Langsung ke konten utama

Beberapa Asumsi Dalam Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN

Ada empat jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya[1]. Ada orang yang tahu apa yang dia tahu (ikutilah dia), ada orang yang tahu bahwa dia taidak tahu (ajarilah dia), ada orang yang tidak tahu bahwa dia tahu (bangunkanlah dia), ada orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu (tinggalkanlah dia).
Maka seringlah orang yang tahu bahwa dia tidak tahu itu bertanya, “Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” Maka seorang filsuf[2] akan menjawab demikian, “Mudah saja, ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak ssemuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Berfilsafat juga berarti mengoreksi diri, semacam kebenaran untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui. Apakah ilmu telah mencakup segenap pengeahuan yang seyogiyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? Perlu diketahui, mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkan kita, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintai diri sendiri.
Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar-akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi, dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akar hingga sampai menjadi ilmu[3].
Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalh Cristian Wolff (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti “ilmu pengetahuan; ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada[4]. Selanjutnya, Suriasumantri (Soetriono & Hanafie, 2007: 61) menerangkan bahwa ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar-akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akar hingga sampai menjadi ilmu.
Berdasarkan pengertian di atas, menerangkan bahwa dalam ontologi menjelaskan mengenai keberadaan sebuah ilmu atau yang mempermasalahkan suatu ilmu pengetahuan itu berada. Pengertian ilmu sebagai suatu disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya.
Dalam ontologi, terdapat beberapa hal yang dikaji diantaranya adalah metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas-batas penjelajahan ilmu. Akan tetapi, dalam makalah ini kami hanya menyajikan dua hal saja yaitu mengenai beberapa asumsi dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu.





BAB II
PEMBAHASAN

A.       Beberapa Asumsi[5] Dalam Ilmu

Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak seperti raksasa. Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dunia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa. Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam bidang datar yang sama bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.

Asumsi dan skala observasi
Mengapa terdapat perbedaan yang nyata terhadap obyek yang begitu kongret seperti sebuah bidang? Mengapa amuba dan kita seakan-akan hidup dalam dunia yang sangat berbeda? Sebabnya, simpul ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh skala observasi. Bagi anak kecil, pohon kopi itu begitu besar, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. Hanya Tuhan yang tahu. Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti kata Jujun ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis[6]. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan papan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan. Namun, bagi amuba asumsi ini jelas tidak dapat diterima sebab secara praktis bagi mereka permukaan kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang datar melainkan permukaan yang bergelombang.
Asumsi dalam Matematika dan Ilmu Alam
Marilah kita lihat ilmu yang termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya yakni fisika. Fisika merupakan ilmu teoretis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuktian induktif yang sangat mengesankan. Namun sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu konsep yang utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara sistemik[7], sistematik, konsisten, dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi di mana dibangun teori ilmiah di atasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Einstein, berlainan dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut, kata Einstein. Bahkan zat sendiri itu pun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyhur:
E = mc²
Sekiranya ilmu mencari teori-teori ilmiah yang secara praktis, umpamanya dapat kita pakai untuk membangun rumah maka mekanika klasik dari Newton sudah jauh dari cukup. Demikian juga halnya dengan ilmu ukur yang kita pakai untuk pengukuran dalam mekanika klasik yakni ilmu ukur Euclid. Ilmu ukur yang dikembangkan oleh Euclid (330-275 S.M) kurang lebih dua ribu tahun yang lalu itu ternyata sampai sekarang masih memenuhi syarat. Namun sekiranya dalam kurun yang ditandai krisis energi ini, kita ingin berpaling dari sumber energi konvensional yakni air, angin, panas (bumi dan matahari) serta fosil kepada energi nuklir, maka tentu saja kita harus berpaling kepada teori relativitas Einstein; sebab menurut teori ini kebutuhan listrik dunia selama sebulan dapat dipenuhi hanya dengan konversi 5 kg zat. Untuk analisis keempat komponen yang bersifat relatif ini maka ilmu ukur Euclid tidak lagi memenuhi syarat dan kita berpaling kepada ilmu ukur non-Euclid yang dikembangkan oleh Lobacevskii (1773-1856), Bolyai (1802-1860) dan Riemann (1823-1866).
Jadi di sini kita mengadakan asumsi lagi bahwa untuk membangun rumah, ilmu ukur Euclid dianggap memenuhi syarat untuk dipergunakan. Sedangkan bagi amuba yang harus membangun rumah pada permukaan yang bergelombang, hal ini tidak demikian. Sifat serta bentuk ruang-waktu sangat berbeda dengan ilmu ukur yang diajarkan Euclides.
Selanjutnya Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik.



Asumsi Ilmu-Ilmu Sosial
Masalah asumsi ini menjadi lebih rumit lagi kalau kita berbicara tentang ilmu-ilmu sosial. Masing-masing ilmu sosial mempunyai berbagai asumsi mengenai manusia.
Siapa sebenarnya manusia? Jawabnya tergantung kepada situasinya: dalam kegiatan ekonomis maka dia makhluk ekonomi, dalam politik maka dia political animal, dalam pendidikan dia homo educandum. Dan kotak-kotak manusia makin lama makin banyak dan makin sempit. 
Apakah kita perlu membuat kotak-kotak ini dan memberikan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia tidak bisa dianalisis secara cermat dan seksama hanya oleh satu disiplin keilmuan saja. Masalah yang rumit ini, seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong-sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai disiplin keilmuan, dengan asumsinya masing-masing tentang manusia, mencoba mendekati permasalahan itu dari berbagai segi: psikologis, sosiologis, hiburan, dan pertamanan. Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (Bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Seperti kasus Jessica Wongso yang sudah berpuluh-puluh kali sidang itu, untuk mengungkap satu kasus ini saja (yang bisa saja disengaja dipublikasikan sebegitu massifnya hingga perhatian masyarakat terkuras pada masalah itu saja) harus menghadirkan beberapa ahli hingga hakim benar-benar yakin membuat putusan yang tepat (walau kita juga belum yakin kapan hari itu akan datang). Oleh beberapa ahli di antaranya ahli toksiologi[8], ahli psikologi[9], ahli kriminologi[10], ahli patologi[11], ahli forensik[12] dan entah ahli apa lagi yang akan dihadirkan dimintai keterangan agar hakim dalam mengambil keputusan terbantu untuk tidak membuat kesalahan sekecil apapun. Tiap ahli, dalam hal ini sudah memberikan asumsi-asumsi sesuai bidang mereka masing-masing, namun masih dipandang perlu untuk menghadirkan beberapa saksi yang bisa membantu jalannya persidangan itu. Rumit memang.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi
1.      Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi. 
2.      Asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas  lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata bahwa asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberika konfirmasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
Dalam beberapa asumsi ilmu itu suatu permasalahan tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek ilmu saja, karena pada hakikatnya menurut beberapa bidang ilmu dalam menanggapi suatu hal itu berbeda. Seseorang harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti pula konsep pemikiran yang dipergunakan.

B.       Batas-Batas Penjelajahan Ilmu

Jujun menjelaskan bahwa batas lingkup penjelajahan ilmu itu berada pada pengalaman manusia. Suatu ilmu dimulai melalui penjelajahan pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Artinya, suatu ilmu yang telah diperoleh akan terhenti perkembangannya pada batas pengalaman manusia tersebut. Termasuk menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain. Hal ini dapat terjadi karena letak fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan batasan ilmu ini, di samping menunjukan kematangan keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal ilmu-ilmu lain. Makin sempit penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Istilah ini dikenal dengan pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang berdekatan. Artinya, harus jelas bagi semua di mana disiplin ilmu itu berhenti dan kapan ilmu lain dimulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi konfrontasi.
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einsten. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan kejurang malapetaka. Dewasa ini banyak negara-negara di dunia yang ingin meningkatkan teknologi nuklirnya. Ada banyak kekuatan bom atom yang bisa menghancurkan bumi menjadi berkeping-keping. Tak banyak harapan kita untuk menemukan peradaban lain di tengah-tengah galaksi-galaksi ini, kata Carl Sagan, sekirnya mereka kemudian saling menghancurkan setelah mencapai fase teknologi.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling-kapling” berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan. Seperti juga pemilik kapling yang sah, maka seorang ilmuwan harus tahu benar batas-batas penjelajahan cabang keilmuannya masing-masing, jangan terulang lagi seperti kasus Jessika di mana saksi-saksi ahlinya saling mengklaim asumsinyalah yang benar hingga tidak sadar memasuki kapling keilmuan yang lain yang buka keahliannya. Jangan untuk menjadi ilmuwan yang tidak serakah, kenali batas-batas kapling keilmuan kita.
Cabang-cabang Ilmu
            Ilmu berkembang dengan sangat pesat begitu pun dengan jumlah cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakin filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the ntural science) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social science). Ilmu alam itu sendiri terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth science yang mempelajari bumi kita ini).
            Maka untuk memenuhi kebutuhan manusia secara pragmatis, yang boleh memecahkan berbagai persoalan yang ada pada kehidupan manusia, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai bidang ilmu seperti telah dijelaskan di muka. Karna pengetahuan kefilsafatan secara pragmatis ditujukan kepada kemampuan mendiagnosis persoalan dan mencari alternatif pemecahannya.













BAB III
KESIMPULAN
Ontologi menjelaskan mengenai keberadaan sebuah ilmu atau yang mempermasalahkan suatu ilmu pengetahuan itu berada. Pengertian ilmu sebagai suatu disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya.
Dalam beberapa asumsi ilmu itu suatu permasalahan tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek ilmu saja, karena pada hakikatnya menurut beberapa bidang ilmu dalam menanggapi suatu hal itu berbeda. Seseorang harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti pula konsep pemikiran yang dipergunakan.
Dengan batasan ilmu, menunjukan kematangan keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal ilmu-ilmu lain. Makin sempit penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Istilah ini dikenal dengan pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang berdekatan. Artinya, harus jelas bagi semua di mana disiplin ilmu itu berhenti dan kapan ilmu lain dimulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi konfrontasi.




[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, 2007, hlm. 19
[2] 1 ahli filsafat; ahli pikir; 2 orang yg berfilsafat (KBBI Offline 1.5)
[3] Soetrino dan Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogakarta, 2007, hlm. 61 
[4] Drs. Sudarsono, S.H, M.Si., Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, 2008, hlm. 118
[5] 1 dugaan yg diterima sbg dasar; 2 landasan berpikir krn dianggap benar. (KBBI Offline 1.5)
[6] Ibid, hlm. 84
[7] Sistemik dari kata systemic: affecting or connected with the whole of something. (Oxford 8th)

[8] ilmu tentang zat beracun yang berbahaya (KBBI Offline 1.5)
[9] ilmu yg berkaitan dng proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku; ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.
[10] ilmu atau pengetahuan tentang kejahatan dan tindak pidana
[11] ilmu tentang penyakit.
[12]  1 cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pd masalah-masalah hukum; 2 ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...