Deden Fahmi Fadilah (PREFIKS PEMBENTUK VERBA PADA BAHASA INDONESIA DAN BAHASA SUNDA SEBUAH ANALISIS KONTRASTIF)
PREFIKS PEMBENTUK VERBA PADA BAHASA INDONESIA DAN BAHASA
SUNDA
SEBUAH ANALISIS KONTRASTIF
Deden
Fahmi Fadilah
Pendidikan
Bahasa
Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
Fadilah.f.deden@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui
persamaan dan perbedaan pembentukan kata kerja pada bahasa Sunda (BS) dan
bahasa Indonesia (BI). Analisis ini dilakukan untuk mendeskripsikan proses
pembentukan kata verba pada BS secara morfologis dan proses pembentukan kata
verba yang sama pada BI, khususnya pada sufiks –keun dalam BS yang mempengaruhi prerubahan pembentukannya pada
proses morfologis pada BI.
Metode yang dilakukan pada
penelitian ini adalah metode analisis kontrastif dengan teknik analisis
deskriptif kualitatif. Pencarian data dilakukan dengan cara substansuif, yaitu
memilah kata-kata yang dirasa mewakili untuk kebutuhan perbandingan. Kata-kata
tersebut lalu dideskripsikan proses pembentukannya dari segi morofologisnya
dari kedua bahasa, BS dan BI.
Hasilnya menunjukan bahwa adanya
perbedaan proses morfologis pembentukan kata kerja dengan menggunakan sufiks –keun dalam BS jika diterjemahkan ke
dalam BI. Yakni hadirnya kata kerja dalam BI yang mengalami afiksasi yang
berbeda seperti menggunakan me- dan –i, me- dan –kan. Hal itu terjadi pada beberapa kata yang memiliki jenis kata
verba dan adjektiva sebelum mengalami proses perubahan morfologis menjadi kata
verba.
Kata kunci: prefiks, proses
morfologi, verba, BS, BI.
PENDAHULUAN
Sebagai
sebuah sistem, bahasa terdiri atas beberapa unsur atau tataran yang membentuk
sebuah konstruksi yang utuh. Unsur-unsur tersebut ialah bunyi atau fonem,
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
Selanjutnya,
unsur-unsur tersebut dapat dikaji melalui cabang-cabang linguistik yang telah
tersedia sesuai dengan unsur-unsur tersebut. Misalnya, fonologi yang
mempelajari mengenai sistem bunyi suatu bahasa, atau morfologi yang
mempermasalahkan tentang kata dan bagaimana proses pembentukannya, selanjutnya
ada kajian tentang kalimat oleh sintaksis, makna oleh semantik, pragmatik dst.
Ilmu yang
mempelajari tentang unsur-unsur bahasa seperti disebut di atas dikenal dengan
istilah linguistik struktural, atau linguistik mikro; sedangkan
sosiolinguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, linguistik terapan, dll.
disebut linguistik pascastruktural atau linguistik makro.
Instrumen-instrumen
pengkaji bahasa tersebut tentunya dapat menjadi alat untuk menelaah lebih jauh
mengenai bahasa apapun, dan bahasa di manapun, termasuk Indonesia sebagai
negara kepulauan yang memiliki ragam budaya dan bahasa, salah satunya adalah
bahasa Sunda (BS) yang digunakan di Jawa Barat. BS digunakan sebagai lingua
franca oleh warga Jawa Barat pada umumnya. Pada penggunaannya BS berdampingan
dengan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional, apa lagi letak geografis
Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta. Sebagaimana yang diketahui, bahwa
Jakarta dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki B1 bahasa Indonesia—jumlahnya
lebih banyak dari daerah lainnya.
Namun
demikian, penggunaan BI pada situasi formal acap kali mengalami interferensi
dari BS sebagai bahasa Ibu sebagian besar warga Jawa Barat, artinya meskipun
kedudukannya hanya sebagai bahasa substandard dari BI, sistem pada BS sudah
memperlihatkan perbedaan sehingga mudah untuk mengetahui apabila seorang
penutur BS yang dalam situasi formal menggunakan BI mengalami interferensi.
Interferensi
BS yang sering terjadi dalam penggunaan BI pada penutur BS adalah dalam
pembentukkan kata, meskipun interferensi yang ditemui tersebut mungkin hanya sekedar
permasalahan bunyi yang dapat dijelaskan secara diakronis, misalnya prefiks
{Pe-} pada kata {Pe-tani} petani sering direalisasikan dengan
bentuk Patani {Pa-tani}. Dapat dilihat dari contoh tersebut
bahwa terjadi penurunan fonem vokal /e/ pada BI menjadi /a/ pada BS. Selain
itu, dalam penggunaan prefiks {me-kan} pada {mengerjakan} lebih dibilang {Pi-N-gawe}
migawe. Akan tetapi ada masalah yang
substansial bahwa interferensi yang terjadi kadang terjadi seperti pada kata
berikut:
Berekeun
(BS) {bere-keun} artinya berikan
dalam BI. (tidak terjadi perubahan yang banyak dalam prose morfologis.
Nuturkeun
(BS) {(N)utur-keun} artinya mengikuti dalam BI. (terjadi perubahan
proses morfologis.
Masalah di
atas menjadi dasar penelitian pada tulisan ini, oleh karenanya, makalah ini
setidaknya akan mendeskripsikan perbedaaan dan persamaan proses
morfologis pembentuk kata verba dalam BI dan BS namun masalahnya dibatasi pada sufiks
–keun dalam BS yang berfungdi
pembentuk verba.
Hasil
tersebut selanjutnya akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah koleksi khazanah ilmu
linguistik kontrastif terutama dalam bidang morfologi khususnya afiksasi dalam
BI dan BS; sementara itu, secara praktis penelitian ini dapat memberikan memberikan
pedoman penggunaan afiksasi BI yang benar bagi penutur BS.
Landasan
teori penelitian ini menggunakan konsep struktur inheren bahasa, yakni konsep
morfofonemik dan afiksasi. Morfofonemik mempelajari tentang perubahan fonem
yang terjadi akibat penggabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang
lain; sedangkan afiks berbicara mengenai masalah pembentukan kata dengan cara
pembubuhan imbuhan.
Pembentukan kata
yang paling umum adalah dengan menambahkan afiks atau dikenal dengan afiksasi
(Bauer 1988: 19). Afiks adalah morfem yang digunakan dengan cara
menggabungkannya dengan morfem lain yang merupakan bentuk dasar. Afiks juga
merupakan morfem terikat dan tidak pernah berdiri sendiri di dalam sebuah
kalimat (Katamba 1993: 44). Afiks sendiri tidak mempunyai makna, tetapi selalu
terikat pada bentuk dasarnya.
Adapun
afiksasi merupakan proses pembentukan kata melalui penggabungan antara morfem
terikat dan morfem bebas. Chaer (2003: 177) mendefinisakan afikasi sebagai
proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Proses tersebut
melibatkan tiga unsur yakni bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang
dihasilkan. Dalam BI, Chaer membagi afiks menjadi empat bagian, yakni awalan,
akhiran, sisipan, dan imbuhan.
Ramlan (1997:60),
sejalan dengan pendapat Chaer yang mengemukakan bahwa afiks dalam BI
digolongkan menjadi empat, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Dalam
penelitian ini, konsep afiks yang akan dibahas dihkususkan pada prefiks yang
membentuk kategori verba.
METODE
Penelitian
ini didasarkan pada teori analisis kontrastif yang berupa prosedur kerja untuk
membandingkan struktur B1 dan B2 untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
bahasa (Tarigan, 2002:5). Adapun B1 dalam penelitian ini merupakan BS dan
B2 adalah BI yang menjadi bahasa-bahasa yang diperbandingkan.
Adapun
populasi dari penelitian ini yaitu morfem-morfem yang berafiks verba, sedangkan
sampelnya diambil dari data-data substansif yang dirasa mewakili perbandingan.
HASIL
Bahasa Sunda
(BS) merupakan bahasa Ibu bagi sebagian besar rakyat di Jawa Barat. Sebagai bahasa
daerah di Indonesia, BS memperlihatkan kekhasannya dalam proses morfologis,
seperti afiks yang berbeda bentuk dengan BI khususnya afiks verba.
Proses morflogi kali ini akan membahas
mengenai perubahan kata bahasa Sunda menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Sunda
merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa Barat. Dalam
hal ini penulis akan membahas afiks (sufiks) –keun pada
bahasa Sunda menjadi afiks –kan, meng- -kan, meng- -i yang terdiri dari verba.
Afiks meN- dan –kan, meN- dan –i, di- dan –kan, di- dan –i seperti pada kata-kata membesarkan, memanasi,
dibesarkan, dan dipanasi tidak
merupakan simulfiks karena afiks-afiks tersebut tidak melekat bersama-sama pada
satu bentuk dasar, dan tidak bersama-sama mendukung satu fungsi.
Demikian pula afiks per- dan –kan seperti
pada pokok kata perbesarkan, perkecilkan, persamakan, dan sebagainya. Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, afiks –kan tidak
merupakan simulfiks bersama dengan afiks meN-, di-, atau ter-, sekalipun dalam pemakaian bahasa sering
bersama-sama dengan ketiga afiks itu. Jadi kata mendudukkan,
misalnya, terdiri dari unsur meN- dan dudukkan, dan
selanjutnya dudukkan terdiri
dari unsurduduk dan –kan, bukannya
terdiri dari unsur meN—kan dan duduk.
Afiks –kan tidak berfungsi membentuk kata,
melainkan berfungsi membentuk pokok kata. Dengan tambahan prefiks meN-, di-, ter-,
atau dengan tambahan satuan-satuan lain seperti ku-, kau dan sebagainya,
pokok kata itu membentuk suatu kata. Bentuk dasarnya mungkin berupa verbal,
baik yang berupa kata kerja, seperti
Melarikan ß
lari
Mendatangkan
ß
datang
Mendudukkan ß
duduk
maupun yang
berupa kata sifat (ajektiva), misalnya :
meluaskan
ß luas
membesarkan ß
besar
menyingkatkan
ß singkat
maupun juga
berupa kata benda (nominal), misalnya :
mendewakan
ß dewa
mengurbankan ß
kurban
memenjarakan ß
penjara
mungkin
berupa kata bilangan, misalnya :
menyatukan
ß satu
menduakan
ß dua
dan mungkin
juga berupa pokok kata, misalnya :
membacakan
ß
baca
mendengarkan
ß
dengar
membelikan
ß beli
Verba + sufiks –keun
Secara sintaksis sebuah satuan
gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang
lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari peri
lakunya dalam frase, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi
partikel tidak dalam
konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau
dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak.
Data
dalam kelas verba + sufiks –keun dalam bahasa Sunda yang kemudian diubah
menjadi bahasa Indonesia. Berikut data-datanya
Omongkeun
à ucapkan, katakan
Anteurkeun
à antarkan
Tukeurkeun
à tukarkan, gantikan
Parabkeun
à makankan (kepada binatang)
Kirimkeun
à kirimkan
Bejakeun
à kabarkan, beritakan
Caritakeun
à ceritakan, kisahkan
Tanyakeun
à tanyakan
Tȇrangkeun
à jelaskan, terangkan
Bȇnȇrkeun
à betulkan, benarkan
Heulakeun
à dahulukan
Anggeuskeun à
selesaikan
Dengekeun
à dengarkan
nyekelkeun à
memegangkan
Asupkeun
à masukkan
Pada data di atas, sufiks -keun membentuk verba atau kata kerja.
Seperti yang terdapat pada contoh, anteurkeun berasal
dari kata dasar anteur (antar).
Demikian pula pada kata anggeuskeun, dengekeun, tȇpikeun,
asupkeun, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa tidak ada perubahan
kata yang signifikan dari data diatas.
Hanya sufiks –keun pada bahasa Sunda menjadi sufiks –kan pada bahasa Indonesia. Namun pada kata nuturkeun, jika
dipadani dalam bahasa Indonesia berartimengikuti. Berbeda
dengan data diatas, kata mengikuti bukan
bersufiks –kan, namun berafiks me(N)- dan –i. Dapat disimpulkan bahwa, dari sebagian
besar contoh data di atas merupakan bentuk dasar verba dan ketika mengalami
afiksasi berupa sufiks –keun masih
dalam bentuk verba. Sama halnya pada kata nyekeulkeun
menjadi memegangkan.
Ajektiva + sufiks –keun
Ajektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung
dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi
partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri
morfologis, seperti –er dalam
(dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam alami), atau (5)
dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, seperti adil—keadilan, halus—kehalusan, yakin—keyakinan.
Data
dalam kelas ajektiva + sufiks –keun dalam bahasa Sunda yang kemudian diubah
menjadi bahasa Indonesia. Berikut data-datanya
Gȇdekeun
à besarkan
Leutikkeun
à kecilkan
Panjangkeun
à panjangkan
Logorkeun
à longgarkan
Heurinkeun
à sempitkan
Lebarkeun
à lebarkan
Cicingkeun
à diamkan
Baseuhkeun
à basahkan
Bȇbaskeun
à bebaskan
Gancangkeun
à cepatkan
Deukeutkeun
à dekatkan
Kentelkeun
à kentalkan
Kempȇskeun
à kempiskan
Dȇngdȇkkeun
à
miringkan
Mantengkeun
à mengencangkan (tali, jsb)
Pada data di atas, sufiks -keun pada kata sifat (ajektiva) membentuk
verba atau kata kerja. Seperti yang terdapat pada contoh, baseuhkeun berasal dari kata dasar baseuh (basah). Demikian pula pada kata baseuhkeun, deukeutkeun,
gancangkeun, bȇbaskeun, dan
sebagainya. Disini terlihat bahwa perubahan kata dari data, bentuk dasar kata
yang termasuk ajektiva menjadi kelas kata verba yang telah berafiks –keun.
Selain itu terdapat peluluhan huruf
pada kata mantengkeun yang berkata dasar panteng (kencang (tali)), dalam BI berarti
mengencangkan. Jika dalam BI berarti kencangkan
yang harus terjadi dalam proses BS adalah panteung
+ keun yaitu menjadi pantengkeun.
Dapat disimpulkan bahwa, dari sebagian besar contoh data di atas merupakan
bentuk dasar ajektiva dan ketika mengalami afiksasi berupa sufiks –keun berubah menjadi bentuk verba.
Numeralia
+ sufiks –keun
Numeralia
adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaksis,
(2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat
bergabung dengan tidak atau dengan sangat.
Numeralia
mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa.
Contoh:
(1) Dua tambah dua sama dengan empat.
(2)
Gunung Semeru lebih dari 1000 kaki tingginya.
Data dalam kelas
ajektiva + sufiks –keun dalam bahasa Sunda yang kemudian diubah menjadi bahasa
Indonesia. Berikut data-datanya
Hijikeun
à satukan
Duakeun
à duakan
Tilukeun
à tigakan
Opatkeun
à empatkan
Limakeun
à limakan
Gȇnȇpkeun
à enamkan
Tujuhkeun
à tujuhkan
Dalapankeun
à delapankan
Salapankeun
à sembilankan
Sapuluhkeun
à sepuluhkan
Pada data di atas, sufiks -keun pada bilangan (nomina) membentuk verba
atau kata kerja. Seperti yang terdapat pada contoh, hijikeun berasal dari kata dasar hiji(satu).
Demikian pula pada kata duakeun, tilukeun, opatkeun, limakeun, dan sebagainya.
Ketika hanya terdapat satu kata hiji (satu)
maknanya berarti satu atautunggal, namun ketika
sudah bersufiks –keun yakni
menjadi hijikeun, maknanya menjadi berbeda yaitu menyuruh supaya di-.
Sama halnya dengan kata dasar verba,
sufiks –keun pada
bahasa Sunda tetap menjadi sufiks –kan pada
bahasa Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa, dari sebagian besar contoh data di
atas merupakan bentuk dasar nomina dan ketika mengalami afiksasi berupa sufiks –keun mengalami perubahan bentuk kata
menjadi verba.
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara sufiks –keun pada BS dan proses morfologis jika
diterjemahkan ke BI. Namun lebih banyak kemiripan dan kesamaan proses morfoogis
pembentukan kata verba dengan menggunakan sufiks –keun atau –kan.
Perbedaan
terjadi pada beberapa kata BS yang ternyata mengalami peluluhan ketika
mendapatkan sufiks –keun, yaitu pada nuturkeun (tutur-keun), nyekeulkeun
(cekeul-keun) dan mantengkeun (panting-keun). Keduanya mengalami proses
morfologis berbeda ketika diterjemahkan ke dalama BI yaitu menjadi mengikuti (meng-ikuti-i), memegangkan (me-pegang-kan) dan mengencangkan (me-kencang-kan).
Hal itu terjadi karena adanya penyesuaian proses sesuai kaidah morfologis yang
terdapat di kedua bahasa tersebut.
\
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan., Soenjono
Dardjowidjojo., Hans Lapoliwa., Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik
Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kaelan.
(2009). Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
“Paradigma” Yogyakarta.
Kridalaksana,
H. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rahayu
Tamsyah, Budi, dkk. 1995. Kamus Lengkep Sunda-Indonesia Indonesia-Sunda Sunda-Sunda.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Ramlan, M. 1997. Ilmu
Bahasa Indonesia Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV
Karyono.
Sudarno. 1992. Perbandingan
Bahasa Nusantara. Jakarta: Arikha Media Cipta
Tarigan, Henry Guntur. 2002. Pengajaran
Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung Angkasa.
------------------------.
1988. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Komentar
Posting Komentar