ANALISIS
KONTRASTIF SISTEM MORFEMIS NOMINA
BAHASA
JAWA-INDONESIA
Sofyan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
Jln.
Rawamangun Muka, Jakarta Timur
Abstract
The
similarity between Javanese and Indonesian appears to both characteristics; these languages are agglutinative
and there are many mono morpheme words. For that reason, we have to conduct a contrastive
analysis. A contrastive analysis
is really challenging and highly hesitancy. On the contrary, the most different thing in mono morpheme
process is the grouping system of vocals which in Indonesian there is no such thing. Besides,
there is a contrary in the process
of increasing or decreaseng sounds.
Keywords:
Indonesian, Javanese, contrastive analysis.
A.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa,
yang memiliki bahasa
tersendiri yang lazim disebut bahasa daerah. Bagi bangsa Indonesia yang pernah belajar di sekolah, mereka
belajar bahasa Indonesia dan mampu berbahasa
Indonesia di samping berbahasa daerah. Dengan demikian, mereka yang berasal dari suku Sunda mampu
berbahasa Sunda sekaligus juga mampu berbahasa
Indonesia. Mereka yang berasal dari suku Jawa mampu berbahasa Jawa dan juga sekaligus mampu berbahasa
Indonesia.
Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pemakai bahasa
atau orang Indonesia dari
suku bangsa tertentu menjadi seorang bilingualis atau memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih. Sehubungan dengan
itu, di dalam menggunakan bahasa daerahnya
sedikit banyak mereka terpengaruh oleh bahasa
Indonesia, atau sebaliknya. Pengaruh itu, misalnya terjadi pada bidang struktur dan pelafalan.
Adanya kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Jawa
adalah bahasa yang serumpun
dengan bahasa Melayu (modal dasar bahasa Indonesia), yang sebagian besar penuturnya sebagai
bilingualis--dalam pengertian—wajarlah kiranya
apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam bahasa Jawa mempunyai kesamaan dengan unsur-unsur yang terdapat
di dalam bahasa Indonesia, terutama
mengenai kosakata, pelafalan, dan unsur gramatikalnya. Sebaliknya, wajar jika di dalam kedua bahasa
tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan.
Kesamaan yang mencolok antara bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia tampak pada
sifatnya, yaitu sama-sama sebagai bahasa yang bersifat aglutinatif. Untuk membentuk kata kompleks, misalnya pitulungan
bahasa Jawa (BJ) dengan cara
meletakkan afiks pi-…-an pada kata tulung ‘tolong’. Begitu pula
pada kata pertolongan
bahasa
Indonesia (BI) juga dengan cara meletakkan unsur per-…-an pada bentuk
dasar tolong. Kesamaan yang lain tampak pada kenyataan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat
kata-kata yang bersifat monomorfemis, seperti
lunga, dolan, dan klambi, sedangkan pada bahasa Indonesia juga
banyak kata monomorfemis, seperti pergi,
main, dan baju. Di samping itu, di dalam bahasa Jawa juga terdapat kata-kata
polimorfemis seperti lelunga, dolanan, dan
keklamben, sedangkan di dalam bahasa Indonesia juga banyak terdapat kata-kata yang bersifat polimorfemis,
seperti bepergian, bermain-main, dan berbaju,
itulah beberapa kesamaan kedua bahasa itu.
Adapun perbedaan tampak, misalnya pada kategori
nomina bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia. Di dalam bahasa Jawa terdapat afiks pa-, pi-, pi-…-an, ka-…-an,
sedangkan di dalam bahasa Indonesia dijumpai afiks pe-, ke-…-an, ter-,
per-…-an. Upaya membandingkan atau mencari persamaan dan perbedaan unsur-unsur yang terdapat
di dalam dua bahasa dikenal dengan istilah
analisis kontrastif. Penelitian dengan teknik analisis kontrastif yang khusus membicarakan sistem nomina bahasa
Jawa dengan bahasa Indonesia sepanjang
pengetahuan peneliti, belum ada. Akan tetapi, sudah ada beberapa hasil penelitian yang menggunakan teknis
analisis kontrastif ini, misalnya yang berjudul
Analisis Kontrastif Afiks –i Bahasa Indonesia dan Afiks –i Bahasa Jawa oleh Agus Sri Danardana (1985), Analisis
Kontrastif Prefiks sa- Bahasa Jawa dengan
se- Bahasa Indonesia oleh Mustofa (1988), dan Perbandingan
Sistem Morfologi
Verba Bahasa Jawa dengan Sistem Morfologi Bahasa Indonesia oleh Suwadji dkk. (1991).
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, pada
kesempatan ini penulis ingin membicarakan
masalah perbandingan sistem morfemis nomina antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sehubungan
dengan itu, penelitian sederhana ini
diberi judul “Analisis Kontrastif Sistem Morfemis Nomina Bahasa Jawa- Indonesia”. Tulisan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap perkembangan
teori linguistik Nusantara.
B.
Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka beberapa masalah
yang timbul adalah sebagai
berikut.
(1) Bagaimana
proses seperangkat morfem pembentuk nomina bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia;
(2) Apakah
aspek morfofonemik yang timbul sebagai akibat adanya nominalisasi dalam bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia;
(3) Aspek
apa sajakah yang dimiliki oleh afiks nomina bahasa Jawa dan afiks nomina bahasa Indonesia.
C.
Kerangka Teori
Analisis kontrastif sesuai dengan pandangan James
(1980) adalah bukan hanya
bersifat problematik, melainkan juga penuh dengan
pertentangan. Analisis
kontrastif bersifat sangat menantang dan mempunyai keraguan yang tinggi. Crystal (1980) menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah
analisis penelitian dua bahasa yang berkaitan dengan
linguistik terapan, seperti pengajaran
bahasa dan penerjemahan. Dalam analisis tersebut dibahas masalah perbedaan struktur kedua bahasa.
Selanjutnya, unsur-unsur yang berbeda itu dipelajari
kemungkinan sebagai penyebab suatu kesalahan berbahasa.
Kridalaksana (1984) menyatakan bahwa analisis
kontrastif adalah metode sinkronis
bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasabahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip
yang dapat diterapkan dalam masalah
yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan
sebagai suatu aplikasi linguistic struktural
pada pengajaran bahasa. Oleh karena itu, analisis kontrastif dapat dipakai untuk mengatasi kesukatan-kesukaran
yang utama dalam belajar sehingga
efek-efek interferensi dari bahasa pertama dapat dikurangi.
Analisis kontrastif yang hampir sama dikemukakan
oleh Hartman dan Stork
(1973) yang menyatakan bahwa analisis kontrastif itu adalah suatu penyelidikan yang bertujuan untuk menunjukkan
perbedaan dan persamaan antara
dua bahasa atau lebih atau dialek-dialek dengan tujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang dapat diaplikasikan pada masalah-masalah yang praktis dalam pengajaran bahasa, penerjemahan,
dengan tekanan khusus pada pemindahan
interferensi persamaannya.
Analisis kontrastif mencakupi aspek linguistik.
Aspek linguistik berkaitan dengan
pemerian struktur dan pemakaian bahasa dalam rangka membandingkan dua bahasa. Aspek linguistik itu
analisisnya dapat meliputi fonologi, morfologi, sintaksis,
dan leksikologi. Di
samping struktur bahasa yang dibandingkan, analisis
kontrastif dapat juga membandingkan aspek
di luar struktur bahasa, misalnya
unda-usuk ‘tingkat tutur’. Sebagai contoh, kata dhahar ‘makan’
dalam bahasa Jawa mempunyai tingkat tutur krama,
sedangkan kata dhahar ‘makan’ dalam
bahasa Sunda tingkat tutur ngoko ‘kasar’.
Ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam
penelitian bahasa dengan
analisis kontrastif. Pertama, prosedur kerja analisis kontrastif, yaitu membandingkan struktur atau sistem dari
dua bahasa. Kedua, analisis kontrastif itu
mempunyai tujuan, yaitu menunjukkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam kedua bahasa itu (yang
difokuskan dalam hal perbedaannya). Ketiga,
tinjauan penelitian itu dapat secara sinkronis atau
diakronis. Keempat, manfaat
analisis kontrastif terhadap kedua bahasa dalam rangka proses pengajaran bahasa dan penerjemahan.
D.
Sumber Data
Sumber data pada penelitian sederhana ini dibagi
menjadi dua, yakni sumber
data substantif dan sumber data lokasional (Sudaryanto, 1990). Yang dimaksud dengan sumber data substantif
adalah bongkahan data yang berupa tuturan
yang dipilih karena dipandang mewakili. Adapun yang dimaksud dengan sumber data lokasional adalah sumber
data yang merupakan asal-muasal data lingual
yang biasa disebut dengan istilah narasumber. Bahasa yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini
adalah bahasa Jawa yang dipakai oleh penutur
Jawa yang tinggal di Jakarta, sedangkan
bahasa Indonesia yang diambil sebagai
sampel adalah bahasa Indonesia ragam baku. Kedua bahasa itu biasa digunakan, baik secara lisan maupun
tulis. Media komunikasi lisan, misalnya di
radio dan televisi, sedangkan media komunikasi tulis adalah melalui media surat kabar, majalah, dan buku-buku
bacaan.
E.
Perbandingan Bentuk Berafiks Nomina Bahasa Jawa-Indonesia
Pembicaraan mengenai perbandingan bentuk berafiks
nomina bahasa Jawa dan nomina
bahasa Indonesia dalam tulisan ini dibatasi pada kategori nomina polimorfemik yang dibentuk
melalui proses afiksasi. Hal itu dapat kita lihat
pada paparan berikut ini.
1. Bentuk Nomina Berafiks pa(N)-
Berdasarkan bentuk dan maknanya, pembentuk nomina
bahasa Jawa dengan afiks pa(N)-
dapat diperbandingkan dengan pembentukan nomina bahasa Indonesia, seperti berikut.
Bahasa Jawa Bahasa
Indonesia
(1) pa(N)-
pen(N)-
penemu pendapat
pamirsa pendengar
pangarep pemuka
penyukur pencukur
penguwasa
penguasa
(2)
(sa)parangkul (se)palempar
(sa)pamandeg (se)pemandang
(sa)penginang (se)makan
sirih
(3)
pa(N)- an-
Panantang tantangan
panggresah keluhan
pendakwa dakwaan
pamrih tujuan
pangrumrum rayuan
(4) pa(N)-
pe(N)-…-an
pangrungu pendengaran
pandeleng penglihatan
pametu penghasilan
(5) pa(N)-
per-…-an
panjaluk permintaan
panggawe perbuatan
petung perhitungan
pemut peringatan
(6) pa(N)- ke-…-an
pangungun kekecewaan
panguwasa kekuasaan
pakewuh kesulitan,
bahaya
panjangka keinginan
Di dalam kenyataannya, terdapat bentuk nomina bahasa
Jawa berafiks pa(N)-
yang
hanya dapat diterangkan dalam bahasa Jawa dalam bentuk frasa atau kata majemuk karena tidak mempunyai
kesejajaran secara morfemis.
Contoh:
a. pangendhang ‘penabuh
atau pemegang kendang’
pengegong ‘penabuh
atau pemegang gong’
b.
pangetan ‘yang
berada di sebelah timur’
pangalor ‘yang
berada di sebelah utara’
panengen ‘golongan
kanan’
pandawa ‘bagian
yang panjang’
c. pambarep
‘anak
sulung’
panggulu ‘anak
kedua’
pandhada ‘anak
ketiga’
d. panewu
‘pejabat
yang memimpin seribu kepala keluarga’
penegar ‘pelatih
kuda’
pakethik ‘perawat
kuda’
Contoh kata-kata 1—5 masih umum dipakai dalam
percakapan seharihari, tetapi
contoh b—d sudah jarang kita dengar dalam percakapan sehari-hari di dalam bahasa Jawa.
2. Afiks pa(N)- Bahasa Jawa dan
Afiks ke-…-an Bahasa Indonesia
Afiks pan(N)- bahasa Jawa yang Sejajar dengan
afiks ke-…-an bahasa Indonesia
dapat bergabung dengan bentuk dasar yang verba, prakategorial, dan adverba, seperti tampak di dalam contoh berikut.
Nomina Bahasa Jawa
Bentuk Dasar
pengungun ←
ngungun (verba)
panjangka ←
jangka (praktegorial)
kewuh (ka—kewuh) ←
hitung (verba)
panguwasan ←
kuwasa (adverba)
3. Bentuk Nomina Berafiks pi-
Nomina berafiks pi- mempunyai kesejajaran
dengan bentuk nomina bahasa
Indonesia, seperti yang berikut.
Nomina Bahasa Nomina
Bahasa
Jawa Indonesia
(1)
pi- pe
Pikukuh pengokah
pituduh petunjuk
pikuat penguat
pitutur petuah
(2)
pi- -an
pianggep anggapan
piwulang ajaran
piwales balasan
pituku tebusan
pisegah suguhan
(3) pi- ke-…-an
piguna kegunaan
pituna kerugian
pituwas kemanfaatan
pikuwat kekuatan
(4) pi-
pe(N)-…-an
piduwung penyesalan
piwadul pengaduan
piwales pembalasan
pirembug pembicaraan
(5) pi-
per-…-an
pitakon pertanyaan
pitulung pertolongan
piwulang pelajaran
Terdapat pula beberapa nomina bahasa Jawa berafiks pi-
yang tidak memiliki
kesejajaran secara morfemis di dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang sejenis itu umumnya berpadanan dengan
kata tunggal, kata majemuk, atau
dengan frasa.
Contoh:
Bahasa Jawa Bahasa
Indonesia
(6) pisalin pemberian
beberapa pakaian
pisambut keluh
kesah
pitobat tanda
tobat
piutang piutang
4. Bentuk Nomina Berafiks pi-…-an
Afiks pi-…-an dalam bahasa Jawa sejajaran
dengan afiks tertentu di dalam bahasa
Indonesia. Kesejajaran
tersebut dapat berupa bentuk afiks dan kesejajaran makna afiks tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari deretan kata di bawah ini.
Bahasa Jawa Bahasa
Indonesia
pirembugan pembicaraan
pirampungan penyelesaian
pitembungan perkataan
pitakonan pertanyaan
pitulungan pertolongan
pilulusan perizinan
pilampahan kelakuan
pikajengan keinginan
pilakon kelakuan
pigajengan tertawaan
Berdasarkan data di atas, afiks pi-…-an dalam
bahasa Indonesia memiliki kesejajaran
dengan pe(N)-…-an, per-…-an, ke-…-an, dan –an. Kesejajaran
pi- …-an
dengan
afiks pe(N)-…-an bahasa Indonesia, yaitu adanya bentuk yang mirip dan maknanya sama, misalnya kata pirembungan
dengan kata pembicaraan, kata
pirampungan dengan kata penyelesaian. Kesejajaran pi-…-an dengan
per- …-an
merupakan
kesejajaran dalam hal makna, maksudnya makna yang sama di antara kedua afiks tersebut.
Misalnya, pirembungan dengan kata perkataan, sedangkan bentuknya berbeda. Bentuk yang
berbeda adalah bentuk pi-…-an dengan
afiks –an bahasa Indonesia. Misalnya, kata pilapuran dengan laporan dan pigujengan dengan tertawaan.
Selain adanya kesamaan itu, melekatnya afiks –an pada
bentuk dasar bahasa
Indonesia. Misalnya, arahan,
sekolahan, dan bantahan. Begitu juga dengan
bentuk yang ada di dalam bahasa Indonesia, misalnya arahan, sekolahan, dan bantahan, ternyata tampak
adanya perbedaan pada afiks –an yang melekat pada bentuk dasar yang beawal vokal.
Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat kita jumpai
adanya kekontrasan antara
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang berikut.
Pertama, tampak pada melekatnya afiks –an pada
bentuk dasar bahasa Jawa
yang berakhir vokal [o] akan berbentuk bunyi [nan], sedangkan melekatnya afiks –an pada bentuk dasar
bahasa Indonesia yang berakhir vokal [o] akan berbentuk
bunyi [wan]. Sebagai contoh, bentuk kata soto jika dilekati afiks –an muncul bunyi [?] sehingga bunyinya
menjadi [bawa?an]. Contoh lain, tampak pada
bentuk kata wadan ‘celaan’ dalam bahasa Jawa yang diucapkan [wadan] dan ‘celaan’ dalam bahasa Indonesia yang
diucapkan [cela?an].
Kedua, tampak pada melekatnya afiks –an pada
bentuk dasar yang berakhir
bunyi [u]. Di dalam bahasa Jawa pertemuan bunyi akhir bentuk dasar [u] dengan bunyi [a] pada afiks –an akan
terjadi peluluhan sehingga terbentuk bunyi
[j], sedangkan pertemuan bunyi bentuk dasar [u] bahasa Indonesia dengan bunyi [a] pada afiks –an akan
terjadi penambahan bunyi [w] sehingga terbentuk
bunyi [wan] sebagai bentuk kata minggu, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Jawa pertemuan bunyi [u] pada
minggu dengan bunyi [j] pada minggon, sedangkan pertemuan bunyi
[u] pada minggu dengan bunyi [a] pada
–an akan terjadi penambahan bunyi [w] sehingga
terbentuklah kata mingguan [mingguwan].
Contoh yang lain sebagai berikut
Bahasa Jawa Bahasa
Indonesia
suson [suson] susuan
[susuwan]
pangkon [pangkon]
pangkuan
[pangkuwan]
buron [buron] buruan
[buruwan]
Ketiga, tampak pada melekatnya afiks –an pada
bentuk dasar yang berakhir
bunyi [i]. Di dalam bahasa Jawa pertemuan bunyi terakhir bentuk dasar [j] dengan bunyi [a] pada afiks –an
akan terjadi sehingga bunyinya menjadi [n]. Sebagai contoh bentuk kata graji
dalam bahasa Jawa jika dilekati afiks –an akan terbentuk kata grajen [grajEn].
Contoh yang lain sebagai berikut.
-an + tali →
talen
[talEn]
-an + edhi →
wedhen
[wedhEn]
-an + pari →
paren
[parEn]
-an + kopi → kopen
[kopEn]
F.
Simpulan
Afiks bahasa Jawa mempunyai beberapa kesamaan dan
perbedaan jika dibandingkan dengan afiks bahasa Indonesia. Selain
itu, bentuk dasar yang dilekati
oleh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang sama. Hal itu berarti, jika yang dilekati oleh
afiks bahasa Jawa berupa kelas verba, dalam
bahasa Indonesia pun kelas verba. Adapun bentuk dasar yang dapat dilekati oleh nomina itu adalah verba,
nomina, adjektiva, adverbia, dan pokok kata
(praktegorial). Hal
yang sangat berbeda di dalam proses morfofonemik ialah adanya kekhasan sistem penggabungan bunyi vokal
yang dalam bahasa Indonesia hal itu tidak
akan terjadi secara morfemis. Selain itu, terjadi kekontrasan pula adanya proses penambahan bunyi, penghilangan
bunyi. Misalnya, bahasa kebudayaan dan
bahasa Indonesia kebudayaan, kapustakaan bahasa Jawa kepustakaan bahasa Indonesia.
Kepustakaan
Cristal,
David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge: Cambridge University Press.
Ellis,
R. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Hartman
dan Stork.1973. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publisher. James, Carel. 1980. Constrastive
Analysis. Essex: Longman.
Kridalaksana,
Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Sudaryanto.
1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press
Komentar
Posting Komentar