Langsung ke konten utama

Sofyan (ANALISIS KONTRASTIF SISTEM MORFEMIS NOMINA BAHASA JAWA-INDONESIA)

ANALISIS KONTRASTIF SISTEM MORFEMIS NOMINA
BAHASA JAWA-INDONESIA
 Sofyan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Jln. Rawamangun Muka, Jakarta Timur


Abstract
The similarity between Javanese and Indonesian appears to both characteristics; these languages are agglutinative and there are many mono morpheme words. For that reason, we have to conduct a contrastive analysis. A contrastive analysis is really challenging and highly hesitancy. On the contrary, the most different thing in mono morpheme process is the grouping system of vocals which in Indonesian there is no such thing. Besides, there is a contrary in the process of increasing or decreaseng sounds.

Keywords: Indonesian, Javanese, contrastive analysis.
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, yang memiliki bahasa tersendiri yang lazim disebut bahasa daerah. Bagi bangsa Indonesia yang pernah belajar di sekolah, mereka belajar bahasa Indonesia dan mampu berbahasa Indonesia di samping berbahasa daerah. Dengan demikian, mereka yang berasal dari suku Sunda mampu berbahasa Sunda sekaligus juga mampu berbahasa Indonesia. Mereka yang berasal dari suku Jawa mampu berbahasa Jawa dan juga sekaligus mampu berbahasa Indonesia.
Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pemakai bahasa atau orang Indonesia dari suku bangsa tertentu menjadi seorang bilingualis atau memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih. Sehubungan dengan itu, di dalam menggunakan bahasa daerahnya sedikit banyak mereka terpengaruh oleh bahasa Indonesia, atau sebaliknya. Pengaruh itu, misalnya terjadi pada bidang struktur dan pelafalan.
Adanya kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang serumpun dengan bahasa Melayu (modal dasar bahasa Indonesia), yang sebagian besar penuturnya sebagai bilingualis--dalam pengertian—wajarlah kiranya apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam bahasa Jawa mempunyai kesamaan dengan unsur-unsur yang terdapat di dalam bahasa Indonesia, terutama mengenai kosakata, pelafalan, dan unsur gramatikalnya. Sebaliknya, wajar jika di dalam kedua bahasa tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan.
Kesamaan yang mencolok antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tampak pada sifatnya, yaitu sama-sama sebagai bahasa yang bersifat aglutinatif. Untuk membentuk kata kompleks, misalnya pitulungan bahasa Jawa (BJ) dengan cara meletakkan afiks pi-…-an pada kata tulung ‘tolong’. Begitu pula pada kata pertolongan bahasa Indonesia (BI) juga dengan cara meletakkan unsur per-…-an pada bentuk dasar tolong. Kesamaan yang lain tampak pada kenyataan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat kata-kata yang bersifat monomorfemis, seperti lunga, dolan, dan klambi, sedangkan pada bahasa Indonesia juga banyak kata monomorfemis, seperti pergi, main, dan baju. Di samping itu, di dalam bahasa Jawa juga terdapat kata-kata polimorfemis seperti lelunga, dolanan, dan keklamben, sedangkan di dalam bahasa Indonesia juga banyak terdapat kata-kata yang bersifat polimorfemis, seperti bepergian, bermain-main, dan berbaju, itulah beberapa kesamaan kedua bahasa itu.
Adapun perbedaan tampak, misalnya pada kategori nomina bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Jawa terdapat afiks pa-, pi-, pi-…-an, ka-…-an, sedangkan di dalam bahasa Indonesia dijumpai afiks pe-, ke-…-an, ter-, per-…-an. Upaya membandingkan atau mencari persamaan dan perbedaan unsur-unsur yang terdapat di dalam dua bahasa dikenal dengan istilah analisis kontrastif. Penelitian dengan teknik analisis kontrastif yang khusus membicarakan sistem nomina bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada. Akan tetapi, sudah ada beberapa hasil penelitian yang menggunakan teknis analisis kontrastif ini, misalnya yang berjudul Analisis Kontrastif Afiks –i Bahasa Indonesia dan Afiks –i Bahasa Jawa oleh Agus Sri Danardana (1985), Analisis Kontrastif Prefiks sa- Bahasa Jawa dengan se- Bahasa Indonesia oleh Mustofa (1988), dan Perbandingan Sistem Morfologi Verba Bahasa Jawa dengan Sistem Morfologi Bahasa Indonesia oleh Suwadji dkk. (1991).
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada kesempatan ini penulis ingin membicarakan masalah perbandingan sistem morfemis nomina antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sehubungan dengan itu, penelitian sederhana ini diberi judul “Analisis Kontrastif Sistem Morfemis Nomina Bahasa Jawa- Indonesia”. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan teori linguistik Nusantara.

B. Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka beberapa masalah yang timbul adalah sebagai berikut.
(1)   Bagaimana proses seperangkat morfem pembentuk nomina bahasa Jawa dan bahasa Indonesia;
(2)   Apakah aspek morfofonemik yang timbul sebagai akibat adanya nominalisasi dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia;
(3)   Aspek apa sajakah yang dimiliki oleh afiks nomina bahasa Jawa dan afiks nomina bahasa Indonesia.

C. Kerangka Teori
Analisis kontrastif sesuai dengan pandangan James (1980) adalah bukan hanya bersifat problematik, melainkan juga penuh dengan pertentangan. Analisis kontrastif bersifat sangat menantang dan mempunyai keraguan yang tinggi. Crystal (1980) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah analisis penelitian dua bahasa yang berkaitan dengan linguistik terapan, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Dalam analisis tersebut dibahas masalah perbedaan struktur kedua bahasa. Selanjutnya, unsur-unsur yang berbeda itu dipelajari kemungkinan sebagai penyebab suatu kesalahan berbahasa.
Kridalaksana (1984) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah metode sinkronis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasabahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan sebagai suatu aplikasi linguistic struktural pada pengajaran bahasa. Oleh karena itu, analisis kontrastif dapat dipakai untuk mengatasi kesukatan-kesukaran yang utama dalam belajar sehingga efek-efek interferensi dari bahasa pertama dapat dikurangi.
Analisis kontrastif yang hampir sama dikemukakan oleh Hartman dan Stork (1973) yang menyatakan bahwa analisis kontrastif itu adalah suatu penyelidikan yang bertujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara dua bahasa atau lebih atau dialek-dialek dengan tujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah yang praktis dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, dengan tekanan khusus pada pemindahan interferensi persamaannya.
Analisis kontrastif mencakupi aspek linguistik. Aspek linguistik berkaitan dengan pemerian struktur dan pemakaian bahasa dalam rangka membandingkan dua bahasa. Aspek linguistik itu analisisnya dapat meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikologi. Di samping struktur bahasa yang dibandingkan, analisis kontrastif dapat juga membandingkan aspek di luar struktur bahasa, misalnya unda-usuk ‘tingkat tutur’. Sebagai contoh, kata dhahar ‘makan’ dalam bahasa Jawa mempunyai tingkat tutur krama, sedangkan kata dhahar ‘makan’ dalam bahasa Sunda tingkat tutur ngoko ‘kasar’.
Ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian bahasa dengan analisis kontrastif. Pertama, prosedur kerja analisis kontrastif, yaitu membandingkan struktur atau sistem dari dua bahasa. Kedua, analisis kontrastif itu mempunyai tujuan, yaitu menunjukkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam kedua bahasa itu (yang difokuskan dalam hal perbedaannya). Ketiga, tinjauan penelitian itu dapat secara sinkronis atau diakronis. Keempat, manfaat analisis kontrastif terhadap kedua bahasa dalam rangka proses pengajaran bahasa dan penerjemahan.

D. Sumber Data
Sumber data pada penelitian sederhana ini dibagi menjadi dua, yakni sumber data substantif dan sumber data lokasional (Sudaryanto, 1990). Yang dimaksud dengan sumber data substantif adalah bongkahan data yang berupa tuturan yang dipilih karena dipandang mewakili. Adapun yang dimaksud dengan sumber data lokasional adalah sumber data yang merupakan asal-muasal data lingual yang biasa disebut dengan istilah narasumber. Bahasa yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa yang dipakai oleh penutur Jawa yang tinggal di Jakarta, sedangkan bahasa Indonesia yang diambil sebagai sampel adalah bahasa Indonesia ragam baku. Kedua bahasa itu biasa digunakan, baik secara lisan maupun tulis. Media komunikasi lisan, misalnya di radio dan televisi, sedangkan media komunikasi tulis adalah melalui media surat kabar, majalah, dan buku-buku bacaan.

E. Perbandingan Bentuk Berafiks Nomina Bahasa Jawa-Indonesia
Pembicaraan mengenai perbandingan bentuk berafiks nomina bahasa Jawa dan nomina bahasa Indonesia dalam tulisan ini dibatasi pada kategori nomina polimorfemik yang dibentuk melalui proses afiksasi. Hal itu dapat kita lihat pada paparan berikut ini.

1. Bentuk Nomina Berafiks pa(N)-
Berdasarkan bentuk dan maknanya, pembentuk nomina bahasa Jawa dengan afiks pa(N)- dapat diperbandingkan dengan pembentukan nomina bahasa Indonesia, seperti berikut.

Bahasa Jawa                                                  Bahasa Indonesia
(1)   pa(N)-                                                              pen(N)-
penemu                                                            pendapat
pamirsa                                                           pendengar
pangarep                                                         pemuka
penyukur                                                         pencukur
penguwasa                                                      penguasa

(2)   (sa)parangkul                                                  (se)palempar
(sa)pamandeg                                                             (se)pemandang
(sa)penginang                                                 (se)makan sirih

(3)   pa(N)-                                                             an-
Panantang                                                       tantangan
panggresah                                                     keluhan
pendakwa                                                        dakwaan
pamrih                                                             tujuan
pangrumrum                                                   rayuan

(4)   pa(N)-                                                              pe(N)-…-an
pangrungu                                                       pendengaran
pandeleng                                                        penglihatan
pametu                                                            penghasilan

(5)   pa(N)-                                                             per-…-an
panjaluk                                                          permintaan
panggawe                                                        perbuatan
petung                                                                         perhitungan
pemut                                                              peringatan

(6)   pa(N)-                                                              ke-…-an
pangungun                                                      kekecewaan
panguwasa                                                      kekuasaan
pakewuh                                                          kesulitan, bahaya
panjangka                                                       keinginan

Di dalam kenyataannya, terdapat bentuk nomina bahasa Jawa berafiks pa(N)- yang hanya dapat diterangkan dalam bahasa Jawa dalam bentuk frasa atau kata majemuk karena tidak mempunyai kesejajaran secara morfemis.
Contoh:
a.       pangendhang                                      ‘penabuh atau pemegang kendang’
pengegong                                           ‘penabuh atau pemegang gong’
b.      pangetan                                             ‘yang berada di sebelah timur’
pangalor                                              ‘yang berada di sebelah utara’
panengen                                             ‘golongan kanan’
pandawa                                              ‘bagian yang panjang’
c.      pambarep                                             ‘anak sulung’
panggulu                                             ‘anak kedua’
pandhada                                            ‘anak ketiga’
d.      panewu                                                ‘pejabat yang memimpin seribu kepala keluarga’
penegar                                                ‘pelatih kuda’
pakethik                                              ‘perawat kuda’

Contoh kata-kata 1—5 masih umum dipakai dalam percakapan seharihari, tetapi contoh b—d sudah jarang kita dengar dalam percakapan sehari-hari di dalam bahasa Jawa.

2. Afiks pa(N)- Bahasa Jawa dan Afiks ke-…-an Bahasa Indonesia
Afiks pan(N)- bahasa Jawa yang Sejajar dengan afiks ke-…-an bahasa Indonesia dapat bergabung dengan bentuk dasar yang verba, prakategorial, dan adverba, seperti tampak di dalam contoh berikut.

Nomina Bahasa                                 Jawa Bentuk Dasar
pengungun                                          ngungun (verba)
panjangka                                           jangka (praktegorial)
kewuh (ka—kewuh)                             hitung (verba)
panguwasan                                        kuwasa (adverba)

3. Bentuk Nomina Berafiks pi-
Nomina berafiks pi- mempunyai kesejajaran dengan bentuk nomina bahasa Indonesia, seperti yang berikut.

Nomina Bahasa                                 Nomina Bahasa
Jawa                                                   Indonesia
(1)   pi-                                                        pe
Pikukuh                                               pengokah
pituduh                                                petunjuk
pikuat                                                  penguat
pitutur                                                  petuah

(2)   pi-                                                        -an
pianggep                                             anggapan
piwulang                                             ajaran
piwales                                                balasan
pituku                                                  tebusan
pisegah                                                suguhan

(3)    pi-                                                       ke-…-an
piguna                                                 kegunaan
pituna                                                  kerugian
pituwas                                                kemanfaatan
pikuwat                                                kekuatan

(4)   pi-                                                        pe(N)-…-an
piduwung                                            penyesalan
piwadul                                               pengaduan
piwales                                                pembalasan
pirembug                                             pembicaraan

(5)   pi-                                                        per-…-an
pitakon                                                pertanyaan
pitulung                                               pertolongan
piwulang                                             pelajaran

Terdapat pula beberapa nomina bahasa Jawa berafiks pi- yang tidak memiliki kesejajaran secara morfemis di dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang sejenis itu umumnya berpadanan dengan kata tunggal, kata majemuk, atau dengan frasa.


Contoh:
Bahasa Jawa                                      Bahasa Indonesia
(6)    pisalin                                                 pemberian beberapa pakaian
pisambut                                              keluh kesah
pitobat                                                 tanda tobat
piutang                                                piutang

4. Bentuk Nomina Berafiks pi-…-an
Afiks pi-…-an dalam bahasa Jawa sejajaran dengan afiks tertentu di dalam bahasa Indonesia. Kesejajaran tersebut dapat berupa bentuk afiks dan kesejajaran makna afiks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari deretan kata di bawah ini.

Bahasa Jawa                                      Bahasa Indonesia
pirembugan                                         pembicaraan
pirampungan                                       penyelesaian
pitembungan                                       perkataan
pitakonan                                            pertanyaan
pitulungan                                           pertolongan
pilulusan                                              perizinan
pilampahan                                         kelakuan
pikajengan                                           keinginan
pilakon                                                kelakuan
pigajengan                                          tertawaan

Berdasarkan data di atas, afiks pi-…-an dalam bahasa Indonesia memiliki kesejajaran dengan pe(N)-…-an, per-…-an, ke-…-an, dan –an. Kesejajaran pi- …-an dengan afiks pe(N)-…-an bahasa Indonesia, yaitu adanya bentuk yang mirip dan maknanya sama, misalnya kata pirembungan dengan kata pembicaraan, kata pirampungan dengan kata penyelesaian. Kesejajaran pi-…-an dengan per- …-an merupakan kesejajaran dalam hal makna, maksudnya makna yang sama di antara kedua afiks tersebut. Misalnya, pirembungan dengan kata perkataan, sedangkan bentuknya berbeda. Bentuk yang berbeda adalah bentuk pi-…-an dengan afiks –an bahasa Indonesia. Misalnya, kata pilapuran dengan laporan dan pigujengan dengan tertawaan.
Selain adanya kesamaan itu, melekatnya afiks –an pada bentuk dasar bahasa Indonesia. Misalnya, arahan, sekolahan, dan bantahan. Begitu juga dengan bentuk yang ada di dalam bahasa Indonesia, misalnya arahan, sekolahan, dan bantahan, ternyata tampak adanya perbedaan pada afiks –an yang melekat pada bentuk dasar yang beawal vokal.
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat kita jumpai adanya kekontrasan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang berikut.
Pertama, tampak pada melekatnya afiks –an pada bentuk dasar bahasa Jawa yang berakhir vokal [o] akan berbentuk bunyi [nan], sedangkan melekatnya afiks –an pada bentuk dasar bahasa Indonesia yang berakhir vokal [o] akan berbentuk bunyi [wan]. Sebagai contoh, bentuk kata soto jika dilekati afiks –an muncul bunyi [?] sehingga bunyinya menjadi [bawa?an]. Contoh lain, tampak pada bentuk kata wadan ‘celaan’ dalam bahasa Jawa yang diucapkan [wadan] dan ‘celaan’ dalam bahasa Indonesia yang diucapkan [cela?an].
Kedua, tampak pada melekatnya afiks –an pada bentuk dasar yang berakhir bunyi [u]. Di dalam bahasa Jawa pertemuan bunyi akhir bentuk dasar [u] dengan bunyi [a] pada afiks –an akan terjadi peluluhan sehingga terbentuk bunyi [j], sedangkan pertemuan bunyi bentuk dasar [u] bahasa Indonesia dengan bunyi [a] pada afiks –an akan terjadi penambahan bunyi [w] sehingga terbentuk bunyi [wan] sebagai bentuk kata minggu, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa pertemuan bunyi [u] pada minggu dengan bunyi [j] pada minggon, sedangkan pertemuan bunyi [u] pada minggu dengan bunyi [a] pada –an akan terjadi penambahan bunyi [w] sehingga terbentuklah kata mingguan [mingguwan].
Contoh yang lain sebagai berikut

Bahasa Jawa                                      Bahasa Indonesia
suson [suson]                                       susuan [susuwan]
pangkon [pangkon]                             pangkuan [pangkuwan]
buron [buron]                                      buruan [buruwan]

Ketiga, tampak pada melekatnya afiks –an pada bentuk dasar yang berakhir bunyi [i]. Di dalam bahasa Jawa pertemuan bunyi terakhir bentuk dasar [j] dengan bunyi [a] pada afiks –an akan terjadi sehingga bunyinya menjadi [n]. Sebagai contoh bentuk kata graji dalam bahasa Jawa jika dilekati afiks –an akan terbentuk kata grajen [grajEn]. Contoh yang lain sebagai berikut.

-an + tali                talen [talEn]
-an + edhi              wedhen [wedhEn]
-an + pari               paren [parEn]
-an + kopi               kopen [kopEn]

F. Simpulan
Afiks bahasa Jawa mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan jika dibandingkan dengan afiks bahasa Indonesia. Selain itu, bentuk dasar yang dilekati oleh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang sama. Hal itu berarti, jika yang dilekati oleh afiks bahasa Jawa berupa kelas verba, dalam bahasa Indonesia pun kelas verba. Adapun bentuk dasar yang dapat dilekati oleh nomina itu adalah verba, nomina, adjektiva, adverbia, dan pokok kata (praktegorial). Hal yang sangat berbeda di dalam proses morfofonemik ialah adanya kekhasan sistem penggabungan bunyi vokal yang dalam bahasa Indonesia hal itu tidak akan terjadi secara morfemis. Selain itu, terjadi kekontrasan pula adanya proses penambahan bunyi, penghilangan bunyi. Misalnya, bahasa kebudayaan dan bahasa Indonesia kebudayaan, kapustakaan bahasa Jawa kepustakaan bahasa Indonesia.






Kepustakaan

Cristal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge: Cambridge University Press.
Ellis, R. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Hartman dan Stork.1973. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publisher. James, Carel. 1980. Constrastive Analysis. Essex: Longman.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...