ANALISIS KONTRASTIF KALIMAT PASIF PADA
BAHASA INDONESIA DAN BAHASA SUNDA
Delia Paramita-7316167149
Program Studi Pendidikan Bahasa, Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
Jln.
Rawamangun Muka, Jakarta Timur
ABSTRACT
This
study aims to examine the similarities and differences between passive sentence
structure in Indonesian and Sundanese. A sentence is regarded as a passive
sentence if the inner structure (the deep structure) of the patient contains
the old information. In general, the concept of passive sentences in the
Indonesian language has the equation of the sentence that the subject gets /
subjected to an action in the form of predicate by object.
The
method used in this study descriptive analysis method with content analysis
technique (content analysist) by doing contrastive analysis between the two
languages is based on literature study by using books and other references
related to the problem under study.
There are three types of clauses / passive sentences, namely (1) canonical type, (2) object type of preaching, and (3) other types of forms, while in Sundanese there are only two types, 1) canonical and passive types (2) other passive types. Passive preaching objects are not found in Sundanese. Indonesian passive clauses that form object-forwarding will always be a canonical passive in Sundanese. The complementary function in the Indonesian passive sentence is to the right of the predicate, whereas in Sundanese it can be changed.
Keywords: passive sentence, Indonesian, and Sundanese
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk melihat persamaan dan perbedaan antara stuktur kalimat
pasif pada bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Suatu kalimat dianggap sebagai
kalimat pasif apabila dalam struktur batinnya (deep structure) si penderita
perbuatan (patient) mengandung informasi lama.
Secara umum konsep kalimat pasif dalam bahasa Indonesia memiliki
persamaan yaitu kalimat yang subjeknya mendapat/dikenai suatu tindakan yang
berupa predikat oleh objek.
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini metode analisis deskriptif dengan teknik analisis isi (content analysist) dengan melakukan analisis kontrastif antara kedua bahasa tersebut
berdasarkan studi kepustakaan dengan menggunakan buku dan referensi lainnya
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Adapun hasil penelitian yang didapatkan adalah
dalam bahasa Indonesia terdapat tiga tipe klausa/kalimat pasif, yaitu (1) tipe
kanonis, (2) tipe pengedepanan objek, dan (3) tipe bentuk lain, sedangkan dalam
bahasa Sunda hanya ada dua tipe, yaitu (1) tipe pasif kanonis dan (2) tipe
pasif lain. Pasif pengedepanan objek tidak terdapat dalam bahasa Sunda. Klausa
pasif bahasa Indonesia yang terbentuk pengedepanan objek akan selalu menjadi
pasif kanonis dalam bahasa Sunda.
Fungsi pelengkap dalam kalimat pasif bahasa Indonesia terletak di
sebelah kanan predikat, sedangkan dalam bahasa Sunda pelengkap itu dapat diubah-ubah
letaknya.
Kata
Kunci : kalimat pasif, bahasa Indonesia, dan bahasa Sunda
A. Pendahuluan
Setiap
bahasa memiliki karakteristik khas. Setiap bahasa memiliki kaidah dan aturan
yang unik. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bangsa ini pun memiliki
keunikan tersendiri. Bahasa Indonesia sebagai bahsa pemersatu bangsa ini
memiliki persamaan dan perbedaaan dengan bahasa daerah yang ada di Indoneasia.
Misalnya antara bahsa Indonesia dengan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa Sunda sebagai bahasa daerah memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaan dan perbedaan itu terlihat dari pla kalimat baik kalimat
pasif maupun kalimat aktif. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai analisis
kontrastif kalimat pasif antara bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Kalimat
pasif di dalam berbagai bahasa merupakan lahan yang menantang. Tak satu pun
teori bahasa yang melewatkan begitu saja masalah pasif ini. Begitu juga halnya
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, konstruksi pasif juga merupakan lahan
yang menantang untuk diselidiki lebih mendalam.
Dalam
bahasa Indonesia telaah pasif telah banyak dibahas oleh para pakar dalam dan
luar negeri. Chung (1976), Verhaar (1988), Kaswanti (1988), Kridalaksana
(1991), Sugono (1997), dan Alwi (1998), misalnya, merupakan para pakar yang
telah banyak membicarakan ihwal kalimat pasif dalam bahasa itu. Demikian halnya
dengan bahasa Sunda, telaah kalimat pasif dalam bahasa itu juga diungkapkan
oleh pakar-pakar bahasa Sunda, antara lain: Ardiwinata (1984), Coolsma (1995),
dan Djajasudarma (1994). Sehubungan dengan hal itu, penulis bermaksud
mendeskripsikan kalimat pasif dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan kalimat pasif dalam bahasa Sunda beserta
pola-pola kalimat bahasa Sunda dan bahasa Indonesia serta membandingkan kedua
pola kalimat tersebut.
B.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode analisis deskriptif dengan teknik analisis isi (content analysist). Metode penelitian
ini juga menggunakan linguistik strukturalis yang berusaha mendeskripsikan
suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu.
Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan, mendeskripsikan serta memperbandingkan kalimat pasif pada bahasa Indonesia dan
bahasa Sunda. Tempat penelitian ini dilakukan di Jakarta. Adapun waktu penelitiannya
dilaksanakan pada Agustus 2017.
Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Peneliti melakukan penelaahan dan pencatatan terhadap kalimat pasif pada
bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dalam buku-buku sebagai acuan dalam penelitian.
C. Hasil dan Pembahasan
Konstruksi Pasif
Secara
umum yang disebut kalimat pasif adalah adalah kalimat yang subjeknya
mendapat/dikenai suatu tindakan yang berupa predikat oleh objek. Chafe dalam
Dardjowidjojo Purwo (1986:59) berpendapat bahwa suatu kalimat dianggap sebagai
kalimat pasif apabila dalam struktur batinnya (deep structure) si penderita
perbuatan (patient) mengandung informasi lama. Sementara itu, dengan
menggunakan pendekatan semantik sebagai kriteria utama dan afiks verbal dengan
kriteria tambahan, Dardjowidjojo dalam Purwo (1986) membagi konstruksi pasif
bahasa Indonesia menjadi empat tipe, yaitu (1) tipe yang menyatakan kesengajaan
dari perbuatan, (2) tipe yang menunjukkan perbuatan yang tidak disengaja, (3)
tipe yang menyatakan adversatif, dan (4) tipe yang menyatakan dapat di- + verba. Tipe yang menyatakan kesengajaan suatu
perbuatan, verbanya biasanya ditandai oleh prefiks di-. Meskipun tidak harus,
si penderita biasanya diletakkan di muka verba. Apabila pelaku perbuatan
dipisahkan dari verba oleh elemen apa pun, pelaku itu harus didahului pemarkah
oleh. Namun, pemarkah dan pelakunya adalah manusia. Misalnya :
(1)
Toko Pak Sarif digusur (oleh petugas).
(2)
Bunga mawar itu telah dijual (oleh Pak Dahlia).
Menurut
Comri (1988) kontruksi pasif paling tidak memberikan ciri kesubjekan terhadap
pasien. Selain itu, konstruksi pasif biasanya bermarkah. Sementara itu, menurut
Chung (1976) dalam Kaswanti Purwo (1991) pasif dalam bahasa Indonesia dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pasif kanonis (canonical passive) dan pasif
pengedepanan objek (passive which has the
surface form of on object tapicalization). Pasif kanonis ini merupakan
diatesis aktif. Predikat verba pasif kanonis dimarkahi oleh afiks di-, di--i,
dan di--kan, sedangkan pasif pengedepanan objek predikatnya tidak bermarkah,
tetapi ditandai oleh pronomina persona (pronomina diri). Misalnya:
(3) Alquran itu
dibaca (oleh) Pardilah
(4) Pardilah
disambut (oleh) ibu.
(5) Kitab itu
saya baca.
(6) Pardilah
saya sambut.
Kalimat
(3) dan (4) merupakan pasif kanonis yang berasal dari kalimat (7) dan (8),
sedangkan kalimat (5) dan (6) merupakan pasif pengedepanan objek sebab objek
kalimat (5) dan (6) merupakan objek kalimat aktif (9) dan (10) yang
dikedepankan. Misalnya :
(7) Pardilah membaca Alquran itu.
(8) Ibu menyambut Pardilah.
(9) Saya membaca kitab itu.
(10)
Saya menyambut Pardilah
Certier
(1979) berpendapat bahwa pada umumnya pasif mempunyai padanan aktif dan
demikian pula sebaliknya, tetapi ada beberapa pengecualian. Ia mengatakan bahwa
pasif bahasa Indonesia sepenuhnya dianggap gramatikal oleh penutur asli bahasa
Indonesia jika agen berupa nomina, kalimat itu diduga bukan pasif, melainkan
kalimat ergatif. Misalnya:
(11)
Gedung Bintang Pelajar tempat anak-anak
belajar, telah ditutup oleh Pak Sholihin
(12)
a. Baju bagus di pasar itu telah kamu beli?
b.
Telah kamu beli baju bagus di pasar itu?
Menurut
Cartier, kalimat (11) termasuk kalimat pasif sebab agen pada kalimat tersebut
berupa nomina, yaitu petugas kepolisian. Sementara itu, kalimat (12a) dan (12b)
bukan kalimat pasif sebab agen kalimat tersebut bukan nomina tetapi pronomina,
yaitu kamu. Lain halnya dengan pendapat Kridalaksana (1993:112), ia menyatakan
bahwa konstruksi pasif akan terjadi bila subjeknya merupakan sasaran dari
perbuatan sebagaimana disebutkan dalam predikat verbalnya. Verba yang menjadi
predikat pada konstruksi pasif biasanya bermarkah prefiks di- dan ter-. Misalnya :
(13) Siswa yang
sekolahnya di tepi Sungai Cibungbulang diintai bahaya longsor.
(14) Di gudang
tempat penyimpanan barang gadis itu terjebak karena pintu terkunci dari dalam.
Kridalaksana
melihat pasif dari sudut subjek sebagai sasaran perbuatan, agen atau pasien
tidak begitu dipentingkan. Asal subjek menjadi sasaran perbuatan, kalimat itu
disebut pasif. Sementara itu, Alwi (1988:345-349) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia edisi ketiga hanya memberikan ciri-ciri kalimat pasif, yaitu
menggunakan verba berprefiks di- dan menggunakan verba tanpa prefiks di-.
Kehadiran bentuk oleh pada kalimat pasif bersifat manasuka. Namun, jika verba
predikat tidak diikuti langsung oleh pelengkap pelaku (yang sebelumnya
merupakan subjek kalimat aktif), bentuk oleh wajib hadir. Lebih lanjut
dijelaskannya bahwa bahasa Indonesia mempunyai dua tipe kalimat pasif. Oleh
karena itu, ketika memastikan bentuk aktif, ia mengajukan rumus pemasifan cara
pertama dan cara kedua. Pemasifan cara pertama dapat dilakukan jika subjek pada
kalimat aktif bukan berupa pronomina persona. Namun, jika subjek pada kalimat
aktif berupa pronomina persona, pemasifan dilakukan dengan cara kedua. Tentu
saja pemasifan cara pertama dan kedua membawa perubahan terhadap verba yang
menjadi predikatnya. Sementara itu, Ardiwinata (1984:67) dan Coolsma
(1985:114--119) membagi kalimat pasif bahasa Sunda menjadi dua bentuk, yaitu
pasif berawalan di- dan pasif berawalan ka-. Pasif yang pertama menunjukkan
bahwa seseorang atau sesuatu mengalami sesuatu oleh sebab tertentu, sedangkan
pasif yang kedua, seseorang atau sesuatu dibayangkan sebagai pengalaman atau
penderita, tetapi bukan sebagai akibat suatu sebab atau keinginan
seseorang. Misalnya :
(15)
a. Kebon urang anu gigireun sakola diruksak ku barudak.
“Kebun saya yang terletak di pinggir
sekolah dirusak oleh anak-anak.‟
(16) a. Wartos ngeunaan jawara kampung Cisaeur
eta kacaturkeun ku Pa Wawi.
„Berita
mengenai juara kampung dikatakan oleh Pak Wawi.‟
b. Cau ambon nu dijarah jeung dipiboga ku
masyarakat Dukuh Jeruk ayeuna geus kapaluruh dalangna.
„Pisang
ambon yang dicuri dan dimiliki secara tidak sah oleh masyarakat Dukuh Jeruk
saat ini sudah diketahui dalangnya.‟
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut, disimpulkan bahwa konstruksi pasif adalah
konstruksi yang subjeknya menjadi pasien (sasaran). Predikat konstruksi
tersebut ada yang berupa verba berpemarkah di- dan ada pula yang berpemarkah
pronomina persona + verba (dasar). Pasif yang pertama disebut kanonis dan yang
kedua disebut pengedepanan objek. Di samping kedua bentuk tersebut masih
terdapat bentuk pasif yang lain, yaitu pasif berafiks ter- dan pasif berafiks
ke-. Pasif berafiks ter- dan ke- disebut pasif bentuk ketiga.
Klausa Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda
Pasif Kanonis
Pasif
kanonis merupakan diatesis aktif. Predikat pasif kanonis dimarkahi oleh afiks
di-, di--i, dan di--kan yang merupakan pemasifan bentuk aktif meng-, meng-,
meng—kan. Dalam bahasa Indonesia pasif jenis ini tampak seperti contoh berikut:
Kalimat
Pasif Bahasa Indonesia
|
Asal
Kalimat Pasif
|
(17) Karena sering tidak hadir saat
rapat, anggota DPR itu ditegur oleh ketua DPR.
|
(20) Karena sering tidak hadir saat
rapat, Ketua DPR menegur anggota DPR.
|
(18) Demonstran dihujani (oleh) para
petugas dengan gas air mata.
|
(21) Para petugas menghujani demonstran
dengan gas air mata
|
(19) Dalam Musyawarah Kerja LDK UNJ ketua LDK dimenangkan (oleh) Mujahid.
|
(22) Dalam Musyawarah Kerja LDK UNJ
Muhajid memenangkan ketua LDK.
|
Ketiga
pasif seperti yang tampak pada (17--19) di atas berasal dari kalimat aktif
(20-22) berikut ini.
Dalam
bahasa Sunda kalimat pasif jenis ini ditandai dengan verba berafiks di-,
di--an, dan di--keun. Berikut disajikan beberapa contoh:
Kalimat
Pasif Bahasa Sunda
|
Asal
Kalimat Pasif Bahasa Sunda
|
(23) a. Comro henteu dicandak ku Ceu
Wati
„Comro tidak diambil oleh Ceu Wati.‟
|
(26) a. Ceu Wati henteu nyandak comro
„Ceu Wati tidak mengambil comro.‟
|
b. Piring dikumbah ku teteh.
„Piring dicuci oleh kakak.‟
|
b. Teteh ngumbah piring.
„ Kakak mencuci piring.‟
|
c. Alona ditakol ku bibina.
„Keponakannya dipukul oleh tantenya.‟
|
c. Bibina nakol alona.
„Tantenya memukul keponakannya.‟
|
(24) a. Lalaki diteunggeulan preman ku
batu.
„Orang itu dilempari preman dengan
batu.‟
|
(27) a. Preman neunggeulan lalaki ku
batu. „Preman melempari orang itu
dengan batu.‟
|
b. Kangkung geus ditalian ku Mang
Santa.
„Kangkung sudah diikat oleh Mang Santa.‟
|
b. Mang Santa geus nalian kangkung.
„Mang Santa sudah mengikat kangkung.‟
|
c. Udin Godeg ditenggelan ku batur salemburna.
„UDIN Godeg dipukuli oleh teman
mainnya.‟
|
c. Batur salemburna neggeulan Udin
Godeg.
„Teman sekampungnyanya memukuli Udin
Godeg.‟
|
(25) a. Abdi dipangmeserkan boneka
susan ku Bapa.
“Saya dibelikan boneka Susan oleh
Bapak.”
|
(28) a. Bapa mangmeulikeun Abdi boneka
Susan.
„Bapak membelikan saya boneka susan.‟
|
b. Baju eta dialungkeun ku Aji ka
lanceukna. „Baju itu dilemparkan oleh
Aji kepada kakaknya.‟
|
b. Aji ngalungkeun baju eta ka
lanceukna.
„Aji melemparkan baju itu kepada
kakaknya.‟
|
c. Nu maling hayam eta diadukeun warga
desa ka polisi.
Yang mencuri ayam itu dilaporkan
penduduk kepada polisi.‟
|
c. Warga desa ngalaporkeun nu maling hayam eta ka polisi.
„Penduduk desa melaporkan yang mencuri
ayam itu kepada polisi.‟
|
Ketiga
pasif seperti tampak pada (23--26) tersebut berasal dari bentuk aktif (26--28)
berikut.
Dalam
bahasa Sunda, kalimat pasif pada (23--25) tersebut urutannya dapat diubah
menjadi seperti berikut :
Bentuk
Lain Kalimat Pasif
|
|
(23)
a1. Comro eta ku Ceu Wati henteu
dicandak.
“Comro itu oleh Ceu Wati tidak
diambil.‟ „Comro itu tidak diambi oleh Ceu Wati.‟
a2. Ku Ceu Wati comro henteu dicandak.
„Oleh Ceu Wati comro tidak
diambil.‟ „Comro itu tidak diambil
oleh Ceu Wati.‟
b1.
Piring ku teteh dikumbah.
“Pirinng dicuci oleh kakak.”
“Piring dicuci oleh Kakak.‟
b2.Ku Bi Cicih baju diseuseuh.
„Oleh Bi Cicih baju dicuci.‟
„Baju dicuci oleh Bi Cicih.‟
c1.Adina ku lanceukna diciwit.
„Adiknya oleh kakaknya dicubit.‟
„Adiknya oleh kakaknya dicubit.‟
|
(24)
a1. Jalma eta ku preman dibaledog
ku batu. „Orang itu oleh preman dilempari
batu.‟ „Orang itu dilempari preman
dengan batu.‟ a2. Ku preman jalma eta
dibaledog ku batu. „Oleh preman orang itu dilempari
batu.‟ „Orang itu dilempari preman
dengan batu.‟ b1. Rosminah ku Rosmana
geus ditalian. „Rosminah ku Rosmana
sudah dilamar.‟ „Rosminah sudah dilamar
oleh Rosmana.‟
b2. Ku Rosmana, Rosminah geus
ditalian. „Oleh Rosmana, Rosminah
sudah dilamar. „Rosminah sudah dilamar
oleh Rosmana.‟
|
Sementara
itu, urutan kalimat pasif bahasa Indonesia tidak dapat diubah seperti urutan
kalimat pasif bahasa Sunda di atas. Kalimat yang terdapat pada (17--19)
tersebut tidak dapat diubah menjadi
berikut.
(17) a*Karena sering tidak hadir saat
rapat,, anggota DPR oleh ketua DPR ditegur.
|
b*Karena sering tidak hadir saat
rapat, oleh ketua DPR anggota DPR ditegur.
|
(18) a. *Demonstran oleh para petugas
dihujani dengan gas air mata.
|
b.*Oleh para petugas demonstran dihujani
gas air mata.
|
(19) a. *Dalam Musyawarah Kerja LDK
itu Ketua LDK oleh Mujahid dimenangkan.
|
b*Dalam Musyawarah kerja LDK itu oleh Mujahid
Ketua LDK dimenangkan.
|
Jika
contoh tersebut diamati, tampak bahwa pasif kanonis bahasa Indonesia dan bahasa
Sunda pola dasarnya adalah sama, yaitu (1) S-P-Pel dan (2) S-P-PelK. Dalam
bahasa Sunda pola pasif pertama dapat berubah menjadi S-Pel-P dan Pel-S-P,
sedangkan urutan pasif kedua dapat
berubah menjadi S-Pel-P-K dan Pel-S-P-K. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia
urutan S-P-Pel dan SP-Pel-K tidak dapat mengalami variasi bentuk atau tidak
dapat berubah menjadi *S-Pel-P-K dan *Pel-S-P-K sepert contoh (17 a--b) s.d
(19a--b) tersebut.
Pasif Pengedepanan Objek
Pasif
pengedepanan objek predikatnya tidak bermarkah tetapi ditandai oleh pronomina
persona + <verba dasar>. Pasif pengedepanan objek sebenarnya bukanlah
suatu istilah yang tepat sebab di dalam kalimat pasif tidak ada konstituen yang
berfungsi sebagai objek. Istilah itu digunakan untuk memudahkan pembahasan.
Pasif pengedepanan objek dalam bahasa Indonesia tampak pada contoh
berikut.
Kalimat
Aktif
|
Bentuk
Klitikkan
|
Bentuk
Kalimat Pasif
|
(29) Tugas itu belum saya kerjakan.
|
(29) a. Tugas itu belum kukerjakan.
|
(33) Saya belum mengerjakan tugas itu.
|
(30) Meja ini akan kamu jual?
|
(30) a. Meja ini akan kaujual?
|
(34) Kamu akan menjual meja itu?
|
(31) Surat itu sudah kami kirim.
|
-
|
(35) Kami sudah mengirim surat itu.
|
Dalam
bahasa Sunda kalimat (28a30a) berikut tidak dapat dipasifkan menjadi kalimat
(28b-32b), tetapi kalimat itu hanya dapat dipasifkan menjadi (28c--32c)
berikut.
Kalimat
Aktif
|
Bentuk
Pasif (Tidak berterima)
|
Bentuk
Pasif
|
(28) a. Yanti kuring meuli panci di
pasar.
„Yanti membeli panci di pasar.”
|
b. *Panci di Pasar Yanti dibeuli.
„Panci di pasar Yanti dibeli.‟
|
c.
Panci di pasar dibeuli ku Yanti.
„Panci di pasar dibeli oleh Yanti.‟
|
(29) a. Kuring nyarek Cicih.
„Saya menasihati Cicih.‟
|
b. *Cicih kuring dicarek.
„Cicih oleh saya dinasehati .‟
|
c. Cicih dicarek kukuring.
„Cicih dinasihati oleh saya.‟
|
Uraian
tersebut mengisyaratkan bahwa bahasa Sunda tidak mengenal tipe kalimat pasif
pengedepanan objek seperti halnya dalam bahasa Indonesia sebab kalimat aktif
pada (27a--29a) itu jika dipasifkan hasilnya adalah kalimat (27c--29c) bukan
kalimat (27b--29b). Oleh karena itu, pamasifan kalimat (27a-30a) menjadi
kalimat (27b--30b) menyebabkan kalimat (27b--30b) itu tidak gramatikal dan
sekaligus tidak berterima dalam bahasa Sunda.
3.3 Pasif Bentuk Lain
Selain
pasif kanonis dan pasif pengedepanan objek masih terdapat bentuk pasif lain, yaitu tipe kalimat pasif
yang predikatnya berafiks ke--an dan ter- yang menyatakan makna
“ketidaksengajaan‟ atau “subjeknya menderita‟.
(31)
a .Kemarin malam Rani kehujanan
sehingga hari ini datang terlambat.
b. Menurut para pengamat ekonomi, perekonomian
Indonesia ketinggalan selama seratus
tahun dengan perkonomian negara lain.
(32) a. Puluhan siswa terkena DBD, lima orang di antaranya telah tewas.
b. Seorang ibu dan anak di Jakarta terjebak di angkot meah
Beberapa
contoh tersebut menunjukkan subjek pada kalimat itu “menderita” sehingga dapat
dipastikan bahwa kalimat tersebut merupakan pasif. Menurut Verhaar (1989:213)
dan Dardjowidjojo (1986:59) kalimat (31a-31b) dan (32a—32b) itu termasuk
kalimat pasif karena mengandung makna ketidaksengajaan dan digunakan untuk
tindakan atau kejadian yang tidak direncanakan atau tidak terduga. Sementara itu, kalimat pasif dalam bahasa
Sunda yang setipe dengan kalimat (31a—31b) dan (32a—32b) tampak pada beberapa
contoh berikut.
Kalimat
Pasif
|
Terjemahan
|
(33) a. Sangu teh kapiceun ku
Emak.
|
Nasi itu terbuang oleh Ibu.
|
34 a. Ceu Kokom tikusruk ka
sawah.
|
„Bu Kokom terjatuh ke sawah .‟
|
b. Rahmat tisoledat tina tembok
hareupen imah.
|
„Rahmat terpeleset di lantai depan
rumah.‟
|
Verba
pasif bermarkah ka- dan ti- dalam bahasa
Sunda sama persis dengan pemarkah ke- dan ter- dalam bahasa Indonesia. Hanya
saja dalam bahasa Sunda tipe kalimat pasif jenis ini dapat disisipi infiks -ar-
atau -al- seperti berikut:
Kalimat
Pasif
|
Terjemahan
|
(35) a. Barudak sakolah tikarusruk
basa diajar olah raga silat.
|
„Anak-anak sekolah itu terjatuh saat
belajar olah raga .‟
|
Tampak
bahwa tipe kalimat pasif lain yang dapat diubah-ubah letaknya adalah tipe
kalimat pasif yang predikatnya berafiks ka-, sedangkan pasif berafiks ti- tidak
dapat diubah-ubah letaknya. Selain
memiliki pemarkah di yang beralomorf dengan (di--an, di--i, dan di-keun), ka-
yang beralomorf (ka--an, ka-keun), dan ti- kalimat pasif dalam bahasa Sunda
memiliki bentuk yang berasal dari pengaruh bahasa Jawa dan kini telah diakui
dalam pembentukkan kalimat pasif bahasa Sunda, yaitu adanya sisipan -in-.
Selain adanya bentuk sisipan -ar- dan -al- frekuensi pemakaian kalimat pasif
dengan sisipan -in- ini cenderung lebih rendah dibandingkan sisipan -ar- dan
-al-. Kenyataan seperti ini dapat terlihat pada contoh berikut ini:
(35) Ceuk bapa
mun jadi jelema bageur pinasti loba nu reuseup.
„Menurut bapa jika menjadi orang baik pasti
banyak yang suka.‟
(36) Baju anu
nuju dianggo ku Abah jinait ku Emak.
“Baju yang akan
dipakai bapa dijahit oleh ibu.‟
Kalimat
pasif (35) dan (36) yang merupakan bentuk pasif dengan pemerintah yang
mempunyai sisipan -in- pada bentuk pasif pinasti „pasti‟ dan jinait „dijahit‟
dapat digantikan penulisannya dengan bentuk pasif berikut ini.
4. Penutup
Berdasarkan
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kalimat dianggap sebagai kalimat
pasif apabila dalam struktur batinnya (deep structure) si penderita perbuatan
(patient) mengandung informasi lama.
Secara umum konsep kalimat pasif dalam bahasa Indonesia memiliki
persamaan yaitu kalimat yang subjeknya mendapat/dikenai suatu tindakan yang
berupa predikat oleh objek. Tipe kalimat pasif tidak dapat dipisahkan dari
pembicaraan mengenai verba pasif dan hal ini sebenarnya hanya dapat dikenali di
dalam kerangka sintaksis, yaitu dalam konstruksi kalimat pasif. Dalam bahasa
Indonesia terdapat tiga tipe klausa/kalimat pasif, yaitu (1) tipe kanonis, (2)
tipe pengedepanan objek, dan (3) tipe bentuk lain, sedangkan dalam bahasa Sunda
hanya ada dua tipe, yaitu (1) tipe pasif kanonis dan (2) tipe pasif lain. Pasif
pengedepanan objek tidak terdapat dalam bahasa Sunda. Klausa pasif bahasa
Indonesia yang terbentuk pengedepanan objek akan selalu menjadi pasif kanonis
dalam bahasa Sunda. Fungsi pelengkap
dalam kalimat pasif bahasa Indonesia terletak di sebelah kanan predikat,
sedangkan dalam bahasa Sunda pelengkap itu dapat diubah-ubah letaknya.
5. Daftar Pustaka
Alwi,
Hasan, dll. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Adiwidjaja,
R.I. 1951. Adegan Basa Sunda. Jakarta: J.B. Wolters.
Ardiwinata,
D.K. 1984. Tata Bahasa Sunda. Jakarta: Djambatan.
Chafe,
Wallace. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The University
of Chicago Press.
Comrie,
B. 1976.Aspect: An Introduction to The Study of Verbal Aspect and Related
Problem. Cambridge: University Press.
Coolsma,
S. 1985. Tata Bahasa Sunda. Jakarta: Djambatan.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 1982. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Darheni,
Nani. 2010. Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda.
Banadung: Jurnal Sosioteknologi.
Djajasudarma,
T. Fatimah et al. 1994. Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kridalaksana,
Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Lembaga
Basa & Sastra Sunda. 1983. Kamus Umum Basa Sunda. Cet. IV. Bandung:
Tarate.
Purwo,
Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Robins,
R.H. 1983. Sistem dan Struktur Bahasa Sunda. Jakarta: Djambatan.
Sudaryanto.
1983. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta:
Djambatan.
Sugono,
Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.
Verhaar,
J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Maaf, Bu Delia, 90--98 persen artikel ini hasil tulisan saya.
BalasHapusMohon Ibu melihat tata cara merujuk karya tulis ilmiah!