Langsung ke konten utama

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Dasar Pemikiran
Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19)[1], telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik.
Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya.
Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian.
Kata linguistik (yang sepadan dengan linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Belanda) diturunkan dari kata bahasa Latin lingua yang berarti ‘bahasa’. Di dalam bahasa-bahasa Roman yakni bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa Latin, terdapat kata yang serupa atau mirip dengan kata Latin lingua itu. Antara lain, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, langue (dan langage) dalam bahasa Prancis. Bahasa Inggris yang memungutnya dari langage Prancis menggunakan bentuk language.
Perlu diperhatikan bahwa bahasa Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue dan langage dengan makna yang berbeda. Langue berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris, bahasa Batak, atau bahasa Prancis. Sedangkan langage berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan “Manusia punya bahasa sedangkan binatang tidak”.  Di samping istilah langue dan langage bahasa Prancis masih punya istilah lain mengenai bahasa yaitu porole.  Parole adalah bahasa dalam wujudnya yang nyata, yang konkret, yaitu yang berupa ujaran.
Parole adalah yang diucapkan manusia dalam kegiatan sehari-hari. Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu, maka sifatnya lebih abstrak. Sedangkan langage adalah sistem bahasa manusia secara umum maka sifatnya paling abstrak.
Ilmu linguistik sering juga disebut linguistik umum (general linguistics). Tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Batak atau bahasa Jawa, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia. Contoh kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan panjang (morfem akan dibahas pada pembahasan Morfologi). Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna ‘sebabkan jadi’; perpanjang berarti ‘sebabkan sesuatu menjadi panjang’. Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) befriend yang berarti ‘menjadikan sahabat’. Di sini jelas ada morfem be- dan morfem friend; dan mrfem be- juga memberi makna kausatif. Dengan membandingkan kedua contoh di muka, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Begitulah semua bahasa, meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada ciri-cirinya yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti oleh linguistik dan karena itu pula nama ilmu ini, linguistik, biasa disebut linguistik umum.
Sebagai alat komunikasi manusia bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis. Yang dimaksud dengan sistematis adalah bahwa bahasa itu bukan suatu sistem tunggal, melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik. Kajian mengenai subsistem ini, yang merupakan cabang dari linguistik, akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
Setiap disiplin ilmu biasanya dibagi atas bidang-bidang bawahan (subdisiplin)[2] atau cabang-cabang berkenaan dengan adanya hubungan disiplin itu dengan masalah-masalah lain. Pembagian atau pencabangan itu diadakan karena objek yang menjadi kajian disiplin ilmu itu sangat luas atau menjadi luas karena perkembangan dunia ilmu.
Demikian pula dengan linguistik. Mengingat bahwa objek linguistik, yaitu bahasa, merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan manusia sebagai mahluk sosial, sedangkan kegiatan itu sangat luas, maka subdisiplin atau cabang linguistik itu pun menjadi sangat banyak.

B.       Rumusan Masalah
Pokok pembahasan dalam makalah ini cakupan linguistik, maka rumusuan masalahnya adalah sebagai berikut;
a.       Apa cakupan linguistik dengan pendekatan struktural?
b.      Apa cakupan linguistik dengan pendekatan fungsional?
c.       Apa cakupan linguistik jika dikaitkan dengan cabang ilmu lain seperti;  sosiolinguistik, psikolinguistik, linguistik terapan, neurolinguistik, linguistik komputasional, linguistik antropopogis, linguistik filosofis?


C.       Tujuan Makalah
Makalah ini dibuat dalam rangka pemenuhan tugas kelompok mata kuliah linguistik dengan dosen pengampu; Ibu Siti Wachidah, Ph.D. Selain itu juga untuk menerangkan apa saja cakupan linguistik itu dengan pendekatan struktural, fungsional dan jika dikaitkan dengan cabang ilmu lainnya.










BAB II
PEMBAHASAN

1.      Cakupan linguistik dengan pendekatan struktural
Cakupan linguistik dengan pendekatan struktural ini dikaji pada linguistik mikro yang kajiannya pada struktur internal suatu  bahasa tertentu atau struktur internal suatu bahasa pada umumnya. Sejalan dengan adanya subsistem bahasa, maka dalam linguistik mikro ada subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi.[3] Studi linguistik mikro ini sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari adalah struktur internal bahasa itu.

A.  Fonologi
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu[4]. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
          Sebagai contoh pada bunyi [i] yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] <idak sama. Begitu juga bunyi [p] pada kata inggris < pace >, < space > dan < map >, juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [p] pada deretan kata-kata diatas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik. Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

1.    Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris[5].
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam mengahasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran.

2.    Fonemik  
Fonemik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata[6].

2.1 Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip. Misalnya, kata laba dan raba. Perbedaan pada kata tersebut adalah pada bunyi [l] dan [r]. Maka, dapat disimpulkan bunyi [l] dan bunyi [r] adalah dua buah fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia yaitu fonem [l] dan fonem [r].

2.2 Alofon
Alofon adalah realisasi dari fonem, atau pengucapan yang konkret dari sebuah fonem. Dalam bahasa Indonesia, fonem [o] mempunyai dua alofon, yaitu bunyi [ͻ ] seperti pada kata tokoh dan bunyi [o] seperti pada kata toko. Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis. Artinya, benyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya.

2.3 Perubahan Fonem
1) Asimilasi dan Disimilasi
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Misalnya, kata Sabtu biasa diucapkan [saptu], di mana bunyi [b] berubah menjadi [p] karena pengaruh bunyi [t]. Asimilasi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Asimilasi progresif
Bunyi yang diubah terletak di belakang bunyi yang Kata mit der Frau (Belanda) diucapkan mempengaruhinya [mit ter Frau]
2) Asimilasi regresif
Bunyi yang diubah terletak di muka bunyi yang mempengaruhinya Kata op de weg (Belanda) diucapkan [obdeweg]
3) Asimilasi resiprokal
Perubahan terjadi pada kedua bunyi yang saling mempengaruhi Kata Bereng hamu (Batak Toba) diucapkan [berek kamu]
Disimilasi adalah perubahan bunyi yang menyebabkan dua buah fonem yang sama menjadi berbeda atau berlainan[7]. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata cipta dan cinta yang berasal dari bahasa Sansekerta citta. Kita lihat, bunyi [tt] pada kata citta berubah menjadi bunyi [pt] pada kata cipta dan menjadi bunyi [nt] pada kata cinta.

2) Netralisasi dan Arkifonem
Dalam bahasa Belanda kata hard dilafalkan [hart]. Dalam bahasa adanya bunyi [t] pada posisi akhir kata yang dieja hard adalah hasil netralisasi. Fonem /d/ pada kata hard yang bisa berwujud /t/ atau /d/ disebut arkifonem[8]. Contoh lainnya, dalan bahasa Indonesia kata jawab diucapkan [jawap]; tetapi bila diberi akhiran –an bentuknya menjadi jawaban. Jadi, di sini ada arkifonem /B/, yang realisasinya bisa berupa [b] atau [p].

3) Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Kata umlaut berasal dari bahasa Jerman yang berarti perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya yang tinggi. Misalnya, dalam bahasa Belanda bunyi [a] pada kata handje lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan bunyi [a] pada kata hand. Penyebabnya adalah bunyi [y] yang posisinya lebih tinggi dari bunyi [a]. Ablaut adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa Indo-Jerman untuk menandai berbagai fungsi gramatikal. Misalnya, dalam bahasa Inggris kata sing berubah menjadi sang atau sung untuk penandaan kala.
Perubahan bunyi berupa harmoni vokal atau keselarasan vocal terdapat dalam bahasa Turki. Misalnya, kata at ’kuda’ bentuk jamaknya adalah atlar ’kuda-kuda’; oda ’rumah’ bentuk jamaknya adalah odalar ’rumah-rumah.

4) Kontraksi
Perubahan bunyi berupa kontraksi adalah pemendekan lafal[9]. Misalnya, dalam bahasa Indonesia kata tidak tahu menjadi ndak tahu; dalam bahasa Inggris kata will not menjadi won’t.

5) Metatesis dan Epentesis
Proses metatesis bukanlah mengubah bentuk fonem menjadi fonem lain, melainkan mengubah urutan fonem yang terdapat dalam kata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia selain bentuk  jalur ada lajur; selain kolar ada koral. Dalam proses epentesis sebuah fonem tertentu, biasanya yang homorgan dengan lingkungannya, disisipkan ke dalam sebuah kata. Misalnya, ada kampak di samping kapak; ada sampi di samping sapi.

B.  Morfologi
1.      Pengertian morfologi
Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfem. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, klasifikasi kata-kata. Dalam pembahasan mengenai fonologi, fonem adalah kesatuan bunyi terkecil yang membedakan arti, seperti pada pasangan mata-mati, kedua bunyi /a/ dan /i/ adalah dua fonem yang membedakan arti.
Sekarang jika kata mati itu dirubah menjadi  kematian atau mati-matian maka dua kata terakhir ini adalah bentukan baru yaitu dengan menambahkan ke dan an dan pengulangan mati ditambah an. Dua kata baru ini mempunyai arti yang berbeda dari makna kata asal mati. Perubahan-perubahan bentuk inilah yang dipelajari morfologi (morphe = form = bentuk). Karena itu ada yang memberi definisi morfem sebagai satu satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti. 

2.      Identifikasi morfem
Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut didalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh (1) : Kedua, ketiga, kelima, ketujuh, dsb.
Ternyata semua bentuk ke pada contoh (1) diatas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menanyakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem. Sekarang perhatikan bentuk ke pada contoh (2) berikut : kepasar, kekampus, kedapur, dsb.
Ternyata bentuk ke pada contoh (2) dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan juga mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah atau tujuan. Dengan demikian bentuk ke pada contoh diatas juga adalah morfem.
Dari contoh (1) dan (2) keduanya merupakan morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama. Jadi kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan cirri atau identitas sebuah morfem.
Sekarang perhatikan contoh (3) yang juga terdapat pada contoh sebelumnya, kemudian bandingkan dengan bentuk-bentuk lain yang ada pada contoh (3) : meninggalkan, ditinggal, tertinggal, peninggalan, dsb.
Dari contoh diatas ternyata ada bentuk yang sama, yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya. Bagian yang sama itu adalah bentuk tinggal atau ninggal (tentang perubahan bunyi t- menjadi bunyi n-). Maka, disini pun bentuk tinggal adalah sebuah morfem, karena bentuknya sama dan maknanya juga sama.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, kita memang harus mengetahui atau mengenal maknanya. Perhatikan contoh (4): menelantarkan, telantar, lantaran. Dari contoh tersebut, meskipun bentuk lantar terdapat berulang-ulang, tapi bentuk lantar itu bukanlah sebuah morfem, karena tidak ada maknanya. Lalu, ternyata kalau bentuk menelantarkan memang punya hubungan dengan terlantar, tetapi tidak punya hubungan dengan lantaran.

3. Morfem, Morf dan Alomorf 
Seperti halnya dengan bunyi fonetis semata-mata, yang dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung persegi, dan dengan fonem- fonem yang diapit diantara garis kanan, maka morfem-morfem lazim dilambangkan dengan mengapitnya diantara kurung kurawal. Misalnya, kata Inggris comfort dilambangkan sebagai { comfort }, comfortable sebagai { comfort }+ {-able}, uncomfortable sebagai {comfort}+{-able} dulu, baru {un-}+ {comfortable}, atau (dalam satu rumus) {{un-}{{comfort}{-able}}} (namun rumus ”ganda” seperti itu hanya mungkin bila semua morfem adalah morfem segmental). 
Dalam analisis struktur-struktur morfemis, apa yang diapit diantara kurung kurawal itu disebut (lambang) “morfem”. Kesulitannya (yang deskriptif) dengan pelambangan seperti itu adalah bahwa tidak semua morfem berupa segmental. Namun dapat saja memerlukan kata jamak Inggris feet sebagai{foot}+{jamak}, atau jamak sheep sebagai {sheep}+{Ǿ}. Pelambangan seperti “{jamak}” itu sudah menunjukan bahwa morfem itu merupakan suatu satuan yang abstrak: dapat berupa segmental (utuh atau terbagi) dapat berupa “nol”, dapat juga berupa nada tertentu.
Berbeda dengan morfem, almorf-almorfnya jauh lebih konkret, meskipun tetap tidak mutlak perlu berupa segmental. Jadi, alomorf adalah perwujudan konkret (didalam pertuturan) dari sebuah morfem. Setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua atau juga enam buah. Atau bisa juga dikatakan morf dan alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

4.      Klasifikasi morfem
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, maknanya, dan sebagainya[10]
a.      Morfem bebas dan morfem terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Contoh (dalam bahasa Indonesia): pulang, makan, dan bagus adalah termasuk morfem bebas.
Morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Contohnya adalah semua afiks dalam bahasa Indonesia.
b.      Morfem utuh dan morfem terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut: apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh : (termasuk morfem dasar) = {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pinsil}, (termasuk morfem terikat) = {ter-},{ber-},{henti},dsb.
Sedangkan contoh morfem terbagi (adalah sebuah morfem yang terdiri dari dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Dalam bahasa Arab, dan juga bahasa Ibrani, semua morfem akar untuk verba adalah morfem terbagi, yang terdiri atas tiga buah konsonan yang dipisahkan oleh tiga buah vocal, yang merupakan morfem terikat yang terbagi pula. Misalnya morfem akar terbagi {k,t,b} ‘tulis’ merupakan dasar untuk kata-kata : kataba (ia laki-laki telah menulis), katabat (ia perempuan telah menulis,), maktabun (perpustakaan).
c.       Morfem segmental dan morfem suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat},{lah},{sikat}dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi.
d.     Morfem beralomorf zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero tau nol (lambangnya berupa Ǿ), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsure suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”
e.      Morfem bermakna leksikal dan morfem tak bermakna leksikal
Perbedaan lain yang biasa dilakukan orang adalah dikotomi adanya morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Seperti: {kuda}, {pergi}, {lari}, {merah}. Sebaliknya morfem yang tidak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri, akan mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain. Seperti: {ber-},   {me-}, dan {ter-}.
f.       Morfem Dasar, Dasar, Pangkal, dan Akar
Sebuah morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi.
Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks infleksi. Misalnya, dalam bahasa Inggris kata books pangkalnya adalah book. Dalam bahasa Indonesia, kata menangisi pangkalnya adalah tangisi.
Akar atau (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Misalnya, kata Inggris untouchables akarnya adalah touch.

C.  Sintaksis
1.      Pengertian Sintaksis
Kata sintaksis berasaldari kata Yunani (sun = ‘dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat[11]. Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan[12]. Sama halnya dengan morfologi, akan tetapi morfologi menyangkut struktur gramatikal di dalam kata.Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis adalah frase, kalusa,dan kalimat. Tuturan dalam hal ini menyangkut apa yang dituturkan orang dalam bentuk kalimat.
Ramlan (1981:1) mengatakan: “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase”.

2.      Kata sebagai Satuan Sintaksis
          Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu frase. Maka di sini, kata, hanya dibicarakan sebgai satuan terkecil dalam sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-tama harus kita bedakan dulu adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (funcionword). Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, ajektifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang yang berkategori preposisi dan konjungsi[13].

3.      Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi satah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Frase tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal bedanya dengan kata majemuk yaitu kata majemuk sebagai komposisi yang memiliki makna baru atau memiliki satu makna. Fase terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a.    Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, frase di pasar, yang terdiri dari komponen di dan komponen pasar. Frase eksosentirk biasanya dibedakan atas frase eksosentrik yang direktif dan frase eksosentrik yang nondirektif.
b.    Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, sedang komponen keduanya yaitu membaca dapat menggantikan kedudukan frase tersebut.
c.    Frase Koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh kunjungsi koordinatif.
d.   Frase Apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponenanya saling merujuk sesamanya, dan oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.

4.     
 Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan.
Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat.
Berdasarkan strukturnya dapat dibedakan adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas dalah klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subyek dan predikat, dan karena itu mempunyai potensi untuk menjadi kalimat mayor. Klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat dibedakan adanya klausa verbal, klausa nominal, klausa ajektival, klausa adverbial dan klausa preposisional. Dengan adanya berbagai tipe verba, maka dikenal adanya klausa transitif, klausa intransitif, klausa refleksif dan klausa resprokal. 
Klausa ajektival adalah klausa yang predikatnya berkategori ajektiva, baik berupa kata maupun frase. Klausa adverbial adalah klausa yang predikatnya berupa adverbial. Klausa preposisional adalah klausa yang predikatnya berupa frase berkategori. 
Klausa numeral adalah klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numerila. Klausa berupasat adalah klausa yang subjeknya terikat didalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.

5.      Kalimat
Kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga buah, yaitu intonasi deklaratif, intonasi interogratif (?) dan intonasi seru (!)
Jenis kalimat dapat dibedakan berdasarkan berbagai, kriteria atau sudut pandang. Kalimat inti dan Kalimat Non Inti Kalimat inti atau disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmarif. Di dalam praktek berbahasa, lebih banyak digunakan kalimat non inti daripada kalimat inti. Kalimat di bagi menjadi[14]:
1)   Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalau klausanya hanya satu, maka kalimat tersebut disebut kalimat tunggal. Kalau klausa di dalam kalimat terdapat lebih dari satu, maka kalimat itu disebut kalimat majemuk. Berdasarkan sifat hubungan klausa di dalam kalimat, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif (konjungsi koordinatif seperti dan, atau, tetapi, lalu) kalimat majemuk subordinatif (kalau, ketika, meskipun, karena) dan kalimat majemuk kompleks ( terdiri dari tiga klausa atau lebih, baik dihubungkan secara koordinatif maupun subrodinatif atau disebut kalimat majemuk campuran.
2)   Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalau klausa lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap, entah terdiri subjek saja, predikat saja, ataukah keterangan saja, maka kalimat tersebut disebut kalimat minor.
3)   Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan frase atau frase verbal, bisa nomina, ajektiva, adverbial, atau juga numeralia.
4)   Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wawancara tanpa bantuan konteks.
Dalam bahasa Indonesia intonasi tidak berlaku pada tataran fonologi dan morfologi, melainkan hanya berlaku pada tataran sintaksis. Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa. Ciri-ciri intonasi berupa tekanan tempo dan nada.

6.      Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan gramatikal tertinggi atau terbesar. Persyaratan gramatikal dalam wacana akan terpenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekhohesian maka akan terciptalah erensian.  Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain: konjungsi, kedua menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, ketiga menggunakan elipsis. 
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan bantuan pelbagai aspek semantik.  Berbagai jenis wacana sesuai dengan sudut pandang dari mana wacana itu dilihat. Pertama-tama dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarannya, yaitu bahasa lisan dan bahasa. Dilihat dari penggunaan bahasanya ada wacana prosa dan wacana puisi. 
Wacana adalah satuan bahasa yang utuh dan lengkap, maksudnya adalah wacana ini satuan ”ide” atau ”pesan” yang disampaikan akan dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan, atau tanpa merasa adanya kekurangan informasi dari ide atau pesan yang tertuang dalam wacana itu.




2.      Cakupan linguistik dengan pendekatan fungsional
2.1 Linguistik Fungsional Sistemik
Pada bagian ini, pembaca akan disuguhi dengan beberapa istilah yang mungkin tidak baru lagi. Istilah-istilah itu adalah; teks dan konteks, register, transitivitas, modalitas, tema-rema.
Linguistik fungsional Sistemik (LFS) dikenal sebagai penyedia kerangka deskriptif dan penafsiran yang sangat berguna untuk memandang bahasa sebagai sumber daya strategis dan pemberi makna. Persepsi linguistik fungsional adalah bahasa diperlukan manusia untuk melakukan tiga fungsi, yakni menggambarkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Ketiga fungsi ini merupakan hakikat hidup dan kebutuhan manusia normal.
Pada dasarnya dalam prespektif linguistik fungsional bahasa adalah sistem arti dari sistem lain (sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. Dua konsep dasar teori linguistik fungsional adalah:
a.       Bahasa merupakan fenomena sosial yang terwujud sebagai semiotik social
b.      Bahasa merupakan teks yang konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks sosial.
Para pakar linguistik sistemik memiliki minat dan perhatian bagaimana orang memakai bahasa untuk berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan sosial. Minat ini mendorong para pakar linguistik untuk mengajukan teori tentang bahasa yaitu pemakaian bahasa bersifat fungsional, fungsinya ialah untuk memberi makna-makna, makna-makna tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial budaya. Dan proses pemakaian bahasa merupakan proses semiotik, yaitu proses pemberian makna dengan cara memilih.
Konsep fungsional memiliki tiga pengertian yang saling berhubungan. Pertama, pengertian fungsional adalah bahasa terstruktur berdasarkan fungsi yang akan dimainkan oleh bahasa dalam kehidupan manusia. Hal ini disebut fungsional berdasarkan tujuan pemkaian bahasa, yang kedua adalah metafungsi bahasa, yakni fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa. Yang ketiga, dikatakan bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian fungsional ketiga ini ditetapkan bahwa morfem fungsional di dalam kata, kata fungsional dalam grup atau frase, grup atau frase fungsional dalam klausa, dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks.
Pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial, berkait dengan sosiologi dan hanya dipahami dalam konteks sosial. Semiotik sosial menganalisis bahasa, wacana atau teks merupakan sebuah aktifitas semiotik. Semiotik pemakaian bahasa terdiri dari semiotik denotatif dan semiotik konotatif.
Semiotik denotatif memiliki arti dan bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik denotatif terbentuk dalam hubungan antar strata (level) aspek bahasa yang terdiri atas arti (semantiks), tata bahasa (lexicogrammar) dan bunyi (phonology) atau tulisan (graphology). Semiotik denotatif bahasa menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Semiotik denotasi bahasa menunjukkan bahwa semantik direalisasikan tata bahasa dan tata bahasa direalisasikan oleh bunyi (fonologi) dalam bahasa lisan atau tulisan (grafologi) dalam bahasa tulisan.
Semiotik konotatif hanya memiliki arti dan tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya (context of culture) dan konteks sosial (register)[15]. Sebagai semiotik konotatif, konteks sosial membentuk strata dengan ideologi menempati strata tertinggi yang memiliki sifat abstrak dan kemudian diikuti oleh budaya dan konteks situasi. Semiotik konotatif pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk dan meminjam budaya sebagai bentuknya. Ideolgi direalisasikan oleh budaya yang juga tidak memiliki bentuk dan budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Konteks situasi meminjam semiotik yang berada di bawahnya yaitu bahasa. Bahasa sebagai semiotik sosial adalah bahasa berfungsi di dalam konteks sosial atau bahasa fungsional di dalam konteks sosial.
Teks adalah unit arti dan wujud sebagai hasil interaksi dalam konteks sosial. Arti harus direalisasikan oleh bentuk, artinya arti dapat direalisasikan bunyi, kata, frase, klausa atau kalimat.
Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa. Konteks mengacu kepada segala sesuatu yang mendampingi teks. Konteks mencakup dua pengertian yakni 1) konteks linguistik (yang disebut konteks internal), 2) konteks sosial (konteks eksternal). Jadi linguistik fungsional tidak hanya suatu teori untuk analisis tertentu, tetapi merupakan satu kerangka teori linguistik umum yang dapat digunakan untuk melakukan analisis mulai dari tataran fonologi sampai tataran di atas wacana (pembahasan mengenai wacana sudah ada di muka).

2.2 Metafungsi Bahasa
Metafungsi bahasa merupakan fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Dalam konsep teoritis metafungsi memberikan kemampuan kepada seseorang untuk memahami bahasa dengan dunia luar bahasa dan juga sebagai titik pertemuan yang telah membentuk bentuk tata bahasa. Dengan kata lain, konsep metafungsi yang menghubungkan antara bentuk-bentuk internal bahasa dan kegunaannya dalam semiotik konteks sosial. Sistem semiotik sosial adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik. Sistem semiotik linguistik adalah semantik, yaitu suatu bentuk realisasi dari semiotik sosial. Bahasa memiliki tiga fungsi dalam kehidupan manusia yaitu memaparkan, mempertukarkan dan merangkai pengalaman.
Metafungsi memiliki tiga komponen yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Sedangkan jika seseorang merealisasikan pengalamannya yang bukan merupakan pengalaman linguistik dapat berupa kenyataan dalam kehidupan manusia atau kejadian sehari-hari. Pengalaman bukan linguistik dan direalisasikan ke dalam pengalaman linguistik terdiri dari tiga unsur yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.
Metafungsi bahasa mempunyai 3 (tiga) komponen yaitu interpersonal, ideasional dan tekstual adalah tiga makna abstrak (nuansa makna) yang dikandung dalam klausa atau teks. Sumber ideasional berhubungan dengan pemahaman dari pengalaman : apa yang telah terjadi, termasuk apa yang dilakukan seseorang terhadap siapa, di mana, kapan, kenapa dan bagaimana hubungan logikal terjadi antara satu dengan yang lainnya. Sumber interpersonal membahas hubungan sosial: bagaimana masyarakat berinteraksi, termasuk perasaan saling berbagi di antara mereka dan sumber tekstual membahas alir informasi: cara makna ideasional dan interpersonal disebarkan pada semiosis, termasuk interkoneksi antara aktivitas dan bahasa (tindakan, gambar, musik, dll).
Makna ideasional memiliki fungsi yang berhubungan dengan dunia realitas dalaman dan luaran; yaitu bahasa adalah memaparkan tentang sesuatu. Apabila seseorang mempunyai refleksi terhadap dunia fenomena di luar atau dunia dalaman kesadaran seseorang, representasi dari refleksi tersebut mengambil bentuk. Bentuk ini disebut fungsi eksperensial (experential). Selain fungsi eksperensial, di dalam konsep fungsi ideasional ada fungsi atau makna logis “logical” yang menyimpan informasi tentang cara satu situasi berhubung dengan situasi lainnya.
Makna interpersonal memiliki fungsi sebagai klausa pertukaran yang merepresentasikan hubungan peran pertuturan. Apabila dua penutur menggunakanbahasa untuk berinteraksi, satu hal yang dilakukan mereka adalah menjalin hubungan sosial di antara mereka. Di sini mereka mulai menyusun dua jenis peran atau fungsi pertuturan yang fundamental yaitu memberi dan meminta informasi. Sistem klausa direpresentasikan melalui struktur moda klausa yaitu modus dan residu.
Makna tekstual merupakan sebuah interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan, yaitu berfungsi sebagai pembentuk teks dalam bahasa. Fungsi ini memberi kemampuan kepada seseorang untuk membedakan sebuah teks sebagai bahasa yang termotivasi secara fungsional dan kontekstual. Pada tingkat teks, makna ini terdiri dari bagaimana unsur-unsur interklausa diorganisir untuk menyatukan suatu kesatuan seluruh teks untuk membuat makna-makna. Dengan menunjukkan adanya fungsi tekstual pada sebuah teks yang diorganisir atau dibentuk. Makna tekstual bahasa dalam fungsinya sebagai sebuah pesan direalisasikan melalui sistem tema bahasa. Sistem tema dari sebuah klausa direpresentasikan oleh struktur tematik klausa yang terdiri dari tema dan rema.




 























Konteks sosial terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi. Ketiga unsur konteks sosial tersusun di atas teks. Bahasa, terdiri atas tiga bagian atau tingkat, yakni semantik, tata bahasa atau leksikogramar, dan ekspresi. Ekspresi dapat berupa bunyi (fonologi), tulisan (grafologi), atau isyarat. Ketika unsur bahasa dan ketiga unsur konteks sosial membentuk semiotik yang berstrata banyak (multistratified semiotics), anak panah menunjukkan arah realisasi, yakni ideologi direalisasikan budaya, yang selanjutnya direalisasikan oleh situasi, yang seterusnya direalisasikan oleh semantik, yang selanjutnya direalisasikan oleh leksikogramar, yang akhirnya diekspresikan oleh fonologi, grafologi, atau isyarat.
Secara rinci pada fungsi ideasional direalisasikan oleh Medan makna, fungsi anatarpersona direalisasikan oleh Pelibat, dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Sarana atau Cara. Pada strata budaya tidak ada pemisahan realisasi ketiga unsur metafungsi. Strata Budaya mengatur atau menentukan unsur medan apa yang ditetapkan bergabung dengan pelibat, dan sarana tertentu. Dengan kata lain, budaya mengatur apa (medan) yang boleh dilakukan siapa (pelibat) dan dengan (sarana) atau cara bagaimana. Strata ideologi merupakan unsur tertinggi yang menentukan budaya. Realisasi ketiga metafungsi bahasa terdapat pada strata ideologi. Spesifikasi realisasi masing-masing unsur metafungsi terjadi pada strata situasi, semantik (wacana), dan leksikogramar atau tata bahasa.
2.3 Modalitas
Modalitas adalah sarana linguistik yang memungkinkan penutur dapat mengekspresikan ujaran yang berbeda-beda dari komitmen atau keyakinan pada suatu proposisi yang diucapkannya.
Keraf dalam Ramadian menamakan modalitas denga keterangan kecaraan.Keraf membagi Modalitas atas tujuh bagian yaitu : 1) kepastian, 2) kesangsian, 3) pengakuan, 4) keinginan, 5) ajakan, 6) larangan dan 7) keherananan. 
Menurut Saragih “modalitas adalah pandangan, pendapat pribadi, sikap atau komentar pemakai bahasa terhadap paparan pengalaman yang disampaikannya dalam interaksi.” Modalitas, sebenarnya tidak punya arti khusus,
tetapi bertugas untuk menunjukkan cara (modus) yang digunakan seseorang untuk menyatakan makna pikirannya atau bahkan upayanya untuk mengubah arti suatu ungkapan. Misalnya pada kalimat ’saya ingin mandi’, mengandung pengertian bahwa si pembicara bermaksud untuk membersihkan diri karena sudah terlalu lelah selama perjalanan jauh yang telah ditempuhnya, sedangkan pada kalimat ‘saya ingin kamu segera mandi’ menyatakan separuh perintah pada lawan bicara untuk mandi agar kelihatan bersih atau agar tidak terlambat pergi sekolah, misalnya.


3.      Linguistik dikaitkan dengan cabang ilmu lain
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan linguistik merupakan pembahasan yang saling berkaitan satu sama lain yang membahas tentang suatu fenomena bahasa, ragam bahasa, maupun variasi yang digunakan oleh setiap individu atau sekelompok orang yang berbeda dalam kelompok social tertentu. Berikut adalah cakupan linguistik dikaitkan dengan cabang ilmu lain:
1.            Sosiolinguistik
Sosiolinguistik bersasal dari kata “sosio”  dan “linguistic”. Sosio sama  dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu  yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur-unsur bahasa dan antara unsur-unsur itu. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang  menyusun  teori- teori tentang  hubungan masyarakat dengan bahasa. Berdasarkan pengertian sebelumnya, sosiolinguistik juga  mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan  bahasa  khususnya  perbedaan-perbedaan yang  terdapat dalam  bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan ( Nababan 1993:2).
Berdasarkan beberapa  pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  sosiolinguistik tidak hanya  mempelajari  tentang  bahasa  tetapi juga  mempelajari tentang  aspek-aspek bahasa yang digunakan oleh masyarakat.
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara  sosiologi dengan  linguistik, dua  bidang  ilmu empiris yang  mempunyai kaitan erat. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia didalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada didalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan  tetap ada. Dengan memperlajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara manusia menyesuaikan dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing didalam masyarakat.
Sedangkan lingustik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajian. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu didalam masyarakat.  Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa   sosiolinguistik adalah bidang  ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa  dalam  kaitannya  dengan penggunaan bahasa  itu dalam  masyarakat.[16]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa  sosiolinguistik adalah antardisipliner  yang mempelajari bahasa  dalam kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan tersebut.
Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistekomunikasi serta  bagian dari masyarakat dan  kebudayaan tertentu. Sedangkan yang  dimaksud dengan pemakaian bahasa  adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkrit. Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti mempelajari tentang  bahasa  yang digunakan dalam daerah tertentu atau dialek tertentu.
Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang  bahasa  yang  dikaitkan dengan kondisi  kemasyarakatan (Sumarsono 2004:1). Berdasarkan beberapa  uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.
Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika  dia menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah-kaidah yang  sebagian besar  tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur, bahasa sebagai anggota masyarakat.
1.1 Kegunaan Sosiolinguistik
Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Pertama-tama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau berinterakasi.
Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika berbicara dengan orang tertentu.
Sosiolinguistik juga akan menunujukan bagaimana kita harus berbicara bila kita berada didalam mesjid, diruang perpustakaan, dan ditaman.
2.            Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata 'psikologi' dan 'linguistik'. Psikologi merupakan alih kata dari bahasa Inggris ”psychology” yang berasal dari bahasa Yunani ”psyche” yang berarti jiwa, roh, atau sukma dan ”logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologis psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. Sedangkan secara terminologis menurut Sarwono sebagaiman dikutip oleh Tien Rafida mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hubungan-hubungan antar manusia. Linguistik  berpadanan dengan kata linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Perancis, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, dan linguistiek dalam bahasa Belanda yang berasal dari bahasa latin ”lingua”  yang berarti ”bahasa”.  Kemudian kata tersebut diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi linguistik yang dapat diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang menelaah bahasa sebagai objek kajiannya secara ilmiah. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa psikolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa dan perilaku dan akal budi manusia, ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi.
Berikut merupakan 2 (dua) pengertian psikolinguistik menurut beberapa ahli :
1.      Hartley
Psikolinguistik adalah ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memproses dan mengkomunikasikan ujaran dan dalam akuisisi bahasa
2.      Emon Back
Psikolinguistik adalah ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya pembicara membentuk dan membangun suatu atau mengerti kalimat tersebut
Dari definisi-definisi ini dapatlah disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam rangka berbahasa.
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama:
(a)    komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud,
(b)   produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang yang membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan,
(c)    landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan
(d)   pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka
Adapun tujuan daripada ilmu psikolinguistik itu sendiri adalah untuk membantu menyelesaikan permasalahan kompleks manusia dalam pembelajaran berbahasa, karena selain berkenaan dengan masalah berbahasa, psikolinguistik juga berkenaan dengan kegiatan berbahasa. Kegiatan berbahasa bukan hanya berlangsung secara mekanistik, tapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara psikologi dan linguistik, yang lazim disebut psikolinguistik.
3.            Linguistik Terapan
Kata linguistik (linguistics-Inggris) berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti bahasa. Dalam bahasa Perancis “langage-langue”; Italia “lingua”; Spanyol “lengua” dan Inggris “language”. Akhiran “ics” dalam linguistics berfungsi untuk menunjukkan nama sebuah ilmu, yang berarti ilmu tentang bahasa, sebagaimana istilah economics, physics dan lain-lain.
Menurut Pringgodigdo dan Hasan Shadili, sebagaimana dikutip oleh Mansoer Pateda, “linguistik adalah penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan”. Sedangkan AS Hornby membagi kata linguidtics ke dalam dua kategori, sebagai kata sifat dan kata benda. Linguistics sebagai kata sifat berarti “the study of language and languages”.
Sedangkan linguistics sebagai kata benda, berarti “the science of language; methods of learning and studying languages”. Dengan demikian, linguistik menurut AS Hornby berarti ilmu bahasa atau metode mempelajari bahasa.
Sedangkan Kata Terapan/menerapkan, berpadanan dengan to apply, yang Artinya Memakai atau Menggunakan bisa juga dimaknai Menginjak, Mempergunakan, dan mengerahkan. Makna kata Applied = put to practical use. Dari kata applied lahir gabungan kata applied linguistic yang sepadan dengan linguistic terapan (ilmu lugah al-tatbiqy). Namun Ada pula ahli linguis yang tidak setuju dengan istilah itu, Spolsky lebih setuju dengan istilah educational linguistic (linguistic Pendidikan).
Jadi bisa di simpulkan bahwa linguistik terapan adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh peneliti bahasa yang dipergunakan untuk meningkatkan keberhasilgunaan tugas-tugas praktis yang menggunakan bahasa sebagai komponen inti. 
Adapun objek kajian linguistik terapan tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai (1) sistem komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya; (2) bahasa keseharian manusia, (3) bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan an ordinary language atau a natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.
Untuk itu, berikut ini disebutkan beberapa ilmu yang berhubungan dengan linguistik terapan sebagai objek kajiannya, antara lain: (1) Linguistik terapan atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa; dan dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti harfiah. Inilah yang disebut pure linguistic atau linguistik murni, (2) Ilmu-ilmu tentang bahasa; dan dalam hal ini, istilah bahasa digunakan dalam arti metaforis atau kiasan. Contoh ilmu yang termasuk kategori ini adalah kinesik dan paralinguistik. Kinesik adalah ilmu tentang gerak tubuh/kial/ body language, seperti anggukan kepala, isyarat tangan dan lain-lain. Paralinguistik adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada aktifitas-aktifitas tertentu yang mengiringi pengucapan bahasa, seperti desah nafas, decak, ketawa, batuk-batuk kecil, bentuk-bentuk tegun seperti ehm, anu, apa itu, apa ya dan lain sebagainya, (3) Ilmu tentang pendapat-pendapat mengenai bahasa. Contohnya metalinguistik, yakni ilmu yang membicarakan seluk beluk “bahasa” yang dipakai untuk menerangkan bahasa yang tercermin dalam istilah studi teori linguistik, studi metode linguistik dan lain-lain, (4) Ilmu-ilmu mengenai ilmu bahasa. Yang termasuk kategori ini adalah studi-studi yang mengkhususkan dirinya pada ilmu linguistik itu sendiri, seperti studi tentang sejarah perjalanan ilmu linguistik, studi linguistik pada abad ke dua puluh dan lainlain.
Dari keempat jenis ilmu tersebut di atas, maka hanya nomor (1) saja yang bisa disebut sebagai ilmu linguistik yang murni karena objeknya bahasa yang benar-benar bahasa, sedangkan objek keatiga ilmu lainnya bukanlah bahasa dalam pengertian sehari-hari.
Dapat dikatakan bahwa bahasa yang menjadi objek linguistik terapan dipelajari dari berbagai aspeknya atau tatarannya. Tataran bahasa itu meliputi aspek bunyi, morfem dan kata, frase dan kalimat serta aspek makna.
Cabang linguistik yang mempelajari aspek bunyi bahasa adalah fonologi. Tataran morfem atau kata dipelajari dalam morfologi. Tataran frase/kalimat dibahas dalam sintaksis. Sedangkan aspek makna bahasa dipelajari dalam ilmu tersendiri yang disebut semantik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cabang-cabang linguistik ditinjau dari tatarannya terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa linguistic terapan lebih banyak diarahkan pada penerapan linguistic dalam pengajaran bahasa. Artinya bahwa linguistic terapan berhubungan erat dengan:
(1)   usaha penerapan linguistic dalam bidang yang bersifat praktis,
(2)   linguistic terapan bukan teori, tetapi penerapan teori, dalam hal ini teori linguistic,
(3)   tujuannya yaitu meningkatkan tugas-tugas praktis dengan jalan memusatkan perhatian pada bahasa
4.         Neurolinguistik
Neurolinguistik adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam ilmu linguistik  dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak  manusia dengan bahasa. Gangguan pada kemampuan berbahasa karena kerusakan otak manusia disebut afasia,yaitu (gangguan bicara karena mengalami gegar atau trauma otak ). Orang yang menderita kerusakan bahasa ini dapat diamati dari ketidakmampuannya berbahasa secara normal.
Kajian neurolinguistik juga merupaka kajian yang berupaya memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana psikolinguistik hanya saja fokusnya berbeda. Jilka psikolinguistik focus pada pemerolehan bahasa anak serta mencoba memahami perspektif proses komprehensi dan/atau produksi bahas yang terjadi di otak manusia, neurolinguistik berfokus pada upaya untuk membuat sebuah model neural program yang merupakan rekonstruksi kerja otak dalam memproses kegiatan bicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat.Neurolinguistik lebih berkecimpung dalam memahami kesulitan berbahasa atau gangguan berbahasa, yang mencakup kegiatan berbicara, mendengar, membaca, menulis, dan berbahasa isyarat yang menggangu kemempua berkomunikasi. Termasuk dala mnya gangguan berbahasa karena bisu dan tuli sejak lahir. Semua ini memerlukan kerja sama yang erat antara dokter ahli syaraf dan ahli linguistik.
4.1 Gangguan Berbahasa
Meskipun ukuran otak hanya maksimal 2% dari seluruh ukuran badan manusia akan tetapi otak banyak sekali menyedot energi. Apabila aliran darah pada otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh darah maka akan terjadi kerusakan pada otak atau biasa disebut dengan stroke.
            Stroke mempunyai berbagai akibat karena adanya control silang dari hemisfer kiri dan kanan. Apabila stroke terdapat pada hemisfer kiri maka akan menyebabkan gangguan pada belahan kanan dan sebaliknya. Biasanya kerusakan pada hemisfer kiri mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan wicara yang disebabkan oleh stroke disebut dengan afasia (aphasia).
Afasia juga diartikan sebagai gangguan yang berkenaan dengan hilangnya kemampuan seseorang dalam berbicara atau menulis, mamahami makna ujaran yang diucapkan. Adapun macam-macam afasia adalah sebagai berikut:
a.       Afasia Broca
Afasia Broca ialah kerusakan yang terjadi pada daerah broca,karena daerah ini berdekatan dengan jalur korteks motor, sehingga alat-alat ujaran seperti mulut bisa terganggu. Kadang-kadang mulut bisa bencong dan menyebabkan gangguan pada pengungkapan ujaran sehingga kalimat yang diproduksi terpatah-patah.
b.      Afasia wernicke
Afasia Wernicke ialah kerusakan pada daerah wernicke, sehingga penderita afasia ini tetap lancar berbicara hanya saja kalimat-kalimatnya sukar untuk dimengerti karena banyak kata yang tidak cocok dengan maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya.
c.       Afasia Anomic
Afasia anomic ialah kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe pariental atau pada batas antara lobe pariental dengan lobe temporal. Sehingga penderita ini tidak mampu mengaitkan konsep dan bunyi. Jadi bila pasien ini diminta untuk mengambil benda yang bernama gunting dia akan bisa melakukannya. Akan tetapi, kalau kepadanya di tunjukkan gunting dia tidak dapat mengatakan nama benda itu.      
d.      Afasia Global
Afasia global ialah kerusakan yang terjadi tidak hanya satu daerah saja tetapi dibeberapa daerah yang lain, kerusakan bisa menyebar dari daerah broca melewati korteks motor menuju lobe pariental dan sampai kedaerah wenicke. Sehingga mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik penderita bisa lumpuh disebelah kanan, mulut bisa moncong dan lidah bisa menjadi tidak cukup fleksibel, dari segi verbal dia bisa sukar memahami ujaran orang dan ujaran dia tidak mudah dimengerti orang karena kata-kata yang tidak jelas.
e.       Afasia Konduksi
Afasia konduksi ialah kerusakan yang terjadi pada organ yang menghubungkan lobe frontal dan lobe temporal sehingga penderita ini tidak dapat mengulangi kata yang diberikan padanya.
f.       Disartia (dysarthria)
Ialah gangguan yang berupa lafadz ujaran yang tidak jelas tetapi ujarannya utuh. Gangguan ini terjadi karena bagian rusak pada otak hanyalah pada bagian korteks motor saja, sehinga mungkin hanya lidah bibir atau rahangnya saja yang berubah.
g.      Demensia (Dementia)
Demensia ialah gangguan pada pembuatan ide yang akan dikatakan, sehinnga isi ujaran bisa loncat-loncat kesana kemari.
h.      Aleksia (Alexia)
Aleksia ialah hilangnya kemampuan untuk membaca.
i.        Agrafia (Agraphia)
Agrafia ialah hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf-huruf yang normal.
5.            Linguistik Komputasional
Linguistik komputasi (bahasa Inggris: computational linguistics) adalah bidang antardisiplin yang mengkaji pemodelan bahasa alami dengan statistika dan berbasis aturan dari sudut pandang komputasi. Pemodelan ini tidak dibatasi pada suatu bidang tertentu dari linguistik. Selain linguistik, bidang studi yang juga dilibatkan dalam linguistik komputasi antara lain adalah ilmu komputer, kecerdasan buatan, matematika, logika, ilmu kognitif, psikologi kognitif, psikolinguistik, dan antropologi.
Peran Ilmu Linguistik dalam bidang Komputasi cukup penting, sebagai contoh dalam penyusunan program komputer. Penyusunan program komputer melalui bahasa manusia berpedoman kepada bahasa formal.
Aturan bahasa formal yang digunakan adalah ekspresi reguler (regular expression) melalui gramatika reguler serta gramatika bebas konteks (CF)13. Kalau komputer kita anggap sebagai alat komputasi, maka peranan bahasa formal di dalam komputasi merupakan peranan linguistik di dalam komputasi. Mereka berkembang menjadi linguistik komputasional sampai menjadi disiplin tersendiri di bidang linguistik atau di bidang informatika. Bahkan mereka digunakan juga di dalam matematika. Linguistik komputasional tidak saja berkenaan dengan kompilator melainkan juga melahirkan berbagai bidang ilmu seperti speech recognizer, speech synthesizer, sampai ke penerjemahan bahasa.
6.            Linguistik Antropologis
Linguistik antropologis merupakan suatu cabang dalam ilmu linguistik yang meneliti bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan. Seperti yang dikatakan oleh para ahli, bahasa dan budaya mempunyai kaitan yang erat. Keduanya saling berkaitan. Bahasa merupakan bagian dari suatu kebudayaan, maka ketika kita mempelajari bahasa, secara tidak langsung kita juga memahami kebudayaannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Duranti (1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology bahwa: “....mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa”.
Linguistik antropologis berbeda dengan kajian bahasa struktural, misalnya fonologi atau morfologi. Apabila mengkaji bahasa melalui pendekatan morfologi, misalnya, kita hanya akan menemukan cara pembentukan morfem atau proses afiksasi suatu bahasa. Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan linguistik kebudayaan kita dapat lebih menyelami makna dibalik penggunaan suatu bahasa dengan mengkaitkannya dengan budaya kelompok penutur bahasa tersebut. Sehingga kita dapat menemukan makna-makna tersembunyi dalam suatu bahasa, misalnya pandangan atau ideologi yang dianut oleh kelompok penutur bahasa tersebut. Sapir (dalam Bonvillain, 1997:49) menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa dapat digunakan untuk menguak lingkungan fisik dan sosial dimana penutur suatu bahasa bermukim.
Ada banyak hal yang dapat dipelajari dalam penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan kebudayaan, misalnya variasi penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep warna dalam suatu budaya, pola pengasuhan anak, cara komunikasi suatu masyarakat saat upacara adat, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, dan sebagainya. Contohnya, apabila kita mempelajari tentang peribahasa atau saloka yang ada dalam budaya Jawa, dengan melihat dan menginterpretasi kosakata, frasa, atau kalimat yang digunakan dalam peribahasa-peribahasa tersebut, kita dapat menemukan pemahaman yang mendalam tentang budaya Jawa (cultural understanding) dan tentang ideologi atau falsafah hidup orang Jawa.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah cakupan linguistik itu terbagi menjadi tiga. Pertama cakupan linguistik dengan pendekatan struktural, kedua cakupan linguistik dengan pendekatan fungsional, dan yang ketiga linguistik yang dikaitkan dengan cabang ilmu lain.
Cakupan linguistik dengan pendekatan struktural yaitu meliputi Fonologi, Morfologi dan Sintaksis.
Cakupan linguistik dengan pendekatan fungsional yaitu mencakup Teks dan Konteks, Register, Transitivitas,Modalitas dan Tema-rema
Linguistik yang dikaitkan dengan cabang ilmu lain seperti Sosiolinguistik, Psikolinguistik, Linguistik Terapan, Linguistik Komputasional, Neurolinguistik, Linguistik Antropologis.
B.     Saran
Sebagai mahasiswa pendidikan bahasa harus menguasai semua cakupan linguistik, karena akan berguna untuk kehidupan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung : Angkasa.
Chaer Abdul. 2009 Psikolinguistik. Jakarta. PT Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Chaer, Abdul. dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Gadjah Mada University Press






[1] Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2012, hlm 1
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2012, hlm. 13
[3] Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta, 2012, hlm. 15
[4] Ibid, hlm. 102
[5] Ibid. hlm.103
[6] Ibid,. hlm. 125
[7] Ibid,. hlm. 134
[8] Ibid
[9] Ibid,. hlm. 136
[10] Ibid,. hlm.151
[11] Dr. Mansoer Pateda, Linguistik Sebuah Pengantar, Bandung, 2011, hal. 97
[12] J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, Yogyakarta, 2010, hal 161
[13] Op. cit. hlm. 219
[14] Ibid. hlm. 241
[15] Register: The level and style of a piece of writing and speech, that is usually appropriate to the situation that is used in; The essay suddenly swtiches from a formal to an informal register.
[16] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta, 2010, hlm. 2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...