Langsung ke konten utama

Arista Mayang Sari (ANALISIS KONTRASTIF AFIKSASI PEMBENTUK VERBA TRANSITIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA)

ANALISIS KONTRASTIF AFIKSASI PEMBENTUK VERBA TRANSITIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA
Arista Mayang Sari
Pendidikan Bahasa, Pascasrjana UNJ
arista.mayangsari9@gmail.com
ABSTRACT

This study aims to see the contractiveness between the types of affixation of transitive verb formers in Indonesian and Javanese language. This research is a descriptive qualitative research done by contrasting the formation of affixation to form transitive verbs in Indonesian and Javanese language. Data is taken based on the language contained in everyday conversations. In this study found some similarities as well as differences in the affix of Indonesian and Javanese language. The prefix {di-} in Indonesian remains the same in the Javanese language, ie using ater-ater {di-}. The prefix {meng-}, the combination of affix {meng-kan} and {meng-i} in Javanese are not found affixes that form the same meaning. It's just that in Javanese there is a combination of {dipun-aken} for the variety of karma inggil language.

Keywords: contrastive analysis, affixation, transitive verbs.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kekontrastifan antara jenis afiksasi pembentuk verba transitif pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan dengan cara mengontraskan proses pembentukan afiksasi untuk membentuk verba transitif pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Data diambil berdasarkan bahasa yang terdapat dalam percakapan sehari-hari. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa persamaan sekaligus perbedaan pada afiks bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Prefiks {di-} dalam bahasa Indonesia ternyata tetap sama pada bahasa Jawa, yakni menggunakan ater-ater {di-}. Prefiks {meng-}, kombinasi afiks {meng-kan} dan {meng-i} dalam bahasa Jawa tidak ditemukan afiks yang membentuk makna yang sama. Hanya saja dalam bahasa Jawa terdapat kombinasi {dipun-aken} untuk ragam bahasa karma inggil.
Kata Kunci: analisis kontrastif, afiksasi, verba transitif.


PENDAHULUAN
Manusia memiliki sifat alamiah untuk bergaul dengan manusia lainnya, sehingga disebut sebagai makhluk sosial. Untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain, maka dibutuhkan alat untuk berkomunikasi. Bahasa memiliki fungsi fatis yang berguna bagi penuturnya untuk menjalin komunikasi serta hubungan dengan orang lain (Nur, 2011). Kartomiharjo dalam Nur mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara masyarakat pengguna bahasa dan bahasa itu sendiri. Masyarakat yang menggunakan bahasa baik secara sadar maupun tidak menggunakan bahasa yang hidup dan digunakan oleh masyarakat itu sendiri. Begitu juga sebaliknya, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat tertentu dapat mengikat masing-masing anggota untuk menjadi semakin kuat dan maju (Nur, 2011).
Seperti halnya keterkaitan yang sangat erat pada masyarakat dan bahasa, bahasa Indonesia juga terbentuk oleh masyarakat yang beraneka ragam. Baik masyarakat pribumi maupun masyarakat asing yang membawa berbagai pengaruh. Chaer mengatakan, dalam praseminar politik bahasa nasional pada tahun 1975 disebutkan adanya tiga buah bahasa di Indonesia. Ketiganya adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ketiganya mempunyai fungsi yang berbeda. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antarsuku bangsa; bahasa daerah berfungsi sebagai alat komunikasi intrasuku bangsa; dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris) berfungsi sebagai alat komunikasi antarbangsa (Chaer, 2010: 83).
Berdasarkan pernyataan tersebut sudah jelas bahwa seiring dengan kemajemukan bahasa yang ada di Indonesia, maka penuturnya pun setidaknya akan berperan sebagai dwibahasawan. Sebagian besar masyarakat Indonesia setidaknya memiliki dua bahasa yang dikuasainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Romaine dan Loveday yang dikutip oleh Tobing bahwa lebih dari setengah penduduk dunia adalah dwibahasawan (Tobing, 2012).

Keanekaragaman budaya dan manusia Indonesia, tentunya juga memengaruhi keanekaragaman bahasa yang ada di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu bahasa yang sampai saat ini masih digunakan oleh rakyat Indonesia sebagai bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Bahkan bahasa Indonesia yang resmi digunakan juga diambil dari bahasa daerah (bahasa Jawa). Misalnya kata /unduh/, /lara/, /sengit/, /eka/, /lintang/ dan lain sebagainya yang telah menjadi bahasa Indonesia secara baku (kata serapan dari bahasa daerah).
Melihat kata-kata yang telah banyak digunakan dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan inilah, ada keterikatan tersendiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri atas unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu kesatuan (Chaer, 2007: 34). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat kekontrastifan kedua struktur bahasa ini, terutama dalam hal morfologi atau pembentukan katanya.
Salah satu kajian dalam bidang morfologi adalah pembentukan pada kelas kata verba. Verba merupakan salah satu kelas kata yang berperan penting kedudukannya pada sebuah kalimat. Selain itu, pengaruh verba sangat besar karena memengaruhi ada atau tidaknya unsur-unsur lain yang seharusnya ada atau tidak mengiringi verba. Hal itu membuat verba memiliki sifat sintaksisnya sebagai verba transitif atau verba intransitif. Dalam bahasa Indonesia, mengenal dua istilah verba yakni verba transitif dan verba intransitif. Verba transitif adalah verba yang memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (Alwi, et. al. 2003: 91),  Misalnya: “Ibu sedang membersihkan kamar itu.” à verba “membersihkan” diiringi nomina atau frasa nomina. 
Verba transitif terbagi menjadi tiga jenis yakni verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba semitransitif. Verba ekatransitif adalah verba yang diikuti oleh satu nomina. Misalnya: “Saya sedang mencari pekerjaan.” à verba “mencari” hanya membutuhkan sebuah objek, yakni pekerjaan. Verba dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti oleh dua nomina, satu sebagai objek dan satu lagi sebagai pelengkap. Misalnya “Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.” à pada contoh tersebut verba “mencarikan” memiliki dua nomina. Nomina pertama adalah “adik saya” sebagai objek, dan nomina “pekerjaan” sebagai pelengkap. Verba semitransitif adalah verba yang objeknta boleh ada dan boleh juga tidak ada. Misalnya “Ayah sedang membaca koran.” à pada contoh tersebut, verba “membaca” boleh mencantumkan objek “koran” boleh juga tidak.
Berdasarkan contoh-contoh verba seperti mencari, mencarikan, dan membaca, ketiganya adalah kata yang berafiks. Oleh karena itu dalam penurunnya verba transitif memiliki tiga cara yakni melalui transposisi, afiksasi, dan reduplikasi (Alwi, et. al., 2003: 117). Hanya saja yang menjadi batasan masalah adalah pada pembentukan afiks nya saja.
AFIKSASI BAHASA INDONESIA
Kridalaksana mendefinisikan afiks sebagai proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks (Kridalaksana, 2010: 28). Afiks adalah bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata (Alwi et al., 2003: 31) Dalam proses ini leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstastus kata berganti kategori), dan (3) sedikit banyak berubah maknanya. Kridalaksana membagi afiksasi menjadi tujuh kategori yakni prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, konfiks, superfiks, dan kombinasi afiks.
Ketujuh klasifikasi tersebut, diklasifikasikan kembali oleh  Alwi et.al. (Alwi et. al., 2003: 31-32) membagi afiksasi hanya menjadi empat jenis, yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks. Afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar disebut prefiks. Prefiks dalam bahasa Indonesia antara lain ber-, di-, ke-, meng-, per-, se-, dan ter-. Afiks yang digunakan di bagian belakang kata disebut sufiks. Sufiks dalam bahasa Indonesia antara lain -an, -i, dan -kan. Afiks yang diselipkan di tengah kata dasar disebut infiks. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dinamakan konfiks. Chaer mengungkapkan bahwa yang membentuk verba di antaranya adalah ber-, ber-an, ber-kan, -kan, -i, per-, per-kan, per-i, me-, di-, ter, ke-, dan ke-an (Chaer, 2008: 106-142).

AFIKSASI BAHASA JAWA
Seperti halnya bahas Indonesia, salah satu proses morfologis yang ada pada bahasa Jawa ialah proses afiksasi. Riris Tiani (2015) membagi afiksasi bahasa Indonesia menjadi lima jenis, di antaranya adalah dengan prroses pengimbuhan atau wuwuhan di depan yang disebut ater-ater, di tengah (seselan), di akhir (panambang), dan konfiks. Wuwuhan adalah proses pengimbuhan pada satuan bentuk tunggal atau bentuk kompleks untuk membentuk morfem baru atau satuan yang lebih luas.
a.       Pengimbuhan di depan atau ater-ater.
Pengimbuhan ater-ater adalah proses pengimbuhan morfem tunggal atau kompleks dengan morfem ikat yang disebut ater-ater yang di letakkan di depan morfem tersebut.  Imbuhan tersebut antara lain: N- (n-, ny-, m-. ng-), dak-/ tak-, kok-/ tok-, di-, ka-, ke-, a-, aN-, paN-, ma-, me-, sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kami-, kapi-.
b.      Pengimbuhan di tengah atau seselan.
Dalam bahasa Jawa pengimbuhan tersebut adalah seselan, atau sisipan dalam bahasa Indonesia, yakni -in-, -um-, -er-, dan –el-.
c.       Pengimbuhan di belakang atau penambang.
Imbuhan di belakang atau akhiran dalam bahasa Jawa di sebut panambang. Akhiran dalam bahasa Jawa antara lain: -i, -ake, -a, -en, -na, -ana, -an, dan –e.
d.      Pengimbuhan bersama/ bergantian atau konfliks/ simulfiks.
Imbuhan yang melekatnya dengan morfem lain bersamaan atau bergantian dengan imbuhan lain biasa di sebut sebagai morfem konflik atau simulfiks. Imbuhan-imbuhan tersebut adalah: ka- / -an, ke-/ -an, ke-/ -en, N-/ -I, N-/ -ake, N-/ -na, paN-/ -an,paN-/ -e, pa-/ -an, pi-/ -an, pra-/ -an, tak-/ -ane, tak-/ -e, tak-/ -I, tak-/ -na, tak-/ -ana, tak-/ -a, kok-/ -i, kok-/ -ake/ -ke, kok-/ -a, kok-/ -na, kok-/ -ana, di-/ -i, di-/ -ake, kami-/ -en, kami-/ -an, sa-/ -e, -in-/ -an.

Dari sekian banyak afiksasi yang terdapat dalam bahasa Jawa tersebut, terdapat beberapa afiks pembentuk verba turunan. Afiks tersebut di antaranya adalah Prefiks pembentuk verba terdiri atas N-, maN-, ka-, ke-, di-/ dipun, dan bawa ha. Infiks pembentuk verba turunan terdiri atas; -um-, dan –in-. Sufiks pembentuk verba turunan berupa -i, - a, -en, -an, -ana, -ake/ake. Konfiks pembentuk verba terdiri atas ka-/ -an, sementara afiks gabung pembentuk verba turunan berupa N digabung dengan –i atau –ake, -a, -na, - ana, atau di- digabung dengan –a, -na, in, atau dapat juga gabungan afiks –in-/ -ake, -in-/ -ana, -um/ i (Mulyani, 2011).

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian tentang analisis kontrastif morfologi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ini menggunakan penelitian kualitatif. Metodologi yang digunakan adalah dengan metode deskriptif, dalam arti memberikan gejala-gejala lingual secara rinci dan teliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengontraskan struktur yang membentuk derivasi dan infleksi dari dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Afiksasi pembentuk verba yang ada pada bahasa Indonesia dikontraskan dengan afiksasi pembentuk verba pada bahasa Jawa. Cara mengontraskannya adalah dengan metode terjemahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Penurunan Verba Transitif dengan Prefiks Meng-
Penurunan verba bahasa Indonesia prefiks meng- dapat terjadi apabila hanya memiliki dasar kata berkelas kata verba juga. Misalnya pada contoh berikut
Bahasa Indonesia
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pakai
D + {me-}= (Memakai)
Adik memakai seragam baru
Jahit
D + {me-(N)} = (Menjahit)
Bu Fatma menjahit kemeja
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Jika tidak ada objek maka kalimat tersebut tidak bermakna atau belum lengkap. Makna yang dimaksud pada prefiks me- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar’.
Contoh tersebut memiliki kata dasar verba yang diturunkan dari prefiks me- dengan alomorfnya. Dalam bahasa Indonesia verba turunan pembentuk verba transitif hanya berupa kata dasar verba. Misalnya kata dasar diubah menjadi nomina seperti pada kata buku, kelas, baju maka jika diberikan prefiks meng- tidak akan berterima *membuku,  *mengelas, *membaju. Kalaupun kata-kata tersebut digunakan, maka maknanya pun akan sangat jauh berbeda.
Apabila sebagian kata yang mendapat prefiks me- berterima, maka statusnya bukan lagi menjadi verba transitif, melainkan menjadi verba intransitif. Misalnya kata sifat baik +me- akan menjadi /membaik/, dimasukkan dalam kalimat “kondisinya saat ini mulai membaik” maka status verba tersebut tidak membutuhkan nomina lagi sebagai objeknya (verba intransitif).
Bahasa Jawa
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Anggo
D + {ng-} = (Nganggo)
Adik nganggo seragam anyar
Jahit
D +{N-} = (Njahit)
Bu Fatma njahit kemeja
Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa pengontrasan yang terjadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa adalah morfem meng- pada bahasa Indonesia menjadi ater-ater anuswara n- dan m- pada bahasa Jawa. Secara makna sama, hanya saja morfem yang menurunkan verba transitif berbeda.
a.    Penurunan Verba Transitif dengan Kombinasi Meng-kan
Bahasa Indonesia
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pakai
D + {me-kan}= (Memakaikan)
Ibu memakaikan seragam baru adik
Jahit
D + {me-kan} = (Menjahitkan)
Bu Fatma menjahitkan kemeja Pak Joko   
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Ada yang bersifat benefaktif atau melakukan sesuatu untuk orang lain karena memiliki dua makna (dwitransitif), misalnya pada kalimat ‘Bu Fatma menjahitkan kemeja Pak Joko. Namun, ada juga yang tetap memiliki satu nomina yang menduduki objek. Makna yang dimaksud pada kombinasi meng-kan berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar untuk orang lain’.

Bahasa Jawa
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Anggo
D + {ng-… -ke/ -ne/ -ake/ -aken
(Nganggoke),(Nganggokne), (Nganggoake), (Nganggoaken)
Ibu nganggoake adik seragam anyar  
Jahit
D + {n-… -ke/ -ne/ -ake}
Njahitke/ Njahitne
Njahitake/Njahitaken 
Bu Fatma njahitake klambine Pak Joko
Seperti halnya pada contoh dalam bahasa Indonesia, kelima kalimat pada contoh tersebut pada setiap verba nya ada yang memiliki dua nomina yang berfungsi sebagai objek dan pelengkap, atau yang biasa disebut sebagai verba benefaktif (melakukan sesuatu untuk orang lain). Penggunaan panambang –ne, -ke-, -ake, dan –aken hanya pada daerah jawa yang berbeda-beda, dan juga kepada lawan bicaranya. Panambang –aken hanya digunakan untuk ragam bahasa “kromo inggil” kepada orang yang lebih tua atau pun kepada orang yang dihormati. Penambang yang lain hanya dibedakan berdasarkan daerah jawa nya saja. Adapun makna berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar untuk orang lain’.
b.   Penurunan Verba Transitif dengan Kombinasi Meng-i
Bahasa Indonesia
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Jahit
D+{me-… -i} = (Menjahiti)
Bu Fatma menjahiti baju yang sobek. 
Tanam
D+{me-…-i} = (Menanami)
Pak Rudi mulai menanami sayur.
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada kombinasi afiks me-i adalah  berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar secara berulang-ulang’. Berdasarkan contoh tersebut, ternyata tidak semua verba berterima jika bersufiks –i, misalnya pada kata /beli/ tidak dapat berterima jika menjadi /membelii/. 

Bahasa Jawa
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Tandur
D + {n-… -i} = (Nanduri)
Pak Rudi nanduri empon-empon.
Tuku
D + {n-… -i} = (Nukani)
Dinda nukoni klambi anyar.
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada kombinasi afiks meng-i dalam bahasa Indonesia berubah menjadi kombinasi ater-ater n- atau m- dan panambang –i adalah. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar secara berulang-ulang’. Berdasarkan contoh-contoh tersebut juga ditemukan ada satu kata yang berubah pengucapan, dari /u/ menjadi /o/ yakni pada kata dasar /tuku/ menjadi /nukòni/.
2.      Penurunan Verba Transitif dengan sufiks –kan
Bahasa Indonesia
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pakai
D + {-kan} =Pakaikan
Pakaikan adikmu baju yang sesuai!
Jahit
D + {-kan} = (Jahitkan)
Tolong jahitkan kemeja ayahmu ini!
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Ada yang hanya memiliki objek satu (intransitif), namun ada pula yang memiliki dua nimina). Makna yang dimaksud pada kombinasi sufiks –kan berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘berupa kalimat perintah untuk melakukan sesuatu’. Jika pada penjelasan sebelumnya kombinasi me-kan menjadi sebuah kalimat berita, maka jika hanya menggunakan sufiks –kan maka akan berubah menjadi kalimat perintah.
Bahasa Jawa
Kata Dasar
Verba Turunan
Kalimat
Jahit
D + {-na} = (Jahitna)
Tolong jahitna kemeja bapakmu iki!
Tuku
D + {-kan} = (Tukakna)
Tukakna kancamu iki cemilan gurih!
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada sufiks –kan dalam bahasa Indonesia berubah menjadi panambang –na pada bahasa Jawa. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘memerintahkan orang lain untuk melakukan kata dasar’. Berdasarkan contoh-contoh tersebut juga ditemukan ada satu kata yang berubah pengucapan, dari /u/ menjadi /o/ yakni pada kata dasar /tuku/ menjadi /tukòkna/.
3.      Penurunan Verba Transitif dengan Kombinasi Afiks Per-kan dan Per-i.
Bahasa Indonesia
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Banyak
D+{memper-..-kan}
(Memperbanyak)
Dengan memperbanyak kalimat persuasif, sebuah iklan akan menjadi lebih menarik.
Luas
D+{memper-..-kan}
(Memperluas)
Memperluas pergaulan akan membuat remaja lebih percaya diri.
Ketiga kata pada kalimat tersebut, sama-sama memerlukan nomina yang berfungsi sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut tidak berasal dari kata dasar verba, melainkan nomina. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah melakukan pekerjaan kata dasar. Selain contoh-contoh tersebut, ada beberapa kata yang memerlukan konfiks memper- dengan sufiks –kan atau -i. Misalnya pada kata-kata berikut ini.
Kata Dasar
Verba Turunan
Kalimat
Taruh
D+{memper-..-kan}
(Mempertaruhkan)
Ibu pasti mampu mempertaruhkan jiwa raga demi anak-anaknya.
Main
D+{memper-..-kan}
(Mempermainkan)
Jika kau hanya mempermainkan seseorang, tunggu saja kehancuranmu.
Contoh tersebut semuanya memiliki nomina yang menduduki fungsi subjek. Kata dasar yang digunakan pun bukan verba, melainkan nomina. Makna dari ketiga kata pada kalimat tersebut adalah ‘menjadikan kata dasar’. Misalnya mempermainkan bermakna ‘menjadikan mainan’. Selain konfiks memper-kan, terdapat pula konfiks memper-i yang dijadikan sebagai turunan yang membentuk verba transitif. Misalnya pada contoh berikut ini.
Kata Dasar
Verba Turunan
Kalimat
Baik
D + {memper-..-i}
(Memperbaiki)
Sebaik-baik manusia adalah yang selalu dapat memperbaiki kesalahannya.
Baru
D + {memper-..-i}
(Memperbarui)
Semua dilakukannya untuk terus memperbarui keterampilannya di bidang pendidikan. 
Pada kedua contoh di atas, semuanya memiliki nomina yang menduduki fungsi objek. Kata dasar sebelum verba turunan juga bukan sebuah verba, melainkan ajektiva (verba ajektival). Makna dari kata tersebut adalah ‘melakukan sebuah proses menuju kata dasar’. Morfologi kombinasi afiks pada bahasa Indonesia tersebut, tidak ada dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa hanya mengenal konfiks (ater-ater + panambang) hanya satu morfem di depan dan satu morfem di belakang, misalnya N+jahit+ke/ ake seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
4.      Penurunan Verba Transitif dengan prefiks di- atau ter- (kalimat pasif)
Prefiks di- (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pakai
D+ {di-} = (Dipakai)
Buku bahasa Indonesia itu dipakai oleh Sinta
Jahit
D+ {di-} = (Dijahit) 
Kebaya itu dijahit oleh temanku sendiri
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada afiks di- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘kalimat yang subjeknya dikenai pekerjaan dasar’. Jika pada penjelasan sebelumnya kombinasi meng- menjadi sebuah kalimat aktif, maka pada prefiks di- ini menjadi kalimat pasif.
Prefiks di- (Bahasa Jawa)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Anggo
D+ {di-}= (Dianggo)
Buku tulis sing ana ing meja dianggo Sinta
Jahit
D+ {di-} = (Dijahit)
Kebaya iku dijahit kancaku dhewe
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada prefiks di- dalam bahasa Indonesia, ternyata sama pada bahasa Jawa. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘kalimat yang subjeknya dikenai pekerjaan dasar’. Jika pada penjelasan sebelumnya kombinasi meng- menjadi sebuah kalimat aktif, maka pada prefiks di- ini menjadi kalimat pasif.
Prefiks ter- (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pakai
D+ {ter-} = (Terpakai)
Buku tulis itu sudah terpakai oleh Sinta
Jahit
D+ {ter-}= (Terjahit)
Kebaya itu terjahit oleh temanku sendiri
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada afiks ter- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan hal secara tidak sengaja’.
Prefiks ter- (Bahasa Jawa)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Anggo
D+{ka-/ke}=Kanggo/Kanggé)
Buku kanggo  Sinta
Jahit
D+ {ka-/ ke-} =(Kajahit/ Kejahit)
Kebaya iku kajahit kancaku
Kalimat pada contoh tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud pada prefiks ter- dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia menjadi ater-ater ke- atau ka-. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘pekerjaan yang sudah dilakukan’.
a.      Penurunan Verba Transitif dengan prefiks di-kan atau ter-kan Kombinasi Afiks di-kan (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Cari
D+{di-..-kan}=(Dicarikan)
Ia dicarikan buku oleh pamannya 

Verba turunan yang bersifat transitif juga terdapat pada kombinasi afiks di-kan. Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai pelengkap dan objeknya. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal dari kata dasar verba. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar dengan sengaja’. Jika dalam bahasa Jawa bentuk pasif dari di- adalah sebagai berikut.
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Oléh
(artinya: dapat)
D+ {di-.. –ne/ -ke/ -ake/ -aken}
(Digolekne), (Digolekke)
(Digolekake), (Digoleaken)
Dinda digoleake rewang karo Paklik
Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai pelengkap dan objeknya. Dalam bahasa Indonesia, kombinasi afiks di-..-kan menjadi kombinasi ater-ater di-..-ke/-ne/-ake/ dan –aken. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar dengan sengaja’. Selain itu, apabila kata /oléh/ tersebut dijadikan karma inggil, maka akan timbul kombinasi afiks baru seperti contoh berikut ini.
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Pados
(artinya: cari)
D+ {dipun-.. -aken}
(Dipunpadosaken)
Dinda dipunpadosaken rencang saking Solo .

Kombinasi Afiks ter-kan (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Abai
D+ {ter-.. -kan}
(Terabaikan)
Pergaulan remaja mulai terabaikan oleh lingkungan sekitarnya.  
Verba turunan yang bersifat transitif juga terdapat pada kombinasi afiks ter-kan. Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal dari kata dasar verba. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar secara tidak sengaja’. Bentuk afiks dengan makna yang sama dalam bahasa Jawa tidak ada
b.      Penurunan Verba Transitif dengan prefiks di-i atau ter-i (kalimat pasif)
Kombinasi Afiks di-i (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Teman
D+ {di-.. -i} =(Ditemani)
Kanya selalu ditemani adiknya. 
Verba turunan yang bersifat transitif juga terdapat pada kombinasi afiks di i. Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal dari kata dasar nomina. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar dengan sengaja’. Jika dalam bahasa Jawa bentuk pasif dari di- adalah sebagai berikut.
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Kanca
D+{di-..–i}= (Dikancani)
Kanya mesti dikancani adike.
Verba turunan yang bersifat transitif yang terdapat pada kombinasi afiks di-i dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Jawa pun sama yakni ater-ater di- dan panambang -i. Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai objeknya. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal dari kata dasar nomina.
Kombinasi Afiks ter-kan (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
Proses Afiksasi
Kalimat
Obat
D+ {ter-.. -i}=(Terobati)
Rindunya telah terobati olehnya.  
Verba turunan yang bersifat transitif juga terdapat pada kombinasi afiks ter-i. Pada contoh tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal dari kata dasar nomina. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar secara tidak sengaja’. Bentuk afiks dengan makna yang sama dalam bahasa Jawa tidak ada. Secara ringkas kekontrastifan antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa adalah.
Bahasa Indonesia
Bahasa Jawa
Prefiks {meng-}
Kombinasi {meng-i}
Kombinasi {meng-ka}
Ater-ater {n- atau m-}
Ater-ater {n- atau m-}+panambang {-i}
Ater-ater {n-}+ panambang{-ne/ -ke/ -ake/ -aken}
Sufiks {-kan}
Panambang {-na}
(Juga terdapat perubahan fonem dari u menjadi ò)
Kombinasi {memper-}
Kombinasi {memper-kan}
Kombinasi {memper-i}
Ø
Ø
Ø
Prefiks {di-}
Prefiks {ter-}

Kombinasi {di-kan}


Kombinasi {ter-kan}
Kombinasi {di-i}
Kombinasi {ter-i}
Ater-ater {di-}
Ater-ater {ke-} atau {ka-}

Ater-ater {di-} + panambang {-ke}{-ne}{-ake}{-aken}
Bahasa krama inggil menjadi prefiks{dipun-} + panambang {-aken}
Ø
Ø
Ø

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, pembentukan verba transitif dengan proses afiksasi dapat disimpulkan bahwa di antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa memiliki perbedaan dan persamaannya. Bahasa Indonesia memiliki empat klasifikasi afiks. keempat afiks tersebut adalah (1) prefiks meng-; kombinasi meng-kan, dan meng-i; (2) sufiks –kan; (3) kombinasi afiks memper-, memper-kan, dan memper-i; (4) sufiks di- dan ter-; kombinasi afiks di-kan dan ter-kan, kombinasi afiks di-i dan ter-i. Prefiks {di-} dalam bahasa Indonesia ternyata tetap sama pada bahasa Jawa, yakni menggunakan ater-ater {di-}. Prefiks {meng-}, kombinasi afiks {meng-kan} dan {meng-i} dalam bahasa Jawa tidak ditemukan afiks yang membentuk makna yang sama. Hanya saja dalam bahasa Jawa terdapat kombinasi {dipun-aken} untuk ragam bahasa karma inggil.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. et.al. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Persero.
Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2010) Telaah Bibliografi kebahasaan Bahasa Indonesia/ Melayu. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. (2010). Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Nur, Tajudin. (2011). Analisis Kontrastif Perspektif Bahasa dan Budaya terhadap Distingsi Gender Maskulin Versus Feminin dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Humaniora, vol. 23 (3), hlmn. 269-279. 
Tarigan, Henry Guntur (1989). Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Jakarta: P2LPTK.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. (2011). Pengajaran Analisis Kontrastif Berbahasa
Tiani, Riris. (2015). Analisis Kontrastif Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia. Humaniora, vo. 21 (1), hlmn. 1-6.  

Tobing, Roswita Lumban. (2012). Konstruksi Determinan dalam Frasa Nomina Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia. Humaniora, vol. 24 (2), hlmn. 221-230. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...