BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu
fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana
realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut
memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana
ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa
cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam
ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu.
Membahas ilmu pengetahuan, sangat
erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu
pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman
yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal
inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain.
Setiap manusia yang baru
dilahirkan tidak langsung besar dan pandai, sewaktu kita kecil tentunya akan
beranggapan bahwa segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang
terlihat seperti raksasa, saat kita duduk di Sekolah Dasar dulu menganggap
sangat luar biasa akan kemampuan guru-guru Sekolah Dasar di saat itu. Dugaan
asumsi atau pandangan yang dilontarkan anak kecil itu menurut kita orang dewasa
seperti biasa saja, memang pandangan itu akan berubah setelah kita beranjak
dewasa. Dunia yang besar ternyata tidak sebesar apa yang kita kira, hal ini
terutama dengan ditopang oleh kemajuan wawasan, informasi dan teknologi,
sehingga segalanya seolah menjadi menciut, bumi yang luas tadi seperti seluas
daun kelor.
Dapat di lihat ilmu tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan
lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Suatu ilmu menawarkan
kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang, yang didalamnya selain terdapat
kemungkinan bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah.
Nilai kebenaranya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang terkandung ilmu
tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan
kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka didapatkan rumusan permasalahan
:
a)
Apa
itu ontologi?
b)
Apa
itu metafisika?
c)
Apa
itu asumsi?
d)
Apa
itu peluang ?
3.
Tujuan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
a)
Sebagai
tugas mata kuliah filsafat umum
b)
Menjelaskan
pengertian ontologi
c)
Menjelaskan beberapa konsep ontologi
yaitu metafisika, asumsi dan peluang
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ontologi
Menurut bahasa ontologi adalah ilmu tentang yang ada, berakar
dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada dan ontos berarti keberadaan, logos berarti
pemikiran (Lorens Bagus: 2000). Ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui
seberapa jauh ingin kita tahu. Maka ia merupakan kajian mengenai teori yang
ada, dengan kata lain ontologi menjelaskan “apa” sasaran yang dikaji oleh ilmu.[1]
Menurut pendapat Suriasumantri (1985), ontologi membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau,
dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
a)
Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah?
b)
Bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
c)
Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.[2]
Menurut Soetriono & Hanafie (2007), ontologi yaitu
merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi
obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta
penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek
formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang
dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan
keberadaan.
Menurut Pandangan The Liang Gie, ontologi adalah bagian dari
filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi
persoalan-persoalan :
a)
Apakah
artinya ada, hal ada?
b)
Apakah
golongan-golongan dari hal yang ada?
c)
Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d)
Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana
entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek
fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada?
Menurut Ensiklopedi Britannica
Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles, ontologi yaitu teori atau studi
tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas.
Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan
sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti,
struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh
Aristoteles abad ke-4 SM).[3]
Sebuah ontologi memberikan
pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi
pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan
sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat
digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian,
ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari
suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya,
pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Hakekat
kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:
a)
Kuantitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b)
Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum.[4]
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari
bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini
menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang
keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam sesuai
dengan berjalannya waktu. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
2.
Metafisika
Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti “ a central
part of metaphisics” (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika
diartikan sebagai that which comes after physics, … the study of nature in
general (hal yang hadir setelah fisika, … studi umum mengenai alam).
Pembahasan ontologi terkait
dengan pembahasan mengenai metafisika. Berdasarkan asal katanya Metafisika
dapat diartikan (Bahasa Yunani: μετά (meta) = “setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) =
“hal-hal di alam”) adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas
persoalan tentang keberadaan atau eksistensi. Menurut pendapat Archie J. Bham
mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu penyelidikan pada masalah
keberadaan.[5]
Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara
lain: Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari
pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama. Metafisika
sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua
being) yaitu keseluruhan kenyataan. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang
mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh
adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.[6]
Metafisika adalah studi
keberadaan atau realitas. Metafisika diibaratkan sebagai tempat berpijak dari
setiap pemikiran filsafat, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas?
Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Beberapa aliran yang ada di dalam
metafisika:
a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib
(supernatural) dan wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari paham Supernatural ini lahirlah
tafsiran-tafsiran cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya bahwa
terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini sangat bertentangan
dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala
alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena
kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat
diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti
itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata,
sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.
Dari paham naturalisme ini juga
muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia
berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M).
Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua
tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham
vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya
merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup
adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar
gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telaah
mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling
berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan
aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat
(objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang
tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya
berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi
yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam
metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran)
yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang
ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah
pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.[7]
Jadi pada dasarnya tiap ilmuwan
boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda. Boleh menganut paham
mekanistik atau paham vitalistik, boleh setuju pada paham monistik atau
dualistik. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini adalah sifat pragmatis
dari ilmu.
3.
Asumsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi memiliki arti:
(1) dugaan yang diterima sebagai dasar; (2) landasan berpikir karena dianggap
benar. Dalam ilmu filsafat, asumsi merupakan pernyataan yang kebenarannya dapat
diuji secara empiris.
Setiap ilmu selalu memerlukan
asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi
lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan
asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang
intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan
gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk
menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang
mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan
asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum
melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD
1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas
bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi
ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.[8]
Asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam
pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian
sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi
berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang
sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran
sudah membuktikan sendiri disebut Postulat. Pernyataan yang dimintakan
persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima
saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen .
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan
asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal
bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton
(1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa
pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak
terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini
banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur
yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik
menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain,
kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan
budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan
bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran
yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik,
kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang.
Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik
menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik
dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi
misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik
dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel
dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah
kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95%
berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik
menurut kriteria ilmu ekonomi.[9]
Dalam menentukan suatu asumsi
dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada
pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu.
Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi
seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya
yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik
dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi
sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu
manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki
kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal
hakiki dalam kehidupan. Karena itu, harus disadari bahwa ilmu tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Ilmu perlu memiliki
keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat
personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi
diantara kutub determinasi dan pilihan bebas, ilmu menjatuhkan pilihannya
terhadap penafsiran probabilistik.[10]
Asumsi harus relevan dengan
bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis Asumsi ini harus disimpulkan dari
“keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi
asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan
positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi
adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat
objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang
sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
a)
Nominalime:
kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep
baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya,
realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
b)
Realisme:
kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang
tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan
realita tidak tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial,
terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial.
Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah
yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi
yang berbeda ini tercermin dalam dua teori:
a)
Order
Asumsi ini lebih diterima secara
umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini,
masyarakat memiliki sifat Relatif stabil, Terintegrasi dengan baik. Elemen dari
masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi. Struktur sosial tercipta berdasarkan
konsensus, bukan pemaksaan (coercion )
b)
Konflik
Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat
memiliki sifat Mengalami perubahan di banyak aspek, Mengalami konflik di banyak
aspek.
Setiap elemen dari masyarakat
memiliki kontribusi ke arah disintegrasi. Perbedaan order versus konflik ini
cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical
change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada
bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan
akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana
terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi. Penelaahan
suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat,
terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang
kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan
secara detil.[11]
Dalam penelitian kita diharuskan untuk menyusun asumsi. Hal
ini sebagai stimulus, agar kita mencari pembuktiaan sebuah kebenaran ilmiah.
Dalam menyusun asumsi ini kita tidak boleh sembarangan, akan tetapi kita harus
melihat konteks atau objek yang kita teliti. Untuk menentukan asumsi harus
didasarkan atas kebenaran yang telah diyakini oleh peniliti. Sebelum
menentukan asumsi peneliti harus lebih mengetahui terhadap sesuatu dengan cara:
a. Dengan banyak membaca buku, surat kabar atau terbitan
lain.
b. Dengan banyak mendengar berita, ceramah, pembicaraan orang
lain.
c. Dengan banyak berkunjung ke tempat (lokasi penelitian).
d. Dengan mengadakan pendugaan
mengabstraksi berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.
Dalam
membuat suatu asumsi, maka hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a.
Asumsi harus operasional dan asumsi merupakan dasar bagi pengkajian teoritis.
b.
Asumsi harus menyatakan keadaan yang sebenarnya, bukan keadaan yang diprediksi
atau seharusnya.
c.
Peneliti harus mengenal betul asumsi yang dipakainya dalam menyusun kerangka
berpikirnya. Asumsi yang berbeda, maka beda juga teori yang digunakan.
d.
Asumsi harus dinyatakan tersurat, sebab asumsi yang tersirat terkadang
menyesatkan dan menyebabkan interprestasi yang berbeda.[12]
4.
Peluang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian
peluang yaitu: (1) Kesempatan; (2) Ruang gerak, baik yang konkret maupun yang
abstrak, yang memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk memanfaatkannya
dalam usaha mencapai tujuan. Pengertian Probabilitas adalah suatu nilai yang
digunakan untuk mengukur tingkat terjadinya suatu kejadian yang acak. Kata
probabilitas itu sendiri sering disebut dengan peluang atau kemungkinan.
Probabilitas secara umum merupakan peluang bahwa sesuatu akan terjadi. [13]
Dalam perkembangannya peluang menjadi salah satu cabang ilmu
baru yang kemudian dikenal dengan ilmu probabilistik atau ilmu peluang. Walau
termasuk ilmu yang relatif baru, ilmu ini bersama dengan statistika berkembang
cukup pesat. Probabilitas merupakan
salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada
percakapan keseharian tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang
lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata lain, probabilitas
acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi ilmiah.
Peluang dinyatakan dari angka 0
sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu tidak mungkin terjadi.
Dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi. Misalnya bahwa peluang
semua makhluk hidup itu akan mati dinyatakan dengan angka 1. Hukum statistika
hanya menyatakan distribusi kemungkinan atau peluang dari nilai besaran dalam
kasus-kasus individual. Misalnya peluang munculnya angka tertentu dari lemparan
dadu adalah 1/6. Hukum statistik tidak meramalkan apa yang akan terjadi atau
apa yang pasti terjadi dalam suatu lemparan dadu. Hukum ini hanya menyatakan
jika kita melempar dalam jumlah lemparan yang banyak sekali maka setiap muka
dadu diharapkan untuk muncul sama seringnya.[14]
Kita tahu bahwa untuk menjelaskan
fakta dari suatu pengamatan, tidak pernah pasti secara mutlak karena masih ada
kemungkinan kesalahan pengamatan. Namun di luar dari pada itu jika hal ini
ditinjau dari hakikat hukum keilmuan maka terdapat kepastian yang lebih besar
lagi. Hal itu karena ilmu menyimpulkan sesuatu dengan kesimpulan probabilistik.
Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk
mengambil keputusan lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi kita untuk mengambil keputusan,
dimana keputusan harus berdasarkan penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat
relatif dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan
kita dan bukan di teori-teori keilmuan. Oleh karena itu manusia yang
mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa
yang dinyatakan oleh ilmu tersebut.
Misalnya seorang ilmuwan
geofisika dan meteorologi hanya bisa memberikan bahwa kepastian turun hujan
0.8. Peluang 0,8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk
turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian), atau sekiranya
merasa pasti (100%) bahwa esok akan turun hujan maka saya akan berikan peluang
1,0 atau dengan perkataan lain yang lebih sederhana, peluang 0,8 mencirikan
bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh hujan, 8 kali memang hujan itu
turun dan dua kali ramalan itu meleset. Jadi walaupun mempunyai peluang 0,8
bahwa hari akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak hujan.[15]
Seorang psikolog hanya bisa
memberikan alternatif mengenai jalan-jalan yang bisa diambil. Keputusan apa
yang akan diambil seseorang sehubungan informasi cuaca di atas atau langkah apa
yang akan diambil seseorang sesuai saran psikolog tergantung masing-masing
pribadi. Keputusan ada
di tangan masing-masing pribadi bukan pada teori-teori keilmuwan. Maka mungkin
itu yang menjadi penyebab orang yang tidak pernah mau mengambil keputusan
sendiri lebih senang pergi ke dukun. Hal itu karena berkonsultasi dengan
psikolog atau psikiater paling-paling diberi alternatif-alternatif yang dapat
diambil, sedangkan pergi ke dukun maka si dukun akan dengan pasti berkata,
“Pilih jalan ini, saya jamin pasti berhasil”. Akan tetapi, seseorang yang
mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “80% anda
akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda
pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada
kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat
kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai
kebenarannya pun tergantung dari presentase kebenaran yang dikandung ilmu
tersebut. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang
pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Sehingga ini akan
menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada
jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa
kesimpulan :
a)
Ontologi
merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada.
b)
Bidang
metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk
pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam
ini. Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi
pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari
metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal
yang saling terkait.
c)
Asumsi diperlukan untuk mengatasi
penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah
suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat
dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi
dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa
penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan
segala hal yang tersirat.
d)
Dasar
teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai
satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran
kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
2. Saran
Perlunya
mempelajari filsafat dari segi ontologi serta memahami konsep-konsep seperti
metafisika, asumsi dan peluang untuk memperdalam hakikat dari ilmu itu sendiri.
Membaca dan berfikir merupakan salah satu cara untuk memahaminya sehingga hasil
dari pembelajaran ini dapat bermanfaat dalam proses pembelajaran.
Daftar Pustaka
Bertens, Kees. 1998. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:
Kanisius
Lubis, M. Solly. 2000. Filsafat
Ilmu dan Penelitian. Jakarta: Mandar Maju
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http://ilmukepolisian.com/pengertian-ontologi.php
http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/13/ontologi/
PERTANYAAN:
1.
Mengapa ontologi terkait dengan
metafisika?
Ontologi membahas hakikat yang
“ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini
sebenar-benarnya, Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari
ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi
saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal
yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas
jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan
manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).
2.
Apakah
suatu hipotesis merupakan asumsi?
Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis
merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan
kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah
payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang
digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah.
Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena
hujan.
3.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam
suatu analisis keilmuan?
Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak
penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan
dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit
menjadi diperlukan.
4.
Bagaimana
cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian
disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das
sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih
lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena,
apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi
individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu.
5.
Apa yang terjadi jika kita melakukan
kesalahan pada penggunaan asumsi?
Kesalahan penggunaan asumsi akan
memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek
pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari
penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan
tidak tepat.
6.
Apa kegunaan asumsi itu sendiri? Apa kaitannya dengan ontology?
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian,
semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat
dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi
dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa
penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002)
menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu
pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption)
keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Ontologi dalam filsafat
merupakan bidang yang mencoba untuk mencari hakikat tentang “sesuatu”, di dalam
proses pencariannya ini maka asumsi dibutuhkan untuk mengatasi penelaahan suatu
permasalahan tersebut menjadi meluas. Asumsi menjadi suatu landasan berfikir
sebelum hakikat kebenaran dalam pengetahuan tersebut tampak adanya.
7.
Berikan contoh paham mekanistik dan
vitalistik serta monoistik dan dualistic?
Buku filsafat hlm. 66 & 70
[1] M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,
(Jakarta: Mandar Maju, 2000), hlm.16
[2]
Ibid, hlm.17
[3] http://ilmukepolisian.com/pengertian-ontologi.php,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.00 WIB
[4] http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/13/ontologi/,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.10 WIB
[5]
Rizal Mustansyir , Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.10
[6] Kees Bertens, Sejarah FilsafatYunani,
(Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.154
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm.64
[8] http://reinyfeiny.blogspot.co.id/2010/12/beda-asumsi-dan-probabilitas.html,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.00 WIB
[9] Ibid
[10]
Jujun S. Suriasumantri, op. cit, hlm.77
[11] http://lusytekpend.blogspot.co.id/2008/01/pengembangan-media-berbasis-ko-mputer.html,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.20 WIB
[12] http://www.informasiahli.com/2015/07/pengertian-asumsi-dalam-penelitian.html,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.30 WIB
[13] http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-probabilitas-dalam-statistik.html,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.15 WIB
[14] http://gieekazone.blogspot.co.id/2012/10/ontologi-metafisika-asumsi-dan-peluang.html,
pada tanggal 22 September 2016 pukul 13.22 WIB
[15]
Jujun S. Suriasumantri, hlm. 78
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus