Langsung ke konten utama

Metode Ilmiah, Langkah-langkah Mendapatkan Pengetahuan Secara Ilmiah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Dasar Pemikiran
Saat ini telah begitu banyak ditemukan penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan tersebut dapat dirasakan hampir dalam segala bidang dan lingkungan di mana kita berada. Misalnya, keberadaan ilmu tekhnologi yang semakin hari semakin canggih. Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui sejumlah proses yang memakan waktu cukup relatif panjang. Hal ini (semakin pesatnya penemuan-penemuan baru) merupakan suatu yang tidak dapat terelakkan lagi, karena hal tersebut merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri, yakni keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
 Penemuan yang berkembang tidak semata-mata tercipta begitu saja, melainkan melalui proses panjang yang dilaluinya. Hasil temuan dalam sebuah bidang merupakan hasil dari proses berpikir manusia. Di dalam proses penelitian tentang suatu ilmu tersebut maka diperlukan sebuah cara, sehingga dapat tersusun secara sistematis atau terstruktur. Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia, menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan, tentunya akan dibutuhkan tahapan-tahapan tertentu hingga tercapainya sebuah tujuan dari penelitian tersebut. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa suatu memiliki berbagai segi yang menuntut penggunaan berbagai metode.
Metode ilmiah merupakan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus harus memenuhi syarat–syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahun dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah, yang akan dibahas pada makalah ini.



1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, maka rumusan masalah yang muncul adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan metode ilmiah?
2.      Bagaimana langkah-langkah atau metode untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah?

1.3  Tujuan Makalah
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.        Definisi metode ilmiah dalam sebuah ilmu
2.        Menentukan langkah-langkah atau metode ilmiah dalam proses berpikir


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Metode Ilmiah
Metode berasal dari kata methodos yang terdiri dari kata metha yaitu melewati, menempuh atau melalui dan kata hodos yang berarti cara atau jalan. Secara harafiah, metode adalah cara atau jalan yang akan dilalui atau ditempuh. Menurut istilah, metode ialah cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan. Senn dalam Jujun mendefinisikan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Adapun metode merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.[1] Suharsimi menambahkan bahwa metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya.[2]
Pengertian “Ilmiah” secara istilah dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bersifat keilmuan atau sains (pemahaman tentang sesuatu yang dapat diterima secara logika/ akal/ pikiran/ penalaran). Ilmu yang ilmiah (ilmu pengetahuan) adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan dengan mengolah atau memikirkan realita yang berasal dari luar diri manusia secara ilmiah, yakni dengan menerapkan metode ilmiah. Jusuf Soewandi mendefinisikan bahwa metode ilmiah adalah suatu usaha atau proses untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan atau masalah dengan cara yang sabar, hati-hati, terencana, sistematis atau dengan cara ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan fakta –fakta atau prinsip, mengembangkan dan menguji kebenaran ilmiah suatu pengetahuan.[3] Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.



2.2 Langkah-langkah Metode Ilmiah
Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan bersama dan dibentuk dengan ilmu. Secara sederhana teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya dan harus cocok dengan fakta-fakta empiris. Prosedur berpikir ilmiah modern masih menggunakan kaidah keilmuan Barat yang mendasarkan pikirannya pada penalaran rasional dan empiris. Dengan kata lain, metode ilmiah merupakan penggabungan antara cara berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris) dalam membangun tubuh pengetahuan.
Berpikir deduktif memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah. Karena itu, ia harus konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkannya. Penjelasan rasional dengan kriteria kebenaran koherensi tidak dapat memberikan kesimpulan final sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme lebih bersifat pluralistik sehingga memberi kemungkinan untuk menyusun berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran tertentu. Karena itu, dalam metode berpikir ilmiah juga diperlukan cara kerja berpikir induktif yang mendasari kriteria kebenaran pada teori korespondensi. Teori ini menyebutkan bahwa pernyataan dianggap benar jika materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian dengan fakta empiris.
Menurut Ritchie Calder dalam Jujun, proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.[4] Ketika manusia mengamati sesuatu hal yang bertentangan dengan teori yang seharusnya, maka disinilah proses berpikir manusia dimulai. Manusia akan menemukan sebuah kesenjangan atau masalah terhadap objek yang diamatinya. Zaman yang berkembang dari kebudayaan suatu masyarakat ke masyarakat selanjutnya tentunya memiliki perbedaan. Berdasarkan sikap manusia dalam menghadapi masalah tersebut, maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap mistis, ontologis, dan fungsional.
Pada tahap mistis sikap manusia dalam menghadapi masalahnya masih merasakan bahwa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib. Tahap ontologis adalah tahapan ketika manusia tidak lagi merasakan bahwa dirinya terkepung oleh kekuatan mistis dan bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya. Tahap fungsional adalah tahapan ketika manusia bukan hanya mengambil jarak dari objek yang ada di sekitarnya, melainkan lebih dari itu. Manusia sudah mulai memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya.
Pada tahap ketika manusia mulai menghilangkan pengaruh-pengaruh dari kekuatan mistis inilah sebuah ilmu dinilai secara rasional dan empiris. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak sesuai dengan fakta.[5] Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa syarat utama sebuah teori ilmiah adalah
1.      Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadi kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
2.      Harus sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasarkan syarat yang telah disebutkan di atas, maka untuk membuktikannya muncul sebuah jawaban sementara yang disebut dengan hipotesis. Hipotesis, yaitu dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi. Penyusunan hipotesis pada dasarknya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Seorang peneliti tidak akan puas dengan hasil hipotesis yang didapatkan dari pengumpulan berbagai premis. Hipotesis dalam penelitian hanya sebatas jawaban sementara yang belum terbukti kebenarannya. Oleh karena itu, hipotesis harus dibuktikan dengan cara diuji. Pengujian hipotesis dilakukan dengan mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata. Misalnya dalam penelitian pendidikan, sebuah metode pembelajaran memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai siswa, maka hipotesis tersebut harus diuji untuk membuktikan kebenarannya. Dalam pengujian hipotesis dibutuhkan sebuah alat untuk menghindari subjektivitas dari peneliti. Alat tersebut adalah sebuah instrumen penelitian. Suharsimi mendefinisikan bahwa instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam artian lebih cermat, lengkap, dan sistematis, sehingga lebih mudah diolah. [6] Penentuan sebuah instrumen dapat ditentukan dengan cara mengembangkan instrumen yang sudah ada atau menggunakan instrumen tersebut tanpa memodifikasinya, atau dengan kata lain menggunakan secara keseluruhan tanpa ada pengubahan sedikit pun.[7]
Menurut AR Lacey untuk menemukan kebenaran yang pertama kali dilakukan adalah menemukan kebenaran dari masalah, melakukan pengamatan baik secara teori dan ekperimen untuk menemukan kebenaran, falsification atau operasionalism (experimental opetarion, operation research), konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran, Metode hipotetico – deduktif, Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta. Kerangka berpikir yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya,
b.      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasrakan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c.       Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d.      Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e.       Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu di tolak atau diterima. Seandainya dalam pengujian terdapat fakta-fakta yang cukup dan mendukung maka hipotesis tersebut akan diterima dan sebaliknya jika tidak didukung fakta yang cukup maka hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus sitafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.[8]


2.3. Ilmu dan Kelemahan Ilmu
Kelima tahapan tersebut setidaknya harus dilakukan secara keseluruhan sebagai landasan awal dalam berpikir ilmiah. Apabila tahapan-tahapan dasar ini tidak dipahami dan tidak dilakukan secara benar dikhawatirkan akan menimbulkan variasi yang dikembangkan mungkin saja tidak mencerminkan sebuah ciri yang seharusnya dipenuhi oleh suatu kegiatan keilmuan. Seperti yang dikatakan oleh Percy Bridgman dalam Jujun bahwa ilmu adalah apa yang seseorang lakukan dengan pikirannya tanpa pembatasan apa pun[9]. Metode ilmiah merupakan hal penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarat ilmuan. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkah dengan metode-metode yang lain, menurut Jacob Bronowski, adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik adan eksplisit.
Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif ke dalam kalangan masyarakat ilmuan. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya ilmu ditemukan secara individual namun dapat dimanfaatkan secara sosial. Sebuah ilmu dapat dikembangkan, dikaji ulang, bahkan diragukan dalam perkembangan zamannya. Jujun mengatakan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Proses pembuktian dalam ilmu tidak bersifat absolut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis dari ilmu. Sifat pragmatis tersebut mengemukakan bahwa ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut atau mutlak melainkan kebenarannya yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Misalnya, pada sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu pusat pembelajaran masih terletak pada guru, namun seiring perkembangan zaman hal itu sudah mulai bergeser. Pada kurikulum yang terbaru, yakni kurikulum 2013 guru pembelajaran berpusat pada siswa. Hal ini ditunjang dengan adanya berbagai informasi yang terbuka luas. Hal ini mengartikan bahwa sebuah metode pada suatu masa, belum tentu memiliki manfaat yang sama pada masa yang lain.
Metode ilmiah pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Jika terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan tersebut maka hanya sekadar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya. Misalnya teknik pembelajaran membaca efektif pada taraf sekolah dasar tentunya akan berbeda dengan teknik pembelajaran membaca efektif pada taraf sekolah menengah.
Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam menerapkan proses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan hakikatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Atau dengan perkataan lain, struktur berpikir yang melatarbelakangi langkah-langkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. Penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian.
            Ilmu bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak seluruhnya benar karena belum ada satu pun dari seluruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai penggunaan metode pembelajaran terhadap siswa, bahwa tidak sepenuhnya ilmu dapat konsisten dari masa ke masa. Hal ini menyebabkan ilmu memiliki sifat pragmatis.
Sifat pragmatis yang ada dalam sebuah ilmu, sebenarnya mengungkapkan bahwa ilmu juga memiliki kekurangan, disamping kelebihannya untuk menyelesaikan permasalahan manusia. Dalam perspektif inilah penelitian tidak ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak pada kemampuannya menjawab permasalahan pada suatu masa. Ilmu juga membatasi dirinya hanya pada hal-hal yang bersifat empiris atau pengalaman manusia semata. Demikian juga ilmu yang terspesialisasikan menyebabkan bidang pengkajian suatu disiplin keilmuan menjadi semakin sempit. Jadi pada hakikatnya penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral yang mendorong manusia untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap sebuah permasalahan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan kajian pustaka yang tercantum tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang ilmiah maka diperlukan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode ilmiah muncul sebagai sarana berpikir manusia sebagai makhluk yang berakal. Adapun tahapan dalam metode ilmiah dimulai dari merumuskan masalah yang berasal dari kesenjangan antara fakta dan teori yang seharusnya. Kemudian dari masalah tersebut ditentukan penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.

3.2. Saran
            Penyusunan makalah mengenai metode ilmiah ini, diharapkan kepada para pembaca bahwa selanjutnya dalam penyusunan penelitian akan dilakukan dengan prosedur yang sesuai. Penyusunan tahap penelitian yang terdiri atas lima langkah tersebut merupakan dasar sebuah alur berpikir hingga dapat dibuktikan bahwa sebuah ilmu tercipta secara rasional dan empiris. Terlepas dari kelemahan ilmu, pada hakikatnya ilmu tetap memiliki kelebihan yang dapat menyelesaikan permasalahan manusia yang muncul.






DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Cresswell, John W. 2012. Educational Research. Boston: Edward Brothers, Inc.
Soewadji, Jusuf. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Surya Multi Grafika.














                                                                                



[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Surya Multi Grafika, 2013), hlmn. 119.
[2] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), hlmn. 203
[3] Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hlmn. 11.
[4] Jujun S. Suriasumatri, op. cit., hlmn. 121.
[5] Ibid. hlmn. 124
[6] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), hlmn. 203
[7] John W. Cresswell, Educational Research (Boston: Edward Brothers, Inc, 2012), hlmn. 157.
[8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Surya Multi Grafika, 2013), hlmn. 128.
[9] Ibid, hlmn. 130

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...