik tidak hanya mempelajari
tentang bahasa tetapi juga
mempelajari tentang aspek-aspek
bahasa yang digunakan oleh masyarakat.
Sosiolinguistik merupakan
ilmu antardisiplin antara sosiologi
dengan linguistik, dua bidang
ilmu empiris yang mempunyai
kaitan erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia
didalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada
didalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu
terjadi, berlangsung, dan tetap ada.
Dengan memperlajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu
masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan dengan lingkungannya,
bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya
masing-masing didalam masyarakat.
Sedangkan lingustik adalah
bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajian. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu didalam masyarakat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang
ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu dalam masyarakat.[16]
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah
antardisipliner yang mempelajari
bahasa dalam kaitannya dengan bahasa yang
digunakan dalam lingkungan tersebut.
Sosiolinguistik memandang
bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistekomunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi
dalam situasi konkrit. Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa sosiolinguistik berarti mempelajari tentang bahasa
yang digunakan dalam daerah tertentu atau dialek tertentu.
Ditinjau dari nama,
sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah
masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian sosiolinguistik
adalah kajian tentang bahasa yang
dikaitkan dengan kondisi
kemasyarakatan (Sumarsono 2004:1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan
dengan kondisi masyarakat tertentu.
Sebagai anggota masyarakat
sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk
nilai-nilai ketika dia menggunakan
bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan
ini diwujudkan dalam kaidah-kaidah yang
sebagian besar tidak tertulis
tapi dipatuhi oleh warga masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik
itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan
masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan
penutur, bahasa sebagai anggota masyarakat.
1.1 Kegunaan
Sosiolinguistik
Kegunaan sosiolinguistik
bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi
verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya
sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Pertama-tama
pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau
berinterakasi.
Sosiolinguistik akan
memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukan bahasa,
ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika berbicara
dengan orang tertentu.
Sosiolinguistik juga akan
menunujukan bagaimana kita harus berbicara bila kita berada didalam mesjid,
diruang perpustakaan, dan ditaman.
2.
Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah
penggabungan antara dua kata 'psikologi' dan 'linguistik'. Psikologi merupakan
alih kata dari bahasa Inggris ”psychology” yang berasal dari bahasa Yunani
”psyche” yang berarti jiwa, roh, atau sukma dan ”logos” yang berarti ilmu.
Jadi, secara etimologis psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek
kajiannya adalah jiwa. Sedangkan secara terminologis menurut Sarwono sebagaiman
dikutip oleh Tien Rafida mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Atau
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hubungan-hubungan antar manusia.
Linguistik berpadanan dengan kata
linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Perancis, lingua
dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, dan linguistiek dalam bahasa
Belanda yang berasal dari bahasa latin ”lingua”
yang berarti ”bahasa”. Kemudian
kata tersebut diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi linguistik yang dapat
diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang menelaah bahasa sebagai objek
kajiannya secara ilmiah. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis
yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dijelaskan bahwa psikolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara
bahasa dan perilaku dan akal budi manusia, ilmu interdisipliner linguistik
dengan psikologi.
Berikut merupakan 2 (dua)
pengertian psikolinguistik menurut beberapa ahli :
1. Hartley
Psikolinguistik adalah ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak dalam
memproses dan mengkomunikasikan ujaran dan dalam akuisisi bahasa
2. Emon Back
Psikolinguistik adalah ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya pembicara
membentuk dan membangun suatu atau mengerti kalimat tersebut
Dari definisi-definisi ini
dapatlah disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam rangka berbahasa.
Secara rinci
psikolinguistik mempelajari empat topik utama:
(a)
komprehensi, yakni
proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap
apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud,
(b)
produksi, yakni
proses-proses mental pada diri kita yang yang membuat kita dapat berujar
seperti yang kita ujarkan,
(c)
landasan biologis serta
neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan
(d)
pemerolehan bahasa, yakni
bagaimana anak memperoleh bahasa mereka
Adapun tujuan daripada
ilmu psikolinguistik itu sendiri adalah untuk membantu menyelesaikan
permasalahan kompleks manusia dalam pembelajaran berbahasa, karena selain
berkenaan dengan masalah berbahasa, psikolinguistik juga berkenaan dengan
kegiatan berbahasa. Kegiatan berbahasa bukan hanya berlangsung secara
mekanistik, tapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan
berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Oleh
karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu
dilengkapi dengan studi antardisiplin antara psikologi dan linguistik, yang
lazim disebut psikolinguistik.
3.
Linguistik Terapan
Kata
linguistik (linguistics-Inggris) berasal dari bahasa Latin “lingua” yang
berarti bahasa. Dalam bahasa Perancis “langage-langue”; Italia “lingua”;
Spanyol “lengua” dan Inggris “language”. Akhiran “ics” dalam linguistics
berfungsi untuk menunjukkan nama sebuah ilmu, yang berarti ilmu tentang bahasa,
sebagaimana istilah economics, physics dan lain-lain.
Menurut
Pringgodigdo dan Hasan Shadili, sebagaimana dikutip oleh Mansoer Pateda,
“linguistik adalah penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan”. Sedangkan AS
Hornby membagi kata linguidtics ke dalam dua kategori, sebagai kata sifat dan
kata benda. Linguistics sebagai kata sifat berarti “the study of language and
languages”.
Sedangkan
linguistics sebagai kata benda, berarti “the science of language; methods of
learning and studying languages”. Dengan demikian, linguistik menurut AS Hornby
berarti ilmu bahasa atau metode mempelajari bahasa.
Sedangkan
Kata Terapan/menerapkan, berpadanan dengan to apply, yang Artinya Memakai atau
Menggunakan bisa juga dimaknai Menginjak, Mempergunakan, dan mengerahkan. Makna
kata Applied = put to practical use. Dari kata applied lahir gabungan kata
applied linguistic yang sepadan dengan linguistic terapan (ilmu lugah
al-tatbiqy). Namun Ada pula ahli linguis yang tidak setuju dengan istilah itu,
Spolsky lebih setuju dengan istilah educational linguistic (linguistic
Pendidikan).
Jadi
bisa di simpulkan bahwa linguistik terapan adalah pemanfaatan pengetahuan
tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh peneliti bahasa yang dipergunakan
untuk meningkatkan keberhasilgunaan tugas-tugas praktis yang menggunakan bahasa
sebagai komponen inti.
Adapun objek kajian linguistik terapan tidak lain adalah
bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai (1) sistem komunikasi yang
menggunakan ujaran sebagai medianya; (2) bahasa keseharian manusia, (3) bahasa
yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris
disebut dengan an ordinary language atau a natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language)
sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek
sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.
Untuk itu, berikut ini disebutkan beberapa ilmu yang
berhubungan dengan linguistik terapan sebagai objek kajiannya, antara lain: (1)
Linguistik terapan atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa; dan dalam hal ini
bahasa digunakan dalam arti harfiah. Inilah yang disebut pure linguistic atau linguistik murni, (2) Ilmu-ilmu
tentang bahasa; dan dalam hal ini, istilah bahasa digunakan dalam arti metaforis atau kiasan. Contoh
ilmu yang termasuk kategori ini adalah kinesik dan paralinguistik. Kinesik
adalah ilmu tentang gerak tubuh/kial/ body language, seperti anggukan kepala, isyarat
tangan dan lain-lain. Paralinguistik adalah
ilmu yang memusatkan perhatiannya pada aktifitas-aktifitas tertentu yang mengiringi pengucapan
bahasa, seperti desah nafas, decak, ketawa, batuk-batuk kecil, bentuk-bentuk tegun seperti ehm,
anu, apa itu, apa ya dan lain sebagainya, (3) Ilmu tentang pendapat-pendapat mengenai bahasa.
Contohnya metalinguistik, yakni ilmu yang membicarakan seluk beluk “bahasa” yang dipakai
untuk menerangkan bahasa yang tercermin dalam istilah studi teori linguistik, studi metode
linguistik dan lain-lain, (4) Ilmu-ilmu mengenai ilmu bahasa. Yang termasuk kategori ini adalah
studi-studi yang mengkhususkan dirinya pada ilmu linguistik itu sendiri, seperti studi tentang sejarah
perjalanan ilmu linguistik, studi linguistik pada abad ke dua puluh dan
lainlain.
Dari keempat jenis ilmu tersebut di atas, maka hanya
nomor (1) saja yang bisa disebut sebagai ilmu linguistik yang murni karena
objeknya bahasa yang benar-benar bahasa, sedangkan objek keatiga ilmu lainnya
bukanlah bahasa dalam pengertian sehari-hari.
Dapat
dikatakan bahwa bahasa yang menjadi objek linguistik terapan dipelajari dari
berbagai aspeknya atau tatarannya. Tataran
bahasa itu meliputi aspek bunyi, morfem dan kata, frase dan kalimat serta aspek makna.
Cabang
linguistik yang mempelajari aspek bunyi bahasa adalah fonologi. Tataran morfem atau kata dipelajari dalam
morfologi. Tataran frase/kalimat dibahas dalam sintaksis. Sedangkan aspek makna
bahasa dipelajari dalam ilmu tersendiri yang disebut semantik. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa cabang-cabang
linguistik ditinjau dari tatarannya terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Berdasarkan
uraian di atas, tampak bahwa linguistic terapan lebih banyak diarahkan pada penerapan linguistic dalam pengajaran
bahasa. Artinya bahwa linguistic terapan berhubungan erat dengan:
(1)
usaha
penerapan linguistic dalam bidang yang bersifat praktis,
(2)
linguistic
terapan bukan teori, tetapi penerapan teori,
dalam hal ini teori linguistic,
(3) tujuannya yaitu meningkatkan tugas-tugas praktis dengan jalan
memusatkan perhatian pada bahasa
4.
Neurolinguistik
Neurolinguistik
adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam ilmu linguistik dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak manusia dengan bahasa. Gangguan pada
kemampuan berbahasa karena kerusakan otak manusia disebut afasia,yaitu (gangguan bicara karena mengalami
gegar atau trauma
otak ). Orang yang menderita kerusakan bahasa ini dapat diamati dari ketidakmampuannya berbahasa
secara normal.
Kajian neurolinguistik juga merupaka kajian yang berupaya
memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana
psikolinguistik hanya saja fokusnya berbeda. Jilka psikolinguistik focus pada
pemerolehan bahasa anak serta mencoba memahami perspektif proses komprehensi
dan/atau produksi bahas yang terjadi di otak manusia, neurolinguistik berfokus
pada upaya untuk membuat sebuah model neural program yang merupakan
rekonstruksi kerja otak dalam memproses kegiatan bicara, mendengar, membaca,
menulis, dan berbahasa isyarat.Neurolinguistik lebih berkecimpung dalam
memahami kesulitan berbahasa atau gangguan berbahasa, yang mencakup kegiatan
berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat yang menggangu
kemempua berkomunikasi. Termasuk dala mnya gangguan berbahasa karena bisu dan
tuli sejak lahir. Semua ini memerlukan kerja sama yang erat antara dokter ahli
syaraf dan ahli linguistik.
4.1 Gangguan
Berbahasa
Meskipun ukuran otak hanya maksimal 2% dari seluruh
ukuran badan manusia akan tetapi otak banyak sekali menyedot energi. Apabila
aliran darah pada otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh darah maka
akan terjadi kerusakan pada otak atau biasa disebut dengan stroke.
Stroke
mempunyai berbagai akibat karena adanya control silang dari hemisfer kiri dan
kanan. Apabila stroke terdapat pada hemisfer kiri maka akan menyebabkan
gangguan pada belahan kanan dan sebaliknya. Biasanya kerusakan pada hemisfer
kiri mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan wicara yang disebabkan
oleh stroke disebut dengan afasia (aphasia).
Afasia juga diartikan sebagai gangguan yang berkenaan
dengan hilangnya kemampuan seseorang dalam berbicara atau menulis, mamahami
makna ujaran yang diucapkan. Adapun macam-macam afasia adalah sebagai berikut:
a.
Afasia Broca
Afasia Broca
ialah kerusakan yang terjadi pada daerah broca,karena daerah ini berdekatan
dengan jalur korteks motor, sehingga alat-alat ujaran seperti mulut bisa
terganggu. Kadang-kadang mulut bisa bencong dan menyebabkan gangguan pada
pengungkapan ujaran sehingga kalimat yang diproduksi terpatah-patah.
b.
Afasia wernicke
Afasia Wernicke
ialah kerusakan pada daerah wernicke, sehingga penderita afasia ini tetap
lancar berbicara hanya saja kalimat-kalimatnya sukar untuk dimengerti karena
banyak kata yang tidak cocok dengan maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan
sesudahnya.
c.
Afasia Anomic
Afasia anomic
ialah kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe pariental atau pada
batas antara lobe pariental dengan lobe temporal. Sehingga penderita ini tidak
mampu mengaitkan konsep dan bunyi. Jadi bila pasien ini diminta untuk mengambil
benda yang bernama gunting dia akan bisa melakukannya. Akan tetapi, kalau
kepadanya di tunjukkan gunting dia tidak dapat mengatakan nama benda itu.
d.
Afasia Global
Afasia global
ialah kerusakan yang terjadi tidak hanya satu daerah saja tetapi dibeberapa
daerah yang lain, kerusakan bisa menyebar dari daerah broca melewati korteks
motor menuju lobe pariental dan sampai kedaerah wenicke. Sehingga mengakibatkan
gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik penderita bisa
lumpuh disebelah kanan, mulut bisa moncong dan lidah bisa menjadi tidak cukup
fleksibel, dari segi verbal dia bisa sukar memahami ujaran orang dan ujaran dia
tidak mudah dimengerti orang karena kata-kata yang tidak jelas.
e.
Afasia Konduksi
Afasia konduksi
ialah kerusakan yang terjadi pada organ yang menghubungkan lobe frontal dan
lobe temporal sehingga penderita ini tidak dapat mengulangi kata yang diberikan
padanya.
f.
Disartia (dysarthria)
Ialah gangguan
yang berupa lafadz ujaran yang tidak jelas tetapi ujarannya utuh. Gangguan ini
terjadi karena bagian rusak pada otak hanyalah pada bagian korteks motor saja,
sehinga mungkin hanya lidah bibir atau rahangnya saja yang berubah.
g.
Demensia (Dementia)
Demensia ialah gangguan
pada pembuatan ide yang akan dikatakan, sehinnga isi ujaran bisa loncat-loncat
kesana kemari.
h.
Aleksia (Alexia)
Aleksia ialah
hilangnya kemampuan untuk membaca.
i.
Agrafia (Agraphia)
Agrafia ialah
hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf-huruf yang normal.
5.
Linguistik Komputasional
Linguistik
komputasi (bahasa Inggris: computational linguistics) adalah bidang
antardisiplin yang mengkaji pemodelan bahasa alami dengan statistika dan
berbasis aturan dari sudut pandang komputasi. Pemodelan ini tidak dibatasi pada
suatu bidang tertentu dari linguistik. Selain linguistik, bidang studi yang
juga dilibatkan dalam linguistik komputasi antara lain adalah ilmu komputer,
kecerdasan buatan, matematika, logika, ilmu kognitif, psikologi kognitif,
psikolinguistik, dan antropologi.
Peran
Ilmu Linguistik dalam bidang Komputasi cukup penting, sebagai contoh dalam
penyusunan program komputer. Penyusunan program komputer melalui bahasa manusia
berpedoman kepada bahasa formal.
Aturan
bahasa formal yang digunakan adalah ekspresi reguler (regular expression)
melalui gramatika reguler serta gramatika bebas konteks (CF)13. Kalau komputer
kita anggap sebagai alat komputasi, maka
peranan bahasa formal di dalam komputasi merupakan peranan linguistik di dalam
komputasi. Mereka berkembang menjadi linguistik komputasional sampai menjadi
disiplin tersendiri di bidang linguistik atau di bidang informatika. Bahkan
mereka digunakan juga di dalam matematika. Linguistik komputasional tidak saja
berkenaan dengan kompilator melainkan juga melahirkan berbagai bidang ilmu
seperti speech recognizer, speech synthesizer, sampai ke penerjemahan bahasa.
6.
Linguistik Antropologis
Linguistik
antropologis merupakan suatu cabang dalam ilmu linguistik yang meneliti bahasa
dalam kaitannya dengan kebudayaan. Seperti yang dikatakan oleh para ahli,
bahasa dan budaya mempunyai kaitan yang erat. Keduanya saling berkaitan. Bahasa
merupakan bagian dari suatu kebudayaan, maka ketika kita mempelajari bahasa,
secara tidak langsung kita juga memahami kebudayaannya. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Duranti (1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology
bahwa: “....mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan
bahasa”.
Linguistik
antropologis berbeda dengan kajian bahasa struktural, misalnya fonologi atau
morfologi. Apabila mengkaji bahasa melalui pendekatan morfologi, misalnya, kita
hanya akan menemukan cara pembentukan morfem atau proses afiksasi suatu bahasa.
Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan linguistik kebudayaan kita dapat lebih
menyelami makna dibalik penggunaan suatu bahasa dengan mengkaitkannya dengan
budaya kelompok penutur bahasa tersebut. Sehingga kita dapat menemukan
makna-makna tersembunyi dalam suatu bahasa, misalnya pandangan atau ideologi
yang dianut oleh kelompok penutur bahasa tersebut. Sapir (dalam Bonvillain,
1997:49) menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa dapat
digunakan untuk menguak lingkungan fisik dan sosial dimana penutur suatu bahasa
bermukim.
Ada banyak hal yang dapat dipelajari dalam penggunaan
bahasa dalam hubungannya dengan kebudayaan, misalnya variasi penggunaan bahasa
dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, struktur dan hubungan kekeluargaan
melalui istilah kekerabatan, konsep warna dalam suatu budaya, pola pengasuhan
anak, cara komunikasi suatu masyarakat saat upacara adat, pengaruh kebiasaan
etnik, kepercayaan, etika berbahasa, dan sebagainya. Contohnya, apabila kita mempelajari
tentang peribahasa atau saloka
yang ada dalam budaya Jawa, dengan melihat dan menginterpretasi kosakata,
frasa, atau kalimat yang digunakan dalam peribahasa-peribahasa tersebut, kita
dapat menemukan pemahaman yang mendalam tentang budaya Jawa (cultural
understanding) dan tentang ideologi atau falsafah hidup orang Jawa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari makalah ini adalah cakupan linguistik itu terbagi menjadi tiga. Pertama
cakupan linguistik dengan pendekatan struktural, kedua cakupan linguistik
dengan pendekatan fungsional, dan yang ketiga linguistik yang dikaitkan dengan
cabang ilmu lain.
Cakupan linguistik dengan pendekatan struktural yaitu meliputi Fonologi,
Morfologi dan Sintaksis.
Cakupan
linguistik dengan pendekatan fungsional yaitu mencakup Teks dan Konteks,
Register, Transitivitas,Modalitas dan Tema-rema
Linguistik
yang dikaitkan dengan cabang ilmu lain seperti Sosiolinguistik,
Psikolinguistik, Linguistik Terapan, Linguistik Komputasional, Neurolinguistik,
Linguistik Antropologis.
B.
Saran
Sebagai
mahasiswa pendidikan bahasa harus menguasai semua cakupan linguistik, karena
akan berguna untuk kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.
Chaedar. 2011. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung : Angkasa.
Chaer
Abdul. 2009 Psikolinguistik. Jakarta. PT Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Chaer, Abdul.
dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa
Verhaar, J.W.M.
2010. Asas-asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University Press
[15] Register: The level and style of a piece of writing and speech,
that is usually appropriate to the situation that is used in; The essay
suddenly swtiches from a formal to an informal register.
Komentar
Posting Komentar