BAB I
PENDAHULUAN
Ada
empat jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan
pengetahuannya[1].
Ada orang yang tahu apa yang dia tahu (ikutilah
dia), ada orang yang tahu bahwa dia taidak tahu (ajarilah dia), ada orang yang tidak tahu bahwa dia tahu (bangunkanlah dia), ada orang yang tidak
tahu bahwa dia tidak tahu (tinggalkanlah
dia).
Maka
seringlah orang yang tahu bahwa dia tidak tahu itu bertanya, “Bagaimanakah
caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” Maka seorang filsuf[2]
akan menjawab demikian, “Mudah saja, ketahuilah apa yang kau tahu dan
ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan
filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa
yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah
hati bahwa tidak ssemuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang
seakan tak terbatas ini. Berfilsafat juga berarti mengoreksi diri, semacam
kebenaran untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari
telah kita jangkau.
Demikian
juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang
telah kita ketahui. Apakah ilmu telah mencakup segenap pengeahuan yang
seyogiyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan
di batas manakah dia berhenti? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? Perlu
diketahui, mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkan kita, namun secara
sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintai diri sendiri.
Ontologi
adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan
akar-akar (akar-akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu
pengetahuan itu). Jadi,
dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akar hingga sampai menjadi ilmu[3].
Tokoh
yang membuat istilah ontologi populer adalh Cristian Wolff (1679-1714). Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta
onta berarti “yang berada”, dan logi
berarti “ilmu pengetahuan; ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu
pengetahuan atau ajaran tentang yang berada[4]. Selanjutnya,
Suriasumantri (Soetriono & Hanafie, 2007: 61) menerangkan bahwa ontologi
adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan
akar-akar (akar-akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu
pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akar
hingga sampai menjadi ilmu.
Berdasarkan
pengertian di atas, menerangkan bahwa dalam ontologi menjelaskan mengenai
keberadaan sebuah ilmu atau yang mempermasalahkan suatu ilmu pengetahuan itu
berada. Pengertian ilmu sebagai suatu disiplin yakni pengetahuan yang
mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung
jawab dan kesungguhannya.
Dalam
ontologi, terdapat beberapa hal yang dikaji diantaranya adalah metafisika,
asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas-batas penjelajahan ilmu.
Akan tetapi, dalam makalah ini kami hanya menyajikan dua hal saja yaitu
mengenai beberapa asumsi dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
Waktu kecil
segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak
seperti raksasa. Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia
ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata
hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dunia bisa sebesar daun
kelor, bagi orang yang putus asa. Katakanlah kita
sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan ilmu
itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam bidang
datar yang sama bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Bagi amuba bidang
datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan
yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta
kurva.
Asumsi dan skala
observasi
Mengapa terdapat perbedaan yang nyata terhadap obyek yang begitu kongret
seperti sebuah bidang? Mengapa amuba dan kita seakan-akan hidup dalam dunia
yang sangat berbeda? Sebabnya, simpul ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye,
gejala itu diciptakan oleh skala observasi. Bagi anak kecil, pohon kopi itu
begitu besar, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan
daerah pemukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya
bidang datar itu. Hanya Tuhan yang tahu. Secara filsafati
mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara
praktis. Seperti kata Jujun ilmu sekadar
merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis[6]. Dengan
demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa
permukaan papan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat
dipertanggungjawabkan. Namun, bagi amuba asumsi ini jelas tidak dapat diterima sebab secara
praktis bagi mereka permukaan kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang datar
melainkan permukaan yang bergelombang.
Asumsi dalam
Matematika dan Ilmu Alam
Marilah kita lihat ilmu yang termasuk paling maju dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lainnya yakni fisika. Fisika merupakan ilmu teoretis yang dibangun di
atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuktian induktif yang sangat
mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan
suatu konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang
tersusun secara sistemik[7],
sistematik, konsisten, dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah
yang disepakati bersama. Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika?
Perbedaannya justru terletak dalam fondasi di mana dibangun teori ilmiah di
atasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis
utama yakni zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat
absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Einstein,
berlainan dengan Newton, dalam The
Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu
bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut, kata
Einstein. Bahkan zat sendiri itu pun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energi,
dengan rumus yang termasyhur:
E = mc²
Sekiranya ilmu mencari teori-teori ilmiah yang secara praktis, umpamanya
dapat kita pakai untuk membangun rumah maka mekanika klasik dari Newton sudah
jauh dari cukup. Demikian juga halnya dengan ilmu ukur yang kita pakai untuk
pengukuran dalam mekanika klasik yakni ilmu ukur Euclid. Ilmu ukur yang
dikembangkan oleh Euclid (330-275 S.M)
kurang lebih dua ribu tahun yang lalu itu ternyata sampai sekarang masih
memenuhi syarat. Namun sekiranya dalam kurun yang ditandai krisis energi ini,
kita ingin berpaling dari sumber energi konvensional yakni air, angin, panas
(bumi dan matahari) serta fosil kepada energi nuklir, maka tentu saja kita
harus berpaling kepada teori relativitas Einstein; sebab menurut teori ini
kebutuhan listrik dunia selama sebulan dapat dipenuhi hanya dengan konversi 5
kg zat. Untuk analisis keempat komponen yang bersifat relatif ini maka ilmu
ukur Euclid tidak lagi memenuhi syarat dan kita berpaling kepada ilmu ukur
non-Euclid yang dikembangkan oleh Lobacevskii (1773-1856), Bolyai (1802-1860)
dan Riemann (1823-1866).
Jadi di sini kita mengadakan asumsi lagi bahwa untuk membangun rumah,
ilmu ukur Euclid dianggap memenuhi syarat untuk dipergunakan. Sedangkan bagi amuba
yang harus membangun rumah pada permukaan yang bergelombang, hal ini tidak
demikian. Sifat serta bentuk ruang-waktu sangat berbeda dengan ilmu ukur yang
diajarkan Euclides.
Selanjutnya Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan
pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun 1913.
Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang cahaya
dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang
menggoyahkan sendi-sendi fisika
ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun
1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya
tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan
ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret,
menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan
meramalkan gejala-gejala fisik.
Asumsi Ilmu-Ilmu Sosial
Masalah asumsi ini menjadi lebih rumit lagi kalau kita berbicara tentang
ilmu-ilmu sosial. Masing-masing ilmu sosial mempunyai berbagai asumsi mengenai
manusia.
Siapa sebenarnya manusia? Jawabnya tergantung kepada situasinya: dalam
kegiatan ekonomis maka dia makhluk ekonomi, dalam politik maka dia political animal, dalam pendidikan dia homo educandum. Dan kotak-kotak manusia
makin lama makin banyak dan makin sempit.
Apakah kita perlu membuat kotak-kotak ini dan memberikan pembatasan
dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Sekiranya ilmu ingin mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan
dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini
adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia tidak bisa dianalisis secara
cermat dan seksama hanya oleh satu disiplin keilmuan saja. Masalah yang rumit
ini, seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat
sepotong-sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai disiplin keilmuan,
dengan asumsinya masing-masing tentang manusia, mencoba mendekati permasalahan
itu dari berbagai segi: psikologis, sosiologis, hiburan, dan pertamanan.
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan
“berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (Bukan “fusi” dengan
penggabungan asumsi yang kacau balau).
Seperti kasus Jessica Wongso yang sudah
berpuluh-puluh kali sidang itu, untuk mengungkap satu kasus ini saja (yang bisa
saja disengaja dipublikasikan sebegitu massifnya hingga perhatian masyarakat
terkuras pada masalah itu saja) harus menghadirkan beberapa ahli hingga hakim
benar-benar yakin membuat putusan yang tepat (walau kita juga belum yakin kapan
hari itu akan datang). Oleh beberapa ahli di antaranya ahli toksiologi[8],
ahli psikologi[9],
ahli kriminologi[10],
ahli patologi[11],
ahli forensik[12]
dan entah ahli apa lagi yang akan dihadirkan dimintai keterangan agar hakim
dalam mengambil keputusan terbantu untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun.
Tiap ahli, dalam hal ini sudah memberikan asumsi-asumsi sesuai bidang mereka
masing-masing, namun masih dipandang perlu untuk menghadirkan beberapa saksi
yang bisa membantu jalannya persidangan itu. Rumit memang.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin
keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana
keadaan yang seharusnya’. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang
berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai
pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu.
Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta
penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua
itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang
berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam
analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan
sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan
dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka
berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang
melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat.
Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat
kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak
dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau
belum mendapat kesamaan pendapat.
Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada
ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata bahwa asumsinya adalah cocok maka
kita tinggal memberika konfirmasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi
yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
Dalam beberapa asumsi
ilmu itu suatu permasalahan tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek ilmu saja,
karena pada hakikatnya menurut beberapa bidang ilmu dalam menanggapi suatu hal
itu berbeda. Seseorang harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti
pula konsep pemikiran yang dipergunakan.
B.
Batas-Batas Penjelajahan
Ilmu
Jujun menjelaskan bahwa
batas lingkup penjelajahan ilmu itu berada pada pengalaman manusia. Suatu ilmu
dimulai melalui penjelajahan pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Artinya, suatu ilmu yang telah diperoleh akan terhenti
perkembangannya pada batas pengalaman manusia tersebut. Termasuk menyerahkan
pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain. Hal ini dapat terjadi karena
letak fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia. Ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan
batasan ilmu ini, di samping menunjukan kematangan keilmuan dan profesional
kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal ilmu-ilmu lain. Makin sempit
penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan”
dari disiplin-disiplin lain. Istilah ini dikenal dengan pendekatan
multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang berdekatan.
Artinya, harus jelas bagi semua di mana disiplin ilmu itu berhenti dan kapan
ilmu lain dimulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan
multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi
konfrontasi.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta,
demikian kata Einsten. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan
kejurang malapetaka. Dewasa ini banyak negara-negara di dunia yang ingin
meningkatkan teknologi nuklirnya. Ada banyak kekuatan bom atom yang bisa
menghancurkan bumi menjadi berkeping-keping. Tak banyak harapan kita untuk
menemukan peradaban lain di tengah-tengah galaksi-galaksi ini, kata Carl Sagan,
sekirnya mereka kemudian saling menghancurkan setelah mencapai fase teknologi.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi
“kapling-kapling” berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin
sempit sesuai dengan perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Pada fase
permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, maka dewasa ini
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Seperti juga pemilik kapling yang sah,
maka seorang ilmuwan harus tahu benar batas-batas penjelajahan cabang
keilmuannya masing-masing, jangan terulang lagi seperti kasus Jessika di mana
saksi-saksi ahlinya saling mengklaim asumsinyalah yang benar hingga tidak sadar
memasuki kapling keilmuan yang lain yang buka keahliannya. Jangan untuk menjadi
ilmuwan yang tidak serakah, kenali batas-batas kapling keilmuan kita.
Cabang-cabang Ilmu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat
begitu pun dengan jumlah cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu
tersebut berkembang dari dua cabang utama yakin filsafat alam yang kemudian
menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the ntural
science) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial (the social science).
Ilmu alam itu sendiri terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam
bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian
bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia
(mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan
ilmu bumi (atau the earth science yang
mempelajari bumi kita ini).
Maka
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara pragmatis, yang boleh memecahkan
berbagai persoalan yang ada pada kehidupan manusia, dibutuhkan kolaborasi dari
berbagai bidang ilmu seperti telah dijelaskan di muka. Karna pengetahuan
kefilsafatan secara pragmatis ditujukan kepada kemampuan mendiagnosis persoalan
dan mencari alternatif pemecahannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Ontologi
menjelaskan mengenai keberadaan sebuah ilmu atau yang mempermasalahkan suatu ilmu
pengetahuan itu berada. Pengertian ilmu sebagai suatu disiplin yakni
pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan
penuh tanggung jawab dan kesungguhannya.
Dalam
beberapa asumsi ilmu itu suatu permasalahan tidak dapat dilihat hanya dari satu
aspek ilmu saja, karena pada hakikatnya menurut beberapa bidang ilmu dalam
menanggapi suatu hal itu berbeda. Seseorang harus benar-benar mengenal asumsi
yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti
pula konsep pemikiran yang dipergunakan.
Dengan
batasan ilmu, menunjukan kematangan keilmuan dan profesional kita, juga
dimaksudkan agar kita mengenal ilmu-ilmu lain. Makin sempit penjelajahan suatu
bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari
disiplin-disiplin lain. Istilah ini dikenal dengan pendekatan multi-disipliner,
membutuhkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang berdekatan. Artinya, harus jelas
bagi semua di mana disiplin ilmu itu berhenti dan kapan ilmu lain dimulai.
Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan
bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi konfrontasi.
[9] ilmu
yg berkaitan dng proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya
pada perilaku; ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.
[12] 1 cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta
medis pd masalah-masalah hukum; 2 ilmu bedah yang
berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan
kehakiman dan peradilan.
Komentar
Posting Komentar