Langsung ke konten utama

Sejarah, Jarum Sejarah Pengetahuan, Cara Mendapatkan Pengetahuan Yang Benar

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar  Belakang
Pengetahuan dimulai denga rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang ita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Sebelum abad ke-17 tidak ada perbedaan antara jenis-jenis pengetahuan. Konsep dasar pengetahuan adalah kriteria kesamaan bukan perbedaan. Pada masa itu, pengetahuan bersifat universal dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu seperti raja atau orang pintar. Seorang kepala suku misalnya dia merangkap sebagai hakim, penghulu, panglima perang dan ahli pengobatan.
Setelah berkembangnya abad penalaran pada pertengahan abad ke 17 konsep dasarnya berubah dari kesamaan kepada perbedaan berbagai pengetahuan yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pada masa ini, manusia telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman pribadi maupun kelompok, yang berhubungan dengan bagaimana cara seseorang atau kelompok itu menemukan pengetahuan itu.
Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Pengetahuan merupakan kumpulan ilmu untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari yang ditemui manusia. Dalam filsafat ilmu, pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita.


B.  Rumusan Masalah
1.                  Apa yang dimaksud dengan Sejarah?
2.                  Bagaimana Jarum Sejarah Pengetahuan dan pengetahuan?
3.                  Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar?
C.  Tujuan Penulisan Makalah
1.                  Untuk mengetahui apa itu Sejarah.
2.                  Untuk mengetahui perkembangan jarus sejarah pengetahuan dan pengetahuan.
3.                  Untuk mengetahui cara mendapatkan pengetahuan yang benar.






















BAB II
LANDASAN TEORI

A.                 Pengertian Sejarah         
            Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju. Maka dari itu, sejarah diumpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang paling kecil yang kemudian bisa diartikan silsilah. Dalam bahasa Inggriskata sejarah (history) berarti masa lampau umat manusia. Sedangkan dalam bahasa Jerman, kata sejarah (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin dan Yunani, kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai.[1]
B.                  Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.[2] Selain itu, pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[3] Jadi dapat disimpulkan pengetahuan adalah sumber jawaban dari rasa ingin tahu manusia dalam kehidupan.
Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi). Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Tahap selanjutnya dengan mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis dan berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempertanyakan dasar-dasar pikiran. Lalu berkembang lagi ke arah empirisme yang didasarkan pada kenyataan pengalaman.
 Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan.[4]
C.                  Jarum Sejarah Pengetahuan
·               Ilmu pengetahuan dan perkembangannya
Kemunculan ilmu pengetahuan di eropa di mulai pada zaman yunani kuno. Periode ini sangat penting dalam pradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola fikir manusia, dari pola pikir mitosentoris yang sangat mengandalkan mitos dalam penjelasan fenomena alam dalam pola pikir logosentris yang sangat memperhatikan penggunaan kualitas dalam memahami penomena alam. Kemunculan sains di eropa bermula dari filsuf-filsuf yunani yang mendiami pantai dan pulau-pulau mediterrianian timur (Ravertz, 1982:7) di akhir abad ke 6 sampai ke 5 SM. Karya mereka hanya dikenal   dengan   cuplikan-cuplikan,   rujukan-rujukan,   dan    kutipan-kutipan yang dibuat oleh para pengarang setelah mereka[5]

Pada waktu dulu kriteria kesamaan yang menjadi konsep dasar. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang.  Tidak  terdapat  jarak  antara objek  yang satu  dengan objek yang lain, antara ujud yang satu dengan ujud yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad Penalaran pada pertengahan abad ke 17. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahuinya dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Berdasarkan objek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu- ilmu alam dan ilmu-ilmu social. Dari cabang ilmu yang satu sekarang ini diperkirakan berkembang lebih dari 650 cabang disiplin ilmu.
Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada perbedaan. Mulailah terdapat perbedaan yang jelas antara berbagai macam ilmu pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan yang konsekuensinya yang mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon-pohon pengetahuan mulai mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu digunakan[6].
Contoh sejarah pengetahuan yaitu pernahkah Anda mendengar seorang tukang obat menawarkan panacea (untuk segala macam penyakit) di kaki lima yang berkata, “Untuk urat kaku, pegal, linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, kurang jantan… makanlah tablet ini tiga kai sehari, diguyur dengan air minum, yang hamil dilarang makan?” Raja obat yang mampu mengobati segala macam penyakit ini adalah warisan dari zaman dulu, di mana pada waktu itu, perbedaan antara ujud yang satu dengan ujud yang lain, belum dilakukan.[7]
          Pada masyarakat primitif, perbedaan antara berbagi organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku, umpamanya, bisa merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, ke mana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Seorang ahli di bidang peternakan ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan, perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.
Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batasan-batasannya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dengan yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental, dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama. Jadi wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak terdapat pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah, cara mengobati sakit gigi, menentukan kapan mulai bercocok tanam atau biografi para dewa di kayangan. Pokoknya semua adalah satu apakah itu objeknya, metodenya, atau kegunaannya.
Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan. Deferensiasi dalam bidang ilmu dengan cepat terjadi. Secara metafisika ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan objek yang ditelaahnya mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Dengan dalih inter-disipliner maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu dalam kesatuan yang berdifusi.
Pendekatan inter-disipliner merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma (konsep dasar yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan) baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika, dan bahasa. Setelah Perang Dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengkajian bersama antar-disiplin keilmuan. Jelasnya bahwa pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, di mana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telaahan bersama.    
D.                Pengetahuan
Pengetahuan pada haikikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk  dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainnya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pertanyaan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mafia suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekirannya kita bertanya “apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati”, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepda ilmu melainkan kepada agama, secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu memang tidak diprogramkan untuk itu.
Jadi, pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan  bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarangan saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati tersebut epistimologi, dan landasan epistimologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?
Setiap jenis pengetahun ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan epistimologi ilmu dan epistimologi ilmu dan epistimologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistimologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari di hadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah, alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengotrol gejala alam. Oleh sebab itulah, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam. Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itulah bagaimana sebaiknya kita mengambangkan landasan epistimologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi oleh epistimologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksilogi masing-masing.
Penjelasan yang dituju penelaahan ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan sebuah gejala dan proses atau mekanis terjadinya gejala itu. Umpamanya kegiatan ilmiah ingin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi gula menjadi manis rasanya. Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah. Ilmu tidak bermaksud untuk mendeskripkan betapa manisnya secangkir kopi yang diberi gula. Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabtraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya, lewat berbgaia kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti pikiran, emosi dan panca indera. Seni, menurut Mochtar Lubis, merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas cengkraman dan belenggu berbagai ikatan. [8] Model pengungkapan realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karna itu kita tak bisa mempergunakan model tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni. Karya seni ditunjukkan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu. Sebuah ciptaan yang maknanya tidak bersifat komunikatif melainkan sekadar berarti bagi penciptanya sendiri merupakan  karya seni melainkan suatu bentuk neurosis.[9] Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti suatu bangsa.
Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan”[10]. Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan “menjiwai” pengalaman tersebut. Itulah sebabnya maka Dante berkata seorang pelukis yang ingin mengungkapkan sebuah bentuk tetapi tidak dapat menjiwainya takkan dapat menggambarkannya.[11] Penjiwaan atas pengalaman orang lain itulah yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita seperti disimpulkan oleh Somersed Maugham bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman(penderitaan) orang lain.[12]
Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dulu kala. Mereka merasa tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang sangat dahsyat yang di anggapnya merupakan kekuatan yang luar biasa ini, dicobanya untuk dijelaskannya dengan mengkaitkannya dengan makhluk yang luar biasa pula, dan berkembang lah berbagai mitos tentang berbagai para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribadian dan kelakuan mereka dan karena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supranatural yang juga bersifat begitu. Maka muncullah dewa-dewa yang pemarah, pendendam, atau mudah jatuh cinta, disamping berkeampuhan yang luar biasa. Manusia pada taraf ini telah mencoba menafsirkan alam fisik ini dan bahkan telah mencoba pula untuk mengontrolnya. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam maka mengontrol timbulnya gejala berupa yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang bersangkutan. Maka bertumpuklah bermacam penganan dan sajian (sesajen) dibatas kampung atau simpang jalan; sebab dewa-dewa ini, meminjam perkataan Isaak Asimov bukan saja urakan, aneh, emosional dan mudah mengamuk karena hal-hal kecil, melainkan juga mudah terpengaruh oleh “sogokan yang kekanak-kanakan”.[13] Sogokan ini tentu saja sebanding dengan lingkup kontrol yang diminta : dari segenggam garam, penyerahan kehormatan dalam orgi yang ritual sampai penyerahan kurban jiwa yang dibantai di muka altar. Mereka mencoba mengembangkan suatu sistem pengetahuan untuk menafsirkan gejala-gejala fisik dan mekanisme yang mengaturnya. Dapat dibayangkan betapa terlunta-luntanya manusia jika sekiranya dia sama sekali buta terhadap kekuatan alam yang terdapat disekeliling dirinya. Dengan mengembangkan penafsiran tertentu, betapa pun primitif dan takhayulnya, mereka lalu mempunyai suatu pegangan. Bukan saja mengerti mengapa sesuatu telah terjadi, namun lebih penting lagi, apa yang harus dilakukian agar hal itu tidak terjadi. Bukankah hal ini tidak berbeda dengan tujuan pengembangan ilmu pada kurun kita ini?
Mengaitkan gejala alam yang sukar diramalkan dengan kepribadian manusia yang juga sukar diramlakan merupakan suatu prestasi tersendiri. Mereka bisa mengerti mengapa dewa hujan tiba-tiba marah dan mencurahkan hujan dari langit sehingga hancurlah panenan. Oh, mungkin beliau sedang marah, sebab kita lupa memberinya sesajen. Atau, beliau sedang berkiprah, berperang melawan dewa angin yang berbuat serong dengan mengerti, mengapa mereka lalu bisa menerima, betapapun juga logika yang ada didalamnya. Dengan demikian nama-nama yang menggiurkan seperti Cora atau Debby lalu menghilangkan dari acara ramalan cuaca dan berganti dengan nama-nama pria yang tak cukup berharga untuk dikutip dalam buku yang ilmiah ini. Seperti nyanyian Ebit G. Ade, tidak lagi berpaling kepada bermacam-macam spekulasi namun bertanya langsung “pada angin, kepada awan dan rumput yang bergoyang”. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan bercocok tanam. Berkembanglah lalu pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error). Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari disamping “seni halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Peradaban mesir kuno pada kurang lebih 3000 tahun sebelum masehi telah mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan timbulnya gerhana. Demikian pula peradaban-peradaban lainnya seperti cina dan india terkenal dengan perkembangan seni terapan yang tinggi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada puncak kejayaan peradaban majapahit dan sriwijaya kapal-kapal mereka telah melayari berbagai samudra.
Seni terpakai ini hakikatnya; mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat deskriptif dan fenomenologis dan, kedua, ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menitik beratkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretis – atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak mengenai konsep seperti gravitasi dan kemagnetan bersifat teoritis.[14] Sifat terbatas dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum seperti teori gravitasi Newton dan teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan analisisnya bersifat praktis. Seni terapan tidak mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua gejala itu.
Disinilah kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam pengembangan ilmu mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat? Mengapa ada peradaban yang secara historis mempunyai tingkat teknologi yang tinggi namun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan? Jawab dari pertanyaan ini mungkin dapat dicari dari perkembangan pola selanjutnya dari pengetahuan yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuna-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradban lain pengembangannya bersifat kualitatif, artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoretis. Mungkin inilah sebabnya, mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu mengembangkan diri dibidang keilmuan, soalnya salah satu jembatan yang menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah pengembangan konsep teoretis yang bersifat mendasar yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembangan pengetahuan ilmia yang bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional umpamanya yang kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus kearah berkembangnya farmakologi sebab tidak terdapat usaha untuk lebih jauh mengajukan penjelasan teoretis yang asasi mengenai proses yang terjadi[15]. Dengan demikian maka pengetahuan yang satu terpisah dan pengetahuan yang lain tanpa diikat oleh suatu konsep yang mampu menjelaskan secara keseluruhan.
Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha menyembuhkan kanker dengan berbbagai macam ramuan dan campuran secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam pengobatn penyakit ini lewat pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama di bidang keilmuan biologi molekular. Ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban timur karena aspek kulturalnya yang tidak terlalu menganggap penting cara berpikir ilmiah. Bagi masyarakat Timur maka filsafat paling penting adalah berpikir etis yang menghasilkan kearian (wisdom).[16]
Dalam hal ini akal sehat tetap memiliki peranan penting. Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam  usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dngan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permulaan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai berikut:
1.      Karena landasannya berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan.
2.      Karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar, dan
3.      Karena kesimpulan yang ditariknyasering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.[17]
Berdasarkan akal sehat  amat masuk akal setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mulai sukar diterima oleh masyarakat sebab bertentangan dengan akal sehat, speerti penemuan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pemikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalaha penting sekali dalam sejarah berpikir manusia yang  menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatic yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin yang dogantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis. Jadi pada dasarnya rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif di sekitar objek pemikiran tertentu. Dalam menafsirkan suatu objek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori dan mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar sekali bagi kita untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas argumentasi yang bersifat koheren. Mungkin saja kita bias mengatakan bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berpikir yang paling meyakinlkan. Namun, hal ini pun tidak bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak terlepas dari unsure subjektif. Di samping itu rasionalisme dengan pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau dari alur-alur logikanya tetapi ternyata sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Aristoteles misalkan menyumpulkan bahwa wanita mempunyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan pria, padahal gerutu Bertrand Russell, buat orang seperti dia yang kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang hal itu. Jadi pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan memliki keterbatasan meskipun sudah melalui berbagai tahapan pemikiran.
Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh filsuf-filsuf Inggris maka berkembanglah cari berpikir yang menjauhi spekulasi teoritis dan metafisis. MetAfisika. Namun, cara berpikir ini pun tidak luput dari kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dalam suatu hubungan kausalistik? Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah umpamanya dapat disimpulkan bahwa “kambing kencing di IKIP Rawamnagun berkorelasi dengan bajirnya di kampus Universitas Jayabaya. Namun, apakah artinya semua ini? Penjelasan apakah yang bisa diajukan oleh data empiris yang ternyata secara induktif menunjukkan korelasi?[18]Jadi berpikir resional tetap penting meskipun di dalamnya terdapat kelemahan. Meskipun terkadang sulit untuk mencari korelasi atau hubungan satu pernytaan dnegan pernyataan yang lain untuk kemudian diambil sebuah kesimpulan.
Ilmu mencoba menfsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai ekjadian. Dalam upaya menemukan penjalasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan doro dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu sekadar pada kulit luarnya saja tanpa berani mengemukakan fostulat-fostulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai pada teori fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan yang tidak berbeda jaug dari akal sehat yang lebih maju. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Bertland Russell, yaitu :
1.      Pada satu pihak sebagai metafisika
2.      Sedangkan pihak yang lain sebagai akal sehat yang terdidik (edicated common sense). [19]
Bagaimana caranya agar kita dapat mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya? Berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoretis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antar abad IX dan XII Masehi. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hamper padam dengan jatuhnya Kekasisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan islam. Menurut H.G. Wells, jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, maka orang mulim adlah bapak angkatannya. Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang muslimah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya. Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli kimia yang memungkinkan pada mulainya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan obat ajaib untuk tetap awet muda dan rumus membuat emas dari logam biasa. Namun. Secara lambat laut berkembang menjadi paradigm ilmiah. Metode eksperimen ini diperkenalkan di dunia barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan kemudian dimantapkan sebagai paradigm ilmiah atas usaha Prancis Bacon (1561-1626). Sebagai penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Verulam maka Francis Bacon berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan untuk menarima metode eksperimen sebagai metode ilmiah. Singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyaraktkan oleh Francis Bacon. Dewasa ini memang terdapat kecenderungan untuk memperkecil sumbangan dunia Timur terhadap timbulnya Renaissance dalam peradaban Barat. Dalam buku The History of the World karangan Rene Sedillot umpamanya disebutkan bahwa warisan Islam terhadap perdaban manusia adalah pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yan ditanami padahal justru sebaliknya lewat terjemahan yang dilakukan pada peradaban islam antara abad IX dan XII itulah maka filsafat Yunani bisa dibaca manusia sekarang ini. Demikian juga pertanian di Spanyol umpamanya mendapatkan warisan peradaban Islam yang bermanfaat sampai hari ini yakni dalam bentuk system irigasi yang bersumber pada penghargaan bangsa Arab yang sangat tinggi terhadap air yang sangat langka di padang pasir. Kesalahan seperti ini, menurut ahli sejarah ilmu yang terkemuka George Sarton, sering disebabkan oleh sentiment nasionalisme dan prasangka yang dapat dilakukan siapa saja apakah mereka itu sarjana Muslim, Hindu, atau Barat.
Perkembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji bebagai penjelasan teoretis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian, maka dapat berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif. Perkembangan logika ilmiah yang merupakan pertemuan antara rasionalisme dan empirisme. Galileo (1564-1642) dan Newton (1642-1727) merupakan pionir yang mempergunakan gabungan berpikir deduktif dan induktif ini dalam penyelidikan ilmiah mereka. Penelitian Charles Darwin (1809-1882) yang membuahkan teori evolusinya juga mempergunakan metoede ilmiah. Deskripsi secara mendalam tentang metode ilmiah ditulis oleh Karl Pearson (1857-1936) dalam bukunya yang sekarang sudah menjadi klasik.[20]
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmian maka sejarah kemanusiaan menyaksikan oerkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Dirintis oleh Copernicus, Kepler Galileo dan Newton ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan seterusnya tinggal landas. Whitehead menyebutkan periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana penemuan ilmiahnya. Gejala ini sebenanrnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan kelebihan metode-metode berpikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya maka kita masih memperlukan berbagai pengetahuan lain untuk memnuhi kehidupan kita sebab bagaimanapun majunya ilmu secara hakiki dia dalah terbatas dan tidak lengkap. Ketika teleskop berakhir dan mikroskop memulai, bertanya Victor Hugo, manakah keduanya yang lebih mampu menyingkap panorama. Dengan demikian maka perjalanan pengetahuan terus berkembang, tetapi seiring perkembangan pengetahuan tersebut tetap di dalamnya terdapat kelemahan. Maka tugas dari kita akademi harus terus menggali pengetahuan.















BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan

Sejarah adalah peristiwa yang pernah terjadi dan digambarkan secara terperinci baik meliputi tempat maupun waktu. Sedangkan pengetahuan adalah sumber jawaban dari rasa ingin tahu manusia dalam kehidupan. Dalam jarum sejarah pengetahuan, kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batasan-batasannya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dengan yang lain.
Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.
Pengetahuan pada hakekatmya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai jenis pengetahuan lainya seperti seni dan agama.
B. Saran
            Pengetahuan dalam perjalanannya terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang mengikuti zaman yang terus berkembang pula. Maka dari itu kita harus senantiasa belajar agar tidak tertinggal dari pengetahuan yang terus berkembang tersebut. Belajar ilmu pengetahuan harus tekun dan terus menerus agar kita pun kian bertambah pengetahuannya.
            Dan kami menyadari tentu masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari segi penulisan serta penyajian dalam makalah ini. Oleh karena ini, kami mengharapkan masukan-masukan dari Dosen Pembimbing serta teman-teman guna kesempurnaan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, Muhammad. Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem Ilmu pengetahuan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.
Suhartono, Suparlan. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2009.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
_________________________. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.



















JARUM SEJARAH PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN
Makalah Ini Disusun Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Endang Koenmariati, M.Pd.
Dr. Fathiati Murtadho, M.Pd.
unj








Oleh:
Delia Paramitha
7316167149
Nur Adibatul Lutfiyyah
7316167153
Prisilya Agne Walangitan
7316167155


PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016



[2] Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-dasar Filsafat (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2009), H. 11.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 104.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm. 9.
[5] Prof.dr. sabarti akhadian dan winda. Filsafat ilmu lanjutan.. Prenada media group. Jakarta.2011.hlm.113
[6] Jujun S. Suryasumantri. Filsafat Ilmu. (Jakarta: Cv Mulyasari.). Hlm.102.
[7] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010). Hlm. 101.

[8] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Idayu,1978),hlm. 7-8.
[9] Carl G. Jung yang dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to the Philosopy of Education (New York:Harcourt, Brace & World,1967), hlm. 16.
[10] Rene Dubos, So Human an Animal ( New York: Charles Schirbner’s Sons, 1968), hlm. 119.
[11] Dikutip dalam Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of Nature in Arts ( New York: Dover, 1956), hlm. 7.
[12] W.Somersed Maugham, The Summing Up (New York: Mentor, 1957), hlm. 43.
[13] Isaak Asimov, The Intellegent Man’s Guide to the Physical Sciences (New York: Washington Square Press, 1969), HLM. 5.
[14] Br. Liek. Wilardjo sangat membantu penulis dalam mengidentifikasikan ciri-ciri seni  terapan.
[15] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010). Hlm. 101.
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid 107
[19] Ibid 107
[20] Ibid hal116

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...