Arista Mayang Sari (ANALISIS KONTRASTIF AFIKSASI PEMBENTUK VERBA TRANSITIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA)
ANALISIS KONTRASTIF AFIKSASI
PEMBENTUK VERBA TRANSITIF DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JAWA
ABSTRACT
This study aims to see the contractiveness between the types
of affixation of transitive verb formers in Indonesian and Javanese language.
This research is a descriptive qualitative research done by contrasting the
formation of affixation to form transitive verbs in Indonesian and Javanese
language. Data is taken based on the language contained in everyday
conversations. In this study found some similarities as well as differences in
the affix of Indonesian and Javanese language. The prefix {di-} in Indonesian
remains the same in the Javanese language, ie using ater-ater {di-}. The prefix
{meng-}, the combination of affix {meng-kan} and {meng-i} in Javanese are not
found affixes that form the same meaning. It's just that in Javanese there is a
combination of {dipun-aken} for the variety of karma inggil language.
Keywords: contrastive analysis, affixation, transitive verbs.
ABSTRAK
Penelitian ini
bertujuan untuk melihat kekontrastifan antara jenis afiksasi pembentuk verba
transitif pada bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan dengan cara mengontraskan
proses pembentukan afiksasi untuk membentuk verba transitif pada bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa. Data diambil berdasarkan bahasa yang terdapat dalam
percakapan sehari-hari. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa persamaan
sekaligus perbedaan pada afiks bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Prefiks {di-}
dalam bahasa Indonesia ternyata tetap sama pada bahasa Jawa, yakni menggunakan
ater-ater {di-}. Prefiks {meng-}, kombinasi afiks {meng-kan} dan {meng-i} dalam
bahasa Jawa tidak ditemukan afiks yang membentuk makna yang sama. Hanya saja
dalam bahasa Jawa terdapat kombinasi {dipun-aken} untuk ragam bahasa karma
inggil.
Kata Kunci:
analisis kontrastif, afiksasi, verba transitif.
PENDAHULUAN
Manusia
memiliki sifat alamiah untuk bergaul dengan manusia lainnya, sehingga disebut
sebagai makhluk sosial. Untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain, maka
dibutuhkan alat untuk berkomunikasi. Bahasa memiliki fungsi fatis yang berguna
bagi penuturnya untuk menjalin komunikasi serta hubungan dengan orang lain (Nur,
2011). Kartomiharjo dalam Nur mengatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara masyarakat pengguna bahasa dan bahasa itu sendiri. Masyarakat yang
menggunakan bahasa baik secara sadar maupun tidak menggunakan bahasa yang hidup
dan digunakan oleh masyarakat itu sendiri. Begitu juga sebaliknya, bahasa yang
digunakan oleh suatu masyarakat tertentu dapat mengikat masing-masing anggota untuk
menjadi semakin kuat dan maju (Nur, 2011).
Seperti
halnya keterkaitan yang sangat erat pada masyarakat dan bahasa, bahasa
Indonesia juga terbentuk oleh masyarakat yang beraneka ragam. Baik masyarakat
pribumi maupun masyarakat asing yang membawa berbagai pengaruh. Chaer
mengatakan, dalam praseminar politik bahasa nasional pada tahun 1975 disebutkan
adanya tiga buah bahasa di Indonesia. Ketiganya adalah bahasa Indonesia, bahasa
daerah, dan bahasa asing. Ketiganya mempunyai fungsi yang berbeda. Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antarsuku bangsa; bahasa daerah
berfungsi sebagai alat komunikasi intrasuku bangsa; dan bahasa asing (terutama
bahasa Inggris) berfungsi sebagai alat komunikasi antarbangsa (Chaer, 2010:
83).
Berdasarkan
pernyataan tersebut sudah jelas bahwa seiring dengan kemajemukan bahasa yang
ada di Indonesia, maka penuturnya pun setidaknya akan berperan sebagai
dwibahasawan. Sebagian besar masyarakat Indonesia setidaknya memiliki dua
bahasa yang dikuasainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Romaine dan Loveday
yang dikutip oleh Tobing bahwa lebih dari setengah penduduk dunia adalah
dwibahasawan (Tobing, 2012).
Keanekaragaman
budaya dan manusia Indonesia, tentunya juga memengaruhi keanekaragaman bahasa
yang ada di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu
bahasa yang sampai saat ini masih digunakan oleh rakyat Indonesia sebagai
bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Bahkan bahasa Indonesia yang resmi digunakan
juga diambil dari bahasa daerah (bahasa Jawa). Misalnya kata /unduh/, /lara/,
/sengit/, /eka/, /lintang/ dan lain sebagainya yang telah menjadi bahasa
Indonesia secara baku (kata serapan dari bahasa daerah).
Melihat
kata-kata yang telah banyak digunakan dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan
inilah, ada keterikatan tersendiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri atas unsur-unsur atau komponen-komponen
yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk suatu
kesatuan (Chaer, 2007: 34). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk melihat kekontrastifan kedua struktur bahasa ini, terutama dalam hal
morfologi atau pembentukan katanya.
Salah
satu kajian dalam bidang morfologi adalah pembentukan pada kelas kata verba. Verba
merupakan salah satu kelas kata yang berperan penting kedudukannya pada sebuah
kalimat. Selain itu, pengaruh verba sangat besar karena memengaruhi ada atau
tidaknya unsur-unsur lain yang seharusnya ada atau tidak mengiringi verba. Hal
itu membuat verba memiliki sifat sintaksisnya sebagai verba transitif atau
verba intransitif. Dalam bahasa Indonesia, mengenal dua istilah verba yakni
verba transitif dan verba intransitif. Verba transitif adalah verba yang
memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat
berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (Alwi, et. al. 2003: 91), Misalnya:
“Ibu sedang membersihkan kamar itu.” à verba “membersihkan”
diiringi nomina atau frasa nomina.
Verba
transitif terbagi menjadi tiga jenis yakni verba ekatransitif, verba
dwitransitif, dan verba semitransitif. Verba ekatransitif adalah verba yang
diikuti oleh satu nomina. Misalnya: “Saya sedang mencari pekerjaan.” à
verba “mencari” hanya membutuhkan sebuah objek, yakni pekerjaan. Verba
dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif dapat diikuti oleh dua
nomina, satu sebagai objek dan satu lagi sebagai pelengkap. Misalnya “Saya
sedang mencarikan adik saya
pekerjaan.” à
pada contoh tersebut verba “mencarikan” memiliki dua nomina. Nomina pertama
adalah “adik saya” sebagai objek, dan nomina “pekerjaan” sebagai pelengkap. Verba
semitransitif adalah verba yang objeknta boleh ada dan boleh juga tidak ada.
Misalnya “Ayah sedang membaca koran.”
à
pada contoh tersebut, verba “membaca” boleh mencantumkan objek “koran” boleh
juga tidak.
Berdasarkan
contoh-contoh verba seperti mencari,
mencarikan, dan membaca,
ketiganya adalah kata yang berafiks. Oleh karena itu dalam penurunnya verba
transitif memiliki tiga cara yakni melalui transposisi, afiksasi, dan
reduplikasi (Alwi, et. al., 2003:
117). Hanya saja yang menjadi batasan masalah adalah pada pembentukan afiks nya
saja.
AFIKSASI BAHASA INDONESIA
Kridalaksana mendefinisikan afiks sebagai proses
yang mengubah leksem menjadi kata kompleks (Kridalaksana, 2010: 28). Afiks
adalah bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata (Alwi et
al., 2003: 31) Dalam proses ini leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi
kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstastus kata
berganti kategori), dan (3) sedikit banyak berubah maknanya. Kridalaksana
membagi afiksasi menjadi tujuh kategori yakni prefiks, infiks, sufiks,
simulfiks, konfiks, superfiks, dan kombinasi afiks.
Ketujuh klasifikasi tersebut, diklasifikasikan
kembali oleh Alwi et.al. (Alwi et. al., 2003:
31-32) membagi afiksasi hanya menjadi empat jenis, yaitu prefiks, sufiks,
infiks, dan konfiks. Afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar
disebut prefiks. Prefiks dalam bahasa Indonesia antara lain ber-, di-,
ke-, meng-, per-, se-, dan ter-. Afiks yang
digunakan di bagian belakang kata disebut sufiks. Sufiks dalam bahasa Indonesia
antara lain -an, -i, dan -kan. Afiks yang diselipkan di
tengah kata dasar disebut infiks. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk
suatu kesatuan dinamakan konfiks. Chaer mengungkapkan bahwa yang membentuk
verba di antaranya adalah ber-, ber-an, ber-kan, -kan, -i, per-, per-kan, per-i,
me-, di-, ter, ke-, dan ke-an (Chaer, 2008: 106-142).
AFIKSASI BAHASA JAWA
Seperti
halnya bahas Indonesia, salah satu proses morfologis yang ada pada bahasa Jawa
ialah proses afiksasi. Riris Tiani (2015) membagi afiksasi
bahasa Indonesia menjadi lima jenis, di antaranya adalah dengan prroses
pengimbuhan atau wuwuhan di depan yang disebut ater-ater, di tengah (seselan),
di akhir (panambang), dan konfiks. Wuwuhan adalah proses pengimbuhan pada
satuan bentuk tunggal atau bentuk kompleks untuk membentuk morfem baru atau
satuan yang lebih luas.
a. Pengimbuhan
di depan atau ater-ater.
Pengimbuhan
ater-ater adalah proses pengimbuhan morfem tunggal atau kompleks dengan morfem
ikat yang disebut ater-ater yang di letakkan di depan morfem tersebut. Imbuhan tersebut antara lain: N- (n-, ny-,
m-. ng-), dak-/ tak-, kok-/ tok-, di-, ka-, ke-, a-, aN-, paN-, ma-, me-, sa-,
pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kami-, kapi-.
b. Pengimbuhan
di tengah atau seselan.
Dalam
bahasa Jawa pengimbuhan tersebut adalah seselan, atau sisipan dalam bahasa
Indonesia, yakni -in-, -um-, -er-, dan –el-.
c. Pengimbuhan
di belakang atau penambang.
Imbuhan
di belakang atau akhiran dalam bahasa Jawa di sebut panambang. Akhiran dalam
bahasa Jawa antara lain: -i, -ake, -a, -en, -na, -ana, -an, dan –e.
d. Pengimbuhan
bersama/ bergantian atau konfliks/ simulfiks.
Imbuhan
yang melekatnya dengan morfem lain bersamaan atau bergantian dengan imbuhan
lain biasa di sebut sebagai morfem konflik atau simulfiks. Imbuhan-imbuhan
tersebut adalah: ka- / -an, ke-/ -an, ke-/ -en, N-/ -I, N-/ -ake, N-/ -na,
paN-/ -an,paN-/ -e, pa-/ -an, pi-/ -an, pra-/ -an, tak-/ -ane, tak-/ -e, tak-/
-I, tak-/ -na, tak-/ -ana, tak-/ -a, kok-/ -i, kok-/ -ake/ -ke, kok-/ -a, kok-/
-na, kok-/ -ana, di-/ -i, di-/ -ake, kami-/ -en, kami-/ -an, sa-/ -e, -in-/
-an.
Dari sekian banyak afiksasi yang terdapat dalam
bahasa Jawa tersebut, terdapat beberapa afiks pembentuk verba turunan. Afiks
tersebut di antaranya adalah Prefiks pembentuk verba terdiri atas N-, maN-,
ka-, ke-, di-/ dipun, dan bawa ha. Infiks pembentuk verba turunan
terdiri atas; -um-, dan –in-. Sufiks pembentuk verba turunan berupa -i,
- a, -en, -an, -ana, -ake/ake. Konfiks pembentuk verba terdiri atas ka-/
-an, sementara afiks gabung pembentuk verba turunan berupa N digabung
dengan –i atau –ake, -a, -na, - ana, atau di- digabung dengan –a, -na, in, atau
dapat juga gabungan afiks –in-/ -ake, -in-/ -ana, -um/ i (Mulyani, 2011).
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian tentang analisis kontrastif
morfologi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ini menggunakan penelitian
kualitatif. Metodologi yang digunakan adalah dengan metode deskriptif, dalam
arti memberikan gejala-gejala lingual secara rinci dan teliti. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan mengontraskan struktur yang membentuk derivasi dan
infleksi dari dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Afiksasi
pembentuk verba yang ada pada bahasa Indonesia dikontraskan dengan afiksasi
pembentuk verba pada bahasa Jawa. Cara mengontraskannya adalah dengan metode
terjemahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Penurunan Verba
Transitif dengan Prefiks Meng-
Penurunan verba bahasa
Indonesia prefiks meng- dapat terjadi apabila hanya memiliki dasar kata
berkelas kata verba juga. Misalnya pada contoh berikut
Bahasa Indonesia
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Pakai
|
D + {me-}= (Memakai)
|
Adik memakai seragam baru
|
Jahit
|
D + {me-(N)} = (Menjahit)
|
Bu Fatma menjahit kemeja
|
Kalimat pada contoh
tersebut masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Jika tidak
ada objek maka kalimat tersebut tidak bermakna atau belum lengkap. Makna yang
dimaksud pada prefiks me- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan
perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar’.
Contoh tersebut
memiliki kata dasar verba yang diturunkan dari prefiks me- dengan alomorfnya. Dalam
bahasa Indonesia verba turunan pembentuk verba transitif hanya berupa kata
dasar verba. Misalnya kata dasar diubah menjadi nomina seperti pada kata buku,
kelas, baju maka jika diberikan prefiks meng- tidak akan berterima *membuku, *mengelas, *membaju. Kalaupun kata-kata
tersebut digunakan, maka maknanya pun akan sangat jauh berbeda.
Apabila sebagian kata
yang mendapat prefiks me- berterima, maka statusnya bukan lagi menjadi verba
transitif, melainkan menjadi verba intransitif. Misalnya kata sifat baik +me-
akan menjadi /membaik/, dimasukkan dalam kalimat “kondisinya saat ini mulai
membaik” maka status verba tersebut tidak membutuhkan nomina lagi sebagai
objeknya (verba intransitif).
Bahasa
Jawa
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Anggo
|
D + {ng-} = (Nganggo)
|
Adik nganggo seragam anyar
|
Jahit
|
D +{N-} = (Njahit)
|
Bu Fatma njahit kemeja
|
Dari contoh tersebut
dapat dilihat bahwa pengontrasan yang terjadi antara bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa adalah morfem meng- pada bahasa Indonesia menjadi ater-ater anuswara
n- dan m- pada bahasa Jawa. Secara makna sama, hanya saja morfem yang
menurunkan verba transitif berbeda.
a.
Penurunan Verba
Transitif dengan Kombinasi Meng-kan
Bahasa Indonesia
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Pakai
|
D + {me-kan}= (Memakaikan)
|
Ibu memakaikan seragam baru adik
|
Jahit
|
D + {me-kan} = (Menjahitkan)
|
Bu Fatma menjahitkan kemeja Pak Joko
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Ada yang bersifat
benefaktif atau melakukan sesuatu untuk orang lain karena memiliki dua makna
(dwitransitif), misalnya pada kalimat ‘Bu Fatma menjahitkan kemeja Pak Joko. Namun, ada juga yang tetap memiliki
satu nomina yang menduduki objek. Makna yang dimaksud pada kombinasi meng-kan
berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan
oleh kata dasar untuk orang lain’.
Bahasa Jawa
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Anggo
|
D + {ng-… -ke/ -ne/ -ake/
-aken
(Nganggoke),(Nganggokne),
(Nganggoake), (Nganggoaken)
|
Ibu nganggoake adik seragam
anyar
|
Jahit
|
D + {n-… -ke/ -ne/ -ake}
Njahitke/ Njahitne
Njahitake/Njahitaken
|
Bu Fatma njahitake klambine Pak Joko
|
Seperti halnya pada contoh dalam bahasa
Indonesia, kelima kalimat pada contoh tersebut pada setiap verba nya ada yang
memiliki dua nomina yang berfungsi sebagai objek dan pelengkap, atau yang biasa
disebut sebagai verba benefaktif (melakukan sesuatu untuk orang lain).
Penggunaan panambang –ne, -ke-, -ake, dan –aken hanya pada daerah jawa yang
berbeda-beda, dan juga kepada lawan bicaranya. Panambang –aken hanya digunakan
untuk ragam bahasa “kromo inggil” kepada orang yang lebih tua atau pun kepada
orang yang dihormati. Penambang yang lain hanya dibedakan berdasarkan daerah
jawa nya saja. Adapun makna berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan
perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar untuk orang lain’.
b. Penurunan Verba Transitif dengan
Kombinasi Meng-i
Bahasa
Indonesia
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Jahit
|
D+{me-… -i} = (Menjahiti)
|
Bu Fatma menjahiti baju yang sobek.
|
Tanam
|
D+{me-…-i} = (Menanami)
|
Pak Rudi mulai menanami sayur.
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada kombinasi afiks me-i adalah
berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan perbuatan yang
dilakukan oleh kata dasar secara berulang-ulang’. Berdasarkan contoh tersebut,
ternyata tidak semua verba berterima jika bersufiks –i, misalnya pada kata
/beli/ tidak dapat berterima jika menjadi /membelii/.
Bahasa Jawa
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Tandur
|
D + {n-… -i} = (Nanduri)
|
Pak Rudi nanduri empon-empon.
|
Tuku
|
D + {n-… -i} = (Nukani)
|
Dinda nukoni klambi anyar.
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada kombinasi afiks meng-i dalam bahasa Indonesia berubah menjadi kombinasi
ater-ater n- atau m- dan panambang –i adalah. Makna yang dihasilkan berdasarkan
contoh tersebut adalah ‘melakukan perbuatan yang dilakukan oleh kata dasar
secara berulang-ulang’. Berdasarkan contoh-contoh tersebut juga ditemukan ada
satu kata yang berubah pengucapan, dari /u/ menjadi /o/ yakni pada kata dasar
/tuku/ menjadi /nukòni/.
2.
Penurunan Verba
Transitif dengan sufiks –kan
Bahasa Indonesia
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Pakai
|
D + {-kan} =Pakaikan
|
Pakaikan
adikmu baju yang sesuai!
|
Jahit
|
D + {-kan} = (Jahitkan)
|
Tolong jahitkan kemeja ayahmu
ini!
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Ada yang hanya
memiliki objek satu (intransitif), namun ada pula yang memiliki dua nimina). Makna
yang dimaksud pada kombinasi sufiks –kan berdasarkan contoh-contoh di atas
adalah ‘berupa kalimat perintah untuk melakukan sesuatu’. Jika pada penjelasan
sebelumnya kombinasi me-kan menjadi sebuah kalimat berita, maka jika hanya
menggunakan sufiks –kan maka akan berubah menjadi kalimat perintah.
Bahasa Jawa
Kata
Dasar
|
Verba
Turunan
|
Kalimat
|
Jahit
|
D + {-na} = (Jahitna)
|
Tolong jahitna kemeja bapakmu
iki!
|
Tuku
|
D + {-kan} = (Tukakna)
|
Tukakna
kancamu iki cemilan gurih!
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada sufiks –kan dalam bahasa Indonesia berubah menjadi panambang –na pada
bahasa Jawa. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘memerintahkan
orang lain untuk melakukan kata dasar’. Berdasarkan contoh-contoh tersebut juga
ditemukan ada satu kata yang berubah pengucapan, dari /u/ menjadi /o/ yakni
pada kata dasar /tuku/ menjadi /tukòkna/.
3.
Penurunan Verba
Transitif dengan Kombinasi Afiks Per-kan dan Per-i.
Bahasa Indonesia
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Banyak
|
D+{memper-..-kan}
(Memperbanyak)
|
Dengan memperbanyak kalimat persuasif, sebuah iklan akan menjadi
lebih menarik.
|
Luas
|
D+{memper-..-kan}
(Memperluas)
|
Memperluas pergaulan
akan membuat remaja lebih percaya diri.
|
Ketiga kata pada kalimat tersebut,
sama-sama memerlukan nomina yang berfungsi sebagai objek. Verba transitif pada
kalimat tersebut tidak berasal dari kata dasar verba, melainkan nomina. Makna
verba turunan pada kalimat tersebut adalah melakukan pekerjaan kata dasar.
Selain contoh-contoh tersebut, ada beberapa kata yang memerlukan konfiks
memper- dengan sufiks –kan atau -i. Misalnya pada kata-kata berikut ini.
Kata
Dasar
|
Verba
Turunan
|
Kalimat
|
Taruh
|
D+{memper-..-kan}
(Mempertaruhkan)
|
Ibu pasti mampu mempertaruhkan jiwa raga demi anak-anaknya.
|
Main
|
D+{memper-..-kan}
(Mempermainkan)
|
Jika kau hanya mempermainkan seseorang, tunggu saja kehancuranmu.
|
Contoh tersebut semuanya memiliki nomina
yang menduduki fungsi subjek. Kata dasar yang digunakan pun bukan verba,
melainkan nomina. Makna dari ketiga kata pada kalimat tersebut adalah
‘menjadikan kata dasar’. Misalnya mempermainkan bermakna ‘menjadikan mainan’.
Selain konfiks memper-kan, terdapat pula konfiks memper-i yang dijadikan
sebagai turunan yang membentuk verba transitif. Misalnya pada contoh berikut
ini.
Kata
Dasar
|
Verba
Turunan
|
Kalimat
|
Baik
|
D + {memper-..-i}
(Memperbaiki)
|
Sebaik-baik manusia adalah yang selalu
dapat memperbaiki kesalahannya.
|
Baru
|
D + {memper-..-i}
(Memperbarui)
|
Semua dilakukannya untuk terus memperbarui keterampilannya di
bidang pendidikan.
|
Pada kedua contoh di atas, semuanya
memiliki nomina yang menduduki fungsi objek. Kata dasar sebelum verba turunan
juga bukan sebuah verba, melainkan ajektiva (verba ajektival). Makna dari kata
tersebut adalah ‘melakukan sebuah proses menuju kata dasar’. Morfologi
kombinasi afiks pada bahasa Indonesia tersebut, tidak ada dalam bahasa Jawa.
Bahasa Jawa hanya mengenal konfiks (ater-ater + panambang) hanya satu morfem di
depan dan satu morfem di belakang, misalnya N+jahit+ke/ ake seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
4.
Penurunan Verba
Transitif dengan prefiks di- atau ter- (kalimat pasif)
Prefiks di- (Bahasa Indonesia)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Pakai
|
D+ {di-} = (Dipakai)
|
Buku bahasa Indonesia itu dipakai oleh Sinta
|
Jahit
|
D+ {di-} = (Dijahit)
|
Kebaya itu dijahit oleh temanku sendiri
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada afiks di- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘kalimat yang subjeknya
dikenai pekerjaan dasar’. Jika pada penjelasan sebelumnya kombinasi meng-
menjadi sebuah kalimat aktif, maka pada prefiks di- ini menjadi kalimat pasif.
Prefiks di- (Bahasa
Jawa)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Anggo
|
D+ {di-}= (Dianggo)
|
Buku tulis sing ana ing meja dianggo Sinta
|
Jahit
|
D+ {di-} = (Dijahit)
|
Kebaya iku dijahit kancaku dhewe
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada prefiks di- dalam bahasa Indonesia, ternyata sama pada bahasa Jawa. Makna
yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut adalah ‘kalimat yang subjeknya
dikenai pekerjaan dasar’. Jika pada penjelasan sebelumnya kombinasi meng-
menjadi sebuah kalimat aktif, maka pada prefiks di- ini menjadi kalimat pasif.
Prefiks
ter-
(Bahasa Indonesia)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Pakai
|
D+ {ter-} = (Terpakai)
|
Buku tulis itu sudah terpakai oleh Sinta
|
Jahit
|
D+ {ter-}= (Terjahit)
|
Kebaya itu terjahit oleh temanku sendiri
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada afiks ter- berdasarkan contoh-contoh di atas adalah ‘melakukan hal secara
tidak sengaja’.
Prefiks ter- (Bahasa
Jawa)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Anggo
|
D+{ka-/ke}=Kanggo/Kanggé)
|
Buku kanggo Sinta
|
Jahit
|
D+ {ka-/ ke-} =(Kajahit/ Kejahit)
|
Kebaya iku kajahit kancaku
|
Kalimat pada contoh tersebut
masing-masing memiliki nomina yang berfungsi sebagai objek. Makna yang dimaksud
pada prefiks ter- dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia menjadi
ater-ater ke- atau ka-. Makna yang dihasilkan berdasarkan contoh tersebut
adalah ‘pekerjaan yang sudah dilakukan’.
a.
Penurunan Verba
Transitif dengan prefiks di-kan atau ter-kan Kombinasi Afiks di-kan (Bahasa
Indonesia)
Kata Dasar
|
Proses Afiksasi
|
Kalimat
|
Cari
|
D+{di-..-kan}=(Dicarikan)
|
Ia dicarikan buku oleh pamannya
|
Verba turunan yang bersifat
transitif juga terdapat pada kombinasi afiks di-kan. Pada contoh tersebut,
verba membutuhkan nomina sebagai pelengkap dan objeknya. Verba transitif pada
kalimat tersebut berasal dari kata dasar verba. Makna verba turunan pada kalimat
tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata dasar dengan sengaja’. Jika dalam
bahasa Jawa bentuk pasif dari di- adalah sebagai berikut.
Kata Dasar
|
Proses Afiksasi
|
Kalimat
|
Oléh
(artinya:
dapat)
|
D+ {di-.. –ne/
-ke/ -ake/ -aken}
(Digolekne), (Digolekke)
(Digolekake), (Digoleaken)
|
Dinda digoleake rewang karo Paklik
|
Pada contoh tersebut, verba
membutuhkan nomina sebagai pelengkap dan objeknya. Dalam bahasa Indonesia,
kombinasi afiks di-..-kan menjadi kombinasi ater-ater di-..-ke/-ne/-ake/ dan –aken.
Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah ‘melakukan pekerjaan kata
dasar dengan sengaja’. Selain itu, apabila kata /oléh/ tersebut dijadikan karma
inggil, maka akan timbul kombinasi afiks baru seperti contoh berikut ini.
Kata Dasar
|
Proses Afiksasi
|
Kalimat
|
Pados
(artinya:
cari)
|
D+ {dipun-..
-aken}
(Dipunpadosaken)
|
Dinda dipunpadosaken rencang saking Solo .
|
Kombinasi
Afiks ter-kan (Bahasa Indonesia)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Abai
|
D+ {ter-.. -kan}
(Terabaikan)
|
Pergaulan remaja mulai terabaikan oleh
lingkungan sekitarnya.
|
Verba turunan yang bersifat transitif
juga terdapat pada kombinasi afiks ter-kan. Pada contoh tersebut, verba
membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal
dari kata dasar verba. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah
‘melakukan pekerjaan kata dasar secara tidak sengaja’. Bentuk afiks dengan
makna yang sama dalam bahasa Jawa tidak ada
b.
Penurunan Verba
Transitif dengan prefiks di-i atau ter-i (kalimat pasif)
Kombinasi Afiks di-i (Bahasa Indonesia)
Kata Dasar
|
Proses Afiksasi
|
Kalimat
|
Teman
|
D+ {di-.. -i}
=(Ditemani)
|
Kanya selalu ditemani adiknya.
|
Verba turunan yang bersifat
transitif juga terdapat pada kombinasi afiks di i. Pada contoh tersebut, verba
membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal
dari kata dasar nomina. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah
‘melakukan pekerjaan kata dasar dengan sengaja’. Jika dalam bahasa Jawa bentuk
pasif dari di- adalah sebagai berikut.
Kata Dasar
|
Proses Afiksasi
|
Kalimat
|
Kanca
|
D+{di-..–i}= (Dikancani)
|
Kanya mesti dikancani adike.
|
Verba turunan yang bersifat
transitif yang terdapat pada kombinasi afiks di-i dalam bahasa Indonesia, dalam
bahasa Jawa pun sama yakni ater-ater di- dan panambang -i. Pada contoh
tersebut, verba membutuhkan nomina sebagai objeknya. Verba transitif pada
kalimat tersebut berasal dari kata dasar nomina.
Kombinasi Afiks
ter-kan (Bahasa Indonesia)
Kata
Dasar
|
Proses
Afiksasi
|
Kalimat
|
Obat
|
D+ {ter-.. -i}=(Terobati)
|
Rindunya telah terobati olehnya.
|
Verba turunan yang bersifat transitif
juga terdapat pada kombinasi afiks ter-i. Pada contoh tersebut, verba
membutuhkan nomina sebagai objek. Verba transitif pada kalimat tersebut berasal
dari kata dasar nomina. Makna verba turunan pada kalimat tersebut adalah
‘melakukan pekerjaan kata dasar secara tidak sengaja’. Bentuk afiks dengan
makna yang sama dalam bahasa Jawa tidak ada. Secara ringkas kekontrastifan
antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa adalah.
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa Jawa
|
Prefiks
{meng-}
Kombinasi
{meng-i}
Kombinasi
{meng-ka}
|
Ater-ater
{n- atau m-}
Ater-ater
{n- atau m-}+panambang {-i}
Ater-ater
{n-}+ panambang{-ne/ -ke/ -ake/ -aken}
|
Sufiks
{-kan}
|
Panambang
{-na}
(Juga
terdapat perubahan fonem dari u menjadi ò)
|
Kombinasi
{memper-}
Kombinasi
{memper-kan}
Kombinasi
{memper-i}
|
Ø
Ø
Ø
|
Prefiks
{di-}
Prefiks
{ter-}
Kombinasi
{di-kan}
Kombinasi
{ter-kan}
Kombinasi
{di-i}
Kombinasi
{ter-i}
|
Ater-ater
{di-}
Ater-ater
{ke-} atau {ka-}
Ater-ater
{di-} + panambang {-ke}{-ne}{-ake}{-aken}
Bahasa
krama inggil menjadi prefiks{dipun-} + panambang {-aken}
Ø
Ø
Ø
|
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian, pembentukan verba transitif dengan proses afiksasi dapat
disimpulkan bahwa di antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa memiliki perbedaan
dan persamaannya. Bahasa Indonesia memiliki empat klasifikasi afiks. keempat
afiks tersebut adalah (1) prefiks meng-; kombinasi meng-kan, dan meng-i; (2)
sufiks –kan; (3) kombinasi afiks memper-, memper-kan, dan memper-i; (4) sufiks
di- dan ter-; kombinasi afiks di-kan dan ter-kan, kombinasi afiks di-i dan
ter-i. Prefiks {di-} dalam bahasa Indonesia ternyata tetap sama pada bahasa
Jawa, yakni menggunakan ater-ater {di-}. Prefiks {meng-}, kombinasi afiks
{meng-kan} dan {meng-i} dalam bahasa Jawa tidak ditemukan afiks yang membentuk
makna yang sama. Hanya saja dalam bahasa Jawa terdapat kombinasi {dipun-aken} untuk
ragam bahasa karma inggil.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. et.al. (2003). Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Persero.
Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2008). Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
___________. (2010) Telaah Bibliografi kebahasaan Bahasa Indonesia/ Melayu. Jakarta:
Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. (2010). Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia.
Nur, Tajudin. (2011). Analisis
Kontrastif Perspektif Bahasa dan Budaya terhadap Distingsi Gender Maskulin
Versus Feminin dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Humaniora, vol. 23 (3),
hlmn. 269-279.
Tarigan, Henry Guntur (1989). Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa. Jakarta: P2LPTK.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan.
(2011). Pengajaran Analisis Kontrastif
Berbahasa.
Tiani, Riris. (2015). Analisis
Kontrastif Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia. Humaniora, vo. 21 (1), hlmn. 1-6.
Tobing, Roswita Lumban. (2012).
Konstruksi Determinan dalam Frasa Nomina Bahasa Prancis dan Bahasa Indonesia. Humaniora, vol. 24 (2), hlmn. 221-230.
Komentar
Posting Komentar