Langsung ke konten utama

Filsafat, Ruang Lingkup Filsafat, Sejarah Perkembangan Filsafat, Aliran Filsafat, Konsep Filsafat Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir atau daya nalar yang menyebabkan mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dengan berfilsafat manusia akan mampu mencintai kebijaksanaan sehingga dengan hal ini menjadikan manusia sebagai insan yang sempurna, sebab mampu mengoptimalkan akal untuk berpikir. Ketika manusia mengasah alam pikirannya disertai dengan pendekatan inderanya dan mendapatkan sebuah hasil maka akan mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Dalam hal ini filsafat sangat diperlukan dalam setiap tingkat kebenaran tersebut. Pada sebuah kajian filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pegetahuan. Untuk Aksiologis membahas mengenai tujuan diciptakannya ilmu pengetahan.
Selain itu, filsafat ilmu juga merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu, baik dalam ciri subtansinya, pemerolehannya ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, segala persoalan yang muncul dapat dikaji lebih mendalam, utuh, sistematis, fleksibel, karena memang pada dasarnya filsafat ingin menyelesaikan permasalahan secara lebih mendalam, kritis, rasional, logis, dan tuntas sampai ke akar-akarnya.




1.2              Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Apakah pengertian dari filsafat?
2.      Apa saja ruang lingkup yang terdapat dalam filsafat?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan filsafat?
4.      Apa saja aliran yang terdapat dalam filsafat?
5.      Bagaimana konsep dalam filsafat ilmu?

1.3              Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Menjelaskan pengertian konsep filsafat
2.      Menguraikan lingkup kajian dalam filsafat
3.      Mengetahui sejarah perkembangan dalam filsafat
4.      Menjelaskan beberapa aliran yang terdapat dalam filsafat
5.      Menjelaskan konsep dari filsafat ilmu


1.4               
BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian
            Kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kearifan. Dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah ‘philosophy’ dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah ‘falsafah’ yang biasa diterjemahkan dengan ‘cinta kearifan’. Istilah ‘philosophia’ memiliki akar kata philein yang berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh kebenaran.
            Proses mencari kebenaran dapat melalui tiga tahap. Tahap pertama manusia berspekulasi dengan pemikirannya tentang semua hal. Tahap kedua, dari berbagai spekulasi disaring menjadi beberapa buah pikiran yang dapat diandalkan. Tahap ketiga, buah pikiran tadi menjadi titik awal dalam mencari kebenaran (penjelajahan pengetahuan yang didasari kebenaran), kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, fisika, hukum, politik, dan lain-lain. Selanjutnya, diantara para filosof dan para ahli juga memberikan beberapa definisi filsafat yang lain, diantaranya sebagai berikut :
Ø  Socrates merupakan seorang filosof dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada zaman Yunani Kuno. Socrates memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
Ø  Imanuel Kant, menurutnya filsafat adalah ilmu yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi, etika, dan masalah ketuhanan.
Ø  Al-Kindi merupakan seorang filosof muslim pertama. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula.
Ø  John Dewey, menganggap filsafat sebagai suatu sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang lama dengan yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan. Filsafat merupakan suatu pengungkapan diri perjuangan-perjuangan manusia dalam usaha yang terus-menerus untuk menyesuaikan kumpulan tradisi yang lama dengan berbagai kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik yang baru.
Ø  Bertrand Russel menganggap filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari dan mencari suatu ketakselarasan yang dapat terkandung dalam asas-asas itu.
Selain para filosof dan ahli di atas, Harold Titus juga merinci pengertian filsafat sebagai berikut:
1.      Filsafat adalah sekumpulan sifat dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasa diterima secara secara kritis.
2.      Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat  kita junjung tinggi.
3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan.
4.      Filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5.      Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicari jawabannya oleh ahli filsafat
Diantara beberapa pengertian tersebut, filsafat mempunyai tempat dan kedudukan yang khusus. Filsafat tidak hanya terbatas pada salah satu bidang atau lapisan kenyataan, melainkan meliputi semua dimensi yang diteliti ilmu-ilmu lain. Filsafat bersifat total. Filsafat dipelajari menurut sebab-sebab yang mendasar (per ultimas causes), yaitu yang jadi objek formalnya. Hal ini berarti, bahwa semua yang diteliti menurut dasar-dasar yang sedalam-dalamnya, menurut inti, menurut konteks yang paling lengkap, dan menurut limit-limitnya yang paling luas.
Merujuk pada kandungan makna katanya, filsafat menyirat terhadap suatu kegiatan atau aktivitas. Sebagai kegiatan reflektif yang juga kegiatan akal budi, dalam bentuk perenungan dan satu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum. Adapun yang direfleksikan itu apa saja, dengan tujuannya untuk memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna, dan inti dari segala inti. Dengan demikian filsafat merupakan eksplisitas tentang hakikat realitas yang ada dalam kehidupan manusia, yakni hakikat manusia itu sendiri, hakikat semesta, bahkan hakikat Tuhan, baik menurut struktural, maupun menurut segi normatifnya.
Perenungan terhadap hakikat sesuatu terhadap realitas yang ada menunjukkan “kebebasan” aktivitas berfilsafat. Hasilnya dari perenungan itu sendiri akan beragam. Oleh sebab itu wajar bila pengertian filsafat cukup banyak dan beragam.
Selain itu, filsafat bukan hanya sebuah kajian yang sebatas pada ilmu saja (science for science), tetapi filsafat dapat dipergunakan untuk memberikan inspirasi dan aspirasi dalam mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi manusia. Dengan bantuan ilmu filsafat akan ditemukan cara atau solusi yang paling elegan guna dapat memecahkan persoalan yang rumit, yang mungkin tidak bisa diselesaikan dengan bantuan disiplin lain.
Dengan demikian, segala persoalan yang muncul dapat dikaji lebih mendalam, utuh, sistematis, fleksibel, karena memang pada dasarnya filsafat ingin menyelesaikan permasalahan secara lebih mendalam, kritis, rasional, logis, dan tuntas sampai ke akar-akarnya.

2.2       Lingkup Kajian

            Menurut Muzayyin Arifin, ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut.
1.      Kosmologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, serta proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
2.      Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya.
3.      Philosophy of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan bagaimana hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebiasaan berkehendak manusia, dan sebagainya.
4.      Epistemologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh, apakah dari akal pikiran (aliran rasionalisme), dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari ide-ide (aliran idealism), atau dari Tuhan (aliran teologisme), termasuk juga pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana kebenaran pengetahuan kita.
5.      Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (2003:33) dan Ana Pudjiadi (1987:15), secara garis besar filsafat memiliki tiga bidang kajian utama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Pertama, ontologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani, “ontos” yang berarti “yang ada” dan “logos” yang berarti “penyelidikan tentang”. Jadi, ontologi membicarakan asas-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui (“penyelidikan tentang”) esensi yang terdalam dari “yang ada”. Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Misalnya : objek apa yang ditelaah ilmu? apa wujud yang hakiki dari objek tersebut? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu? dan lain sebagainya.
Ontologi juga merupakan ilmu yang mengkaji tentang hakikat ilmu. Hakikat apa yang dikaji. Dikemukakan pula bahwa ontologi ilmu mengkaji apa hakikat ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi tentang apa dan bagaimana (yang) “ada” itu. Di sisi lain, ontologi adalah kajian yang memusatkan diri pada pemecahan esensi sesuatu atau wujud, tentang asas-asasnya dan realitas. Asas-asas tentang sesuatu wujud yang nyata. Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
            Dikemukakan pula bahwa ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi panca indera kita. Dengan demikian, ontologi membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi terdapat pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Manakala ruang kajian ontologi tidak semata-mata dihubungkan dengan panca indera manusia, melainkan juga pikiran (rasio), maka objek telaahnya menjadi tidak terbatas pada “wujud” materi semata. Tidak hanya objek yang bersifat fisik materi, tapi juga mencakup objek yang metafisik (metafisika).
            Dalam pengertian yang lebih luas, secara garis besarnya, pengertian ontologi dapat dirumuskan menjadi : 1) ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam arti dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak ; 2) ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya; 3) ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat yang terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna, dan keberadaan segala sesuatuyang mutlak bergantung kepada-Nya ; 4) ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semua, apakah pikiran itu nyata dan sebagainya.
            Pada saat ilmu pengetahuan berkembang, pada tahap ontologis ini manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam menghadapi masalah tertentu manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut. Membatasi pada masalah yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Lebih jelasnya, secara ontologis objek ilmu pengetahuan adalah berupa wujud, fakta, gejala, ataupun peristiwa yang dapat diindera maupun dipikirkan manusia.
Kedua, epistemologi. Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan yang ilmiah” dan logos berarti teori. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan filsafat pengetahuan, karena ia membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan.
Pengetahuan manusia terdapat tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan ini diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Melalui epistemologi diharapkan terjawab pertanyaan tentang “bagaimana”. Misalnya: bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu? bagaimana prosedurnya? bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? dan lain sebagainya.
Epistemologi juga membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Selain itu, epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengacu kepada proses. Dalam pandangan epistemologi, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia.
Epistemologi merupakan suatu bidang filsafat nilai yang mempersoalkan tentang hakikat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan tentang kebenaran. Sebagai sebuah prosedur, epistemologi memiliki berbagai perangkat dalam upaya membantu kita memperoleh ilmu pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Namun, karena pendapat tentang kebenaran itu sendiri berbeda, sesuai dengan kriterianya masing-masing, maka dalam epistemologi metode yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan itu juga mengalami perbedaan.
Sehubungan dengan itu, maka proses metodis dalam rangka memperoleh kebenaran secara epistemologi harus ditopang dengan sistem. Dengan adanya sistem, akan terbentuk hubungan yang teratur dan konsisten diantara bagian-bagian, sehingga membentuk suatu keseluruhan.
Ketiga, aksiologi. Merujuk ke asal katanya, aksiologi tersusun dari bahasa Yunani axios dan logos. Axios berarti nilai dan logos artinya teori. Aksilogi adalah “teori tentang nilai”. Nilai merupakan realitas yang abstrak yang berfungsi sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai menempati kedudukan penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat di mana sementara orang lebih siap mengorbankan hidup ketimbang mengorbankan nilai. Nilai dapat dilacak dari tiga realitas, yakni: pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok.
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ditujukan untuk kepentingan hidup manusia. Ilmu pengetahuan membantu manusia mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia mampu mengobservasi, memprediksi, memanipulasi dan menguasai alam.
Selain itu, aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian aksiologi ini adalah teori nilai. Teori nilai ini membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. Untuk menggunakan kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal yaitu filsafat sebagai kumpulan teori, filsafat sebagai pandangan hidup, dan filsafat sebagai metode pemecahan masalah.
Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya: mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan? mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral? dan sebagainya yang semuanya menunjukkan bahwa aksiologi ini diperuntukkan dalam kaitannya untuk mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak digunakan secara kurang terkontrol. Berbeda dengan ontologi dan epistemologi sudah sejak lama dikenal di dalam kajian filsafat sebagai kajian dasar dari cabang-cabang tradisional filsafat.
Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini (ontologi, epistemologi dan aksiologi). Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta seberapa jauh landasan-landasan dari ketiga aspek ini dikembangkan dan dilaksanakan. Terhadap setiap jenis pengetahuan dapat diajukan pertanyaan tentang: apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi)?. Dengan mengetahui jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut maka kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat di dalam khazanah kehidupan manusia, sehingga setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan.
2.3       Sejarah Perkembangan
Seiring dengan berjalannya waktu Ilmu Filsafat berkembang dan mengalami penyesuaian-penyesuaian sesuai zamannya. Filsafat berkembang secara dinamis dan menunjukkan ciri-ciri yang khas pada setiap tahapannya mulai dari kemunculan filsafat itu sendiri hingga saat ini. Dinamisasi perkembangan filsafat dalam sejarah dapat disebut sebagai periodisasi. Berikut periodisasi sejarah perkembangan filsafat:
1.            Zaman Pra Yunani Kuno (abad 15 SM – 7 SM)
Pada zaman pra yunani kuno mulai lahir filsafat. Saat itu mulai  berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Sebelumnya pemikiran berpusat pada mitos atau yang disebut dengan istilah mitosentris. Mulai saat itu orang mencari jawaban rasional tentang problem alam semesta, dengan demikian filsafat dilahirkan. Pada zaman ini ditandai oleh kemampuan :
a.    Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman.
b.    Pengetahuan  yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis.
c.    Kemampuan  menemukan  abjad  dan  sistem  bilangan  alam  sudah  menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
d.   Kemampuan  menulis,  berhitung,  menyusun  kalender  yang  didasarkan  atas  sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan.
e.    Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.

2.              Zaman Yunani Kuno (abad 7 SM – 2 SM)
Dalam masa ini, terjadi perubahan pola pikir mitosentris yaitu pola pikir yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam. Hal tersebut tecermin dalam pemikiran filsuf-filsuf pada saat itu. Filsuf pertama yaitu Thales (624-546 SM) yang muncul dengan pemikirannya tentang asal-usul alam. Thales mengemukakan pemikirannya tentang air. Ia mengatakan bahwa alam berasal dari air, karena air merupakan unsur terpenting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi gas seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Filsuf kedua Heraclitos yang berpendapat bahwa segala yang ada selalu berubah dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa arche (asas yang pertama dari alam semesta) adalah api. Api sebagai lambang perubahan dan kesatuan. Api bersifat memusnahkan segala yang ada dan mengubah sesuatu tersebut menjadi abu atau asap. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri. Sehingga Heracllitos menyimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Selain Heraclitos, ada pula Parmenides. Ia merupakan ahli filsuf yang pertama kali memikirkan hakikat tentang ada. Menurut pendapat Parmenides apa yang disebut sebagai realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada itu ada, yang ada dapat hilang menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan. Dengan demikian, yang ada itu satu, umum, tetap, dan tidak dapat di bagi-bagi karena membagi yang ada akan menimbulkan atau melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin.
Zaman keemasan atau puncak dari filsafat Yunani Kuno atau Klasik, dicapai pada masa Socrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates muncul dengan pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah. Ia berpendapat bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan. Lain halnya dengan muridnya, Plato yang berpendapat bahwa manusia berada dalam dua dunia yaitu ‘dunia pengalaman’ yang bersifat tidak tetap dan ‘dunia ide’ yang bersifat tetap. Dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas adalah dunia ide. Filsafat Plato dikenal sebagai idealisme dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi dari suatu dunia ‘ide’. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi, dan filsafat alam.
Lain halnya dengan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal berlawanan pemikirannya. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Karya-karya Aristoteles meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi, ilmu alam, retorika dan poetika, politik dan ekonomi. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan.

3.            Zaman Pertengahan (abad 2 SM - 14 SM)
              Zaman pertengahan ditandai dengan munculnya para theolog di bidang ilmu pengetahuan. Kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang muncul pada masa ini adalah Anchila Theologia (abdi agama). Filsafat pada jaman pertengahan dikuasai oleh pemikiran keagamaan Kristiani. Puncak dari filsafat Kristiani adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik.
Periode patriktis mengalami 2 tahap yakni:
·        Permulaan agama kristen
·        Filsafat agustinus; yang terkenal pada masa patristik
Periode skolastik mengalami 3 tahap yakni:
·        Periode  awal,  ditandai  dengan  pembentukan metode  yang  lahir  karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat
·        Periode puncak, ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat arab dan yahudi
·        Periode  akhir,  ditandai  dengan  pemikiran  kefilsafatan  yang  berkembang kearah nominalisme.
Skolastik Patristik dibagi menjadi dua yaitu Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani antara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254). Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430).



4.      Zaman Renaissance (Abad 14 M – 17 M)
Zaman Renaissance ditandai dengan munculnya pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissanse adalah zaman peralihan atau zaman yang menjembatani antara zaman pertengahan ke zaman modern.
Beberapa filsuf yang muncul pada saat itu antara lain Roger Bacon yang berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik merupakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Menurut Bacon, filsafat harus dipisahkan dari theologi.
Copernicus muncul dengan pemikirannya yang kemudian terkenal dengan sebutan Heliosentrisnya di mana ia mengemukakan bahwa matahari berada di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi matahari. Saat itu, pendapatnya memiliki tolak belakang dengan anggapan kaum gereja bahwa alamlah mengelilingi bumi yang terkenal dengan istilah Geosentrisme.
Tokoh-tokoh lain yang muncul pada zaman Renaissance antara lain Tycho Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Secara garis besar, pembaharuan  yang sangat bermakna  pada  zaman  ini  adalah “antroposentrisme”nya.  Artinya  pusat perhatian  pemikiran  tidak  lagi  kosmos  seperti pada jaman Yunani Kuno, atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.

5.            Zaman Modern (Abad 17-19 M)
Zaman ini ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari berbagai aliran muncul. Paham–paham yang muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idealisme, dan Empirisme.
Paham Rasionalisme diikuti oleh tiga tokoh yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz, mereka mendukung pemikiran bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Sedangkan aliran Idealisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa. Para pengikut paham ini pada umumnya mengikuti filsafat kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif merupakan murid Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme Objektif. Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat Idealisme Mutlak Hegel.
Pada Paham Empirisme dipelopori oleh Thomas Hobes John Locke dan David Hume. Dalam pahamnya, mereka mengajarkan bahwa pengalaman mendahului pikiran, atau dengan kata lain tidak ada sesuatu dalam pikiran selain didahului pengalaman. Ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme.

6.            Zaman Kontemporer (Dimulai pada abad ke 20)
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer dalam konteks ini adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Masa kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan yang terjadi hingga saat ini. Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, kritisnya umat manusia, dan adanya alat-alat yang canggih merupakan ciri berkembangnya filsafat di zaman kontemporer. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi.
Dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan polemik baru. Timbulnya kekacauan pada kehidupan manusia karena berbagai persoalan, baik itu masalah sosial budaya atau pun masalah yang ditimbulkan karena eksploitasi yang dilakukan oleh umat manusia. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi mutakhir seakan-akan berbalik untuk menghantam penciptanya sendiri.
Zaman kontemporer ini juga telah melahirkan pemikiran baru yang dinamai aliran post-positivisme. Paham ini didukung oleh Rich, yang tidak menerima adanya satu kebenaran mutlak sebagaimana dikemukakan dalam pernyataan “There is no the truth nor a truth. Truth is not one thing, or even a system. It is an increasing completely”. Paham ini meyakini bahwa pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh hanya sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa yang disebut ‘obyektivitas’ di mana “Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally”.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, karena penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian. Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik, yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial ilmuwan dan pentingnya paradigma kultural, terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.

2.4       Aliran Filsafat
1.           Aliran-aliran dalam Persoalan Keberadaan
Persoalan dalam keberadaan menimbulkan tiga segi pandangan, yaitu:
Pertama, keberadaan dipandang dari segi jumlah, banyak (kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Segi masalah kuantitas ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya.
(1)    Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokoh-tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM), Anaximander (610-547 SM), Anaximanes (585-528 SM), dan Baruch Spinoza.
(2)    Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. Tokoh-tokohnya antara lain: Plato (428-348 SM), Descartes (1596-1650), Leibniz (1646-1716), dan Immanuel Kant (1724-1804).
(3)    Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme di antaranya: Empedokles (490-430 SM), Anaxagores (500-428 SM), Leibniz (1646-1716), Mitchel Foucault, J.J. Derrida dan J.F. Lyotard.
Kedua, keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut.
(1)   Spiritualisme yang mengandung beberapa arti.
(a)    Spiritualisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pheuma, Nous, Reason, Logos) yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiritualisme dalam arti ini dilawankan dengan materialisme.
(b)   Spiritualisme kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistik yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indra dalam pengertian ini dipandang sebagai dunia idea.
(c)    Spiritualisme dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama.
(d)   Spiritualisme berarti kepercayaan bahwa roh-roh orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup melalui orang-orang tertentu yang menjadi perantara dan lewat bentuk wujud yang lain.  Istilah spiritualisme lebih tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini.
Aliran spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh-tokoh aliran ini di antaranya adalah Plato (430-348 SM) tentang ajarannya tentang idea (cita) dan jiwa dan Leibniz (1646-1718) dengan teorinya tentang monade.
(2)             Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang terlihat, dapat diraba, berbentuk, menempati ruang. Tokoh-tokohnya antara lain: Demokritos (460-370 SM) dan Thomas Hobbes (1588-1679).
Ketiga, keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian atau perubahan,. Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini di antaranya adalah sebagai berikut.
(1)               Mekanisme (serba-menis)  menyatakan bahwa semua gejala (peristiwa) dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik (mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidah-kaidahnya. Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa berdasar pada sebab kerja (efficient cause) yang dilawankan dengan sebab tujuan (final cause). Alam dianggap seperti sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan yang bercorak mekanistik dalam kosmologi pertama kali diajukan oleh Leucippus dan Democritus yang berpendirian bahwa alam dapat diterangkan berdasar pada atom-atom yang bergerak dalam ruang kosong. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-1641) dan filsuf lainnya pada abad 17 sebagai filsafat mekanik.
Descartes menganggap bahwa hakikat materi adalah keluasan (extension), dan semua gejala fisik dapat diterangkan dengan kaidah-kaidah mekanik. Sedang bagi Imanuel Kant, kepastian dari suatu kejadian sesuai dengan kaidah sebab-akibat (causality) sebagai suatu kaidah alam.
Pandangan yang bercorak mekanistik dalam biologi menyatakan bahwa organisme secara keseluruhan dapat diterangkan berdasar pada asas-asas mekanik. Pandangan semacam ini dilawankan dengan vitalisme. Teori mekanik ini diterapkan juga dalam bidang psikologi  assosiasional dan dalam psikoanalisa diterapkan pada sasaran bawah sadar dari suatu proses mental.
(2)               Teleologi (serba-tujuan) berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semua memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Plato membedakan antara idea dengan materi.  Tujuan berlaku di alam idea, sedangkan kaidah sebab-akibat berlaku dalam materil.
Menurut Aristoteles, untuk memahami kenyataan yang sesungguhnya kita harus memahami adanya empat macam sebab, yaitu sebab bahan (material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab kerja (efficient cause), sebab tujuan (final cause). Sebab bahan adalah bahan yang menjadikan sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah yang menjadikan sesuatu itu berbentuk; sebab kerja adalah yang menyebabkan bentuk itu bekerja atas bahan; sebab tujuan adalah yang menyebabkan tujuan semata-mata karena perubahan tempat atau gerak. Di bidang ini semata-mata berkuasa kaidah sebab akibat yang pasti. Sebaliknya segala kejadian tujuannya adalah menimbulkan sesuatu bentuk atau sesuatu tenaga. Namun dikatakan juga bahwa kegiatan alam mengandung suatu tujuan. Sehubungan dengan masalah ini kaidah sebab akibat hanyalah sebagai alat bagi alam untuk mencapai tujuannya. 
(3)               Vitalisme memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme Hans Adolf Eduard Driesch (1867-1940) menjelaskan bahwa setiap organisme memiliki entelechy. Dalam hidup bekerja suatu asas khusus yang disebut asas hidup yang dinamakan entelechy. Henry Bergson (1859-1941) menyebutnya elan vital. Dikatakannya bahwa elan vital merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu vitalisme sering juga dinamakan finalisme.
(4)               Organisisme, aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme. Menurut oganisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem yang teratur. Semua bagian bekerja di bawah kebulatannya.

2.      Aliran-aliran dalam Persoalan Pengetahuan
Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran berikut.
(1)               Rasionalisme, berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal. Akal memperoleh bahan lewat indra untuk kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara memperoleh kepastian melalui langkah-langkah metodis yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum untuk mendapat kesimpulan yang bersifat khusus.
Rene Descrates membedakan tiga idea yang ada dalam diri manusia, yaitu innate ideas adalah ide bawaan yang dibawa manusia sejak lahir; adventitious ideas adalah ide-ide yang berasal dari luar diri manusia; facitious ideas adalah ide-ide yang dihasilkan dari pikiran itu sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Spinoz dan Leibniz.
(2)               Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memeroleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuan yang berupa pengalaman terdiri dari penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam.
Aliran-aliran yang timbul dan sebagai pendukung tradisi empirisme adalah Posivisme Perancis, Posivisme Logis dari Lingkaran Wina, Analisa Filsafati Inggris dan berbagai aliran psikologi behavioristik.
(3)               Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek-objek tersebut tidak bergantung adanya pada yang mengetahui, yang mencerap atau tidak bergantung pada pikiran. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, akan tetapi interaksi ini tidak memengaruhi sifat dasar dunia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menyadarinya dan akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadarinya.
(4)               Kritisisme adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan pengetahuan dengan tokohnya Immanuel Kant. Titik tolak Kant adalah waktu dan ruang sebagai dua bentuk pengamatan. Akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (dari indra sebagai empiri extern dan dari pengalaman sebagai empiri intern). Bahan-bahan yang berupa empiri tersebut masih kacau. Kemudian akal mengatur dan menertibkan dalam bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Bahan-bahan empiri tersebut ditempatkan yang satu sesudah yang lain. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan, sedangkan pengolahan oleh akal merupakan pembentuknya.
 Persoalan pengetahuan yang menekankan pada hakikat pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran berikut ini.
(1)               Idealisme berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental atau pun proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang kenyataan. Pengetahuan tidak menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya atau pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat tentang hakikat sesuatu yang berada di luar pikiran.
(2)               Empirisme berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah berupa pengalaman. David Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa idea-idea dapat dikembangkan pada sensasi-sensasi (rangsang indra). Pengalaman merupakan pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda-benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indra.
(3)               Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Sikap negatif positivisme terhadap kenyataan yang di luar pengalaman telah memengaruhi berbagai bentuk pemikiran modern: pragmatisme, instrumentalisme, naturalisme ilmiah dan behaviorisme. Penganut analis filsafati dewasa ini pada umumnya adalah penganut empirisme. Beberapa tokoh di antaranya mengatakan bahwa pernyataan yang mengandung arti adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris. Pernyataan yang tidak berdasar pengalaman atau tidak dapat diverifikasi dianggap tidak bermakna atau bukan merupakan pengetahuan.
(4)               Pragmatisme tidak mempersoalkan apa hakikat pengetahuan melainkan melainkan menanyakan apa guna pengetahuan tersebut. Daya pengetahuan hendaklah dipandang sebagai sarana bagi perbuatan.
  C.S. Pierce menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah ide atau suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh tentang akibat yang dapat kita saksikan. Nilai dari suatu pengertian atau pengetahuan bergantung pada penerapannya yang nyata dalam masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan benar tidak karena pengetahuan itu mencerminkan kenyataan, melainkan dikatakan benar kalau dapat membuktikan manfaatnya bagi umum. William James menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal itu ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, tetapi pengertian hanya dapat menjadi benar, ukuran kebenaran hendaknya dicari dalam tingkatan seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas.
John Dewey menyatakan bahwa tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu pengetahuan, melainkan sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi John Dewey, kegunaan atau kemanfaatan untuk umum hendaknya menjadi ukuran, sedangkan daya untuk mengetahui dan daya untuk berpikir merupakan sarana. Bukan pengetahuan itu sendiri yang benar tetapi pengertian itu baru menjadi benar daalam rangka proses penerapannya. Dengan demikian pengetahuan bersifat dinamis, karena harus sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang silih berganti dan yang mencerminkan hakikat alam semesta ini.

3.      Aliran-aliran dalam Persoalan Nilai-nilai (Etika)
(1)               Idealisme Etis adalah aliran yang meyakini hal-hal yang berikut ini.
(a)                Adanya suatu skala nilai-nilai, asas-asas moral, atau aturan-aturan untuk
bertindak.
(b)               Lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual (kerohanian) atau pun
mental daripada yang bersifat indrawi atau kebendaan.
(c)                Lebih mengutamakan kebebasan moral daripada ketentuan kejiwaan atau
alami.
(d)               Lebih mengutamakan hal yang umum dari pada hal yang khusus.

(2)               Deontologisme Etis berpendirian bahwa sesuatu tindakan dianggap baik
tanpa disangkutkan dengan nilai kebaikan sesuatu hal. Yang menjadi dasar
moralitas adalah kewajiban. Sesuatu perbuatan dikatakan wajib secara
moral tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya. Deontologisme etis dilawankan dengan etika aksiologis (etika yang mendasarkan pada teori nilai). Deontologisme etis juga disebut formalisme dan juga intuisionisme.
(3)               Etika Teleologis merupakan bagian dari etika aksiologis (etika berdasar       nilai) yang membuat ketentuan bahwa kebaikan atau kebenaran suatu tindakan sepenuhnya bergantung pada sesuatu tujuan atau sesuatu hasil.
(4)               Hedonisme menganjurkan manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada kenikmatan, kesenangan (pleasure). Penganjur aliran ini adalah Cyreaics (400SM) menyatakan bahwa hidup yang baik adalah memperbanyak kenikmatan melalui kenikmatan indra yang intelek.
Sebaliknya Epikurus (341-270 SM) menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Epikurus tidak menganjurkan manusia untuk mengejar semua kenikmatan yang sesuai dengan intelegensi dan tengah-tengah. Kegembiraan pikiran adalah lebih tinggi dari kenikmatan jasmani.
(5)               Utilitarisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakkan yang menimbulkan kenikmatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia yang sebanyak-banyaknya.
2.5       Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmiah yang memiliki ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan - permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Dikatakan filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, ke manakah dan apakah.
Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskriptif (penggambaran).
Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas. Pertanyaan ke mana menanyakan apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang sedangkan pertanyaan apakah menanyakan apa yang terjadi pada saat itu.    
Selain itu, definisi filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu.  Filsafat adalah berpikir secara mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran sedang ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang (pengetahuan) yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan  untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu. Sebagaimana yang dirumuskan para ahli sebagaimana yang dikutip A. Susanto dalam Filsafat Ilmu  sebagai  berikut  :
1. Menurut  Berry  filsafat  Ilmu  adalah penelaahan tentang  logika intern  dan  teori – teori  ilmiah  dan  hubungan – hubungan   antara  percobaan  dan teori,  yakni tentang  metode  ilmiah. Bagi  Berry, filsafat  ilmu  adalah  ilmu  yang  dipakai  untuk menelaah  tentang  logika, teori – teori  ilmiah  serta  upaya  pelaksanaannya  untuk  menghasilkan suatu metode atau  teori  ilmiah.
2. Menurut Lewis  White filsafat  ilmu  atau  philosophy  of science  adalah  ilmu  yang  mengkaji  dan  mengevaluasi  metode – metode  pemikiran  ilmiah  serta  mencoba  menemukan dan pentingnya  upaya  ilmiah  sebagai  suatu  keseluruhan. Lebih jauh   Lewis menjelaskan   filsafat  ilmu  adalah  ilmu  yang mempertanyakan  dan  menilai  metode – metode pemikiran  ilmiah  serta  mencoba menetapkan  nilai  dan pentingnya  usaha  ilmiah  sebagai  suatu  keseluruhan. Melalui  filsafat  ilmu  ini  kita  akan mampu  memahami  dan menetapkan  akan  arti  pentingnya  usaha  ilmiah, sebagai  suatu  keseluruhan.
3. A. Cornelius  Benyamin, mengemukakan  bahwa filsafat  ilmu  adalah  studi  sistematis  mengenai  sifat  dan  hakikat  ilmu, khususnya  yang  berkenaan  dengan  metodenya,  konsepnya, kedudukannya  di  dalam skema umum  disiplin intelektual. Benyamin lebih melihat  sifat  dan hakikat  ilmu  ditinjau  dari  aspek  metode, konsep, dan kedudukannya  dalam disiplin keilmuan.
4. Robert  Ackermann, filsafat  ilmu  adalah sebuah  tinjauan  kritis tentang  pendapat – pendapat  ilmiah  dewasa  ini dengan perbandingan  terhadap  pendapat – pendapat  lampau  yang  telah dibuktikan  atau  dalam  rangka  ukuran – ukuran  yang  dikembangkan   dari  pendapat – pendapat  demikian itu, tetapi  filsafat  ilmu  demikian  jelas  bukan  suatu  cabang  ilmu  yang  bebas  dari  praktik  ilmiah senyatanya .
5. Menurut  Beerling, filsafat ilmu  adalah  penyelidikan  tentang  ciri – ciri  mengenai  pengetahuan  ilmiah  dan  cara –  cara  untuk  memperoleh  pengetahuan tersebut. Filsafat  ilmu  erat  kaitannya  dengan  filsafat  pengetahuan atau  epistemologi  yang  secara  umum  menyelidiki  syarat –  syarat  serta  bentuk  bentuk  pengalamn  manusia juga  mengenai  logika  dan  metodologi.
6. Jujun  S, Suriasumantri  menjelaskan  bahwa  filsafat  ilmu  merupakan  suatu pengetahuan  atau  epistemologi  yang  mencoba  menjelaskan  rahasia  alam  agar  gejala  alamiah  tak  lagi  merupakan  misteri, secara  garis  besar, Jujun  menggolongkan pengetahuan  menjadi  tiga  kategori  umum, yakni  1) pengetahuan  tentang  yang  baik dan  yang  buruk  yang  disebut juga  dengan  etika  2) pengetahuan tentang  indah  dan jelek,  yang  disebut  dengan estetika  atau  seni   3)  pengetahuan  tentang  yang benar  dan salah, yang  disebut  dengan  logika.
Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia.
Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, dewasa ini terdapat tiga macam pendapat.
Pertama, pendapat bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tertutup, dalam arti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan, science for the sake of science only merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberikan justifikasi. Dengan ini, ilmu cenderung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya. Science for the sake human progress adalah pendirinya.
Sebagai produk politik yang dijabarkan secara konstitusional dalam GBHN, ditentukan bahwa Iptek selain merupakan asas, faktor dominan, juga dinyatakan sebagai sasaran pembangunan. Dengan demikian bagi kita strategi pembangunan ilmu pengetahuan (dan teknologi) tidak dapat dilepaskan dari garis politik pembangunan nasional kita yang aktualitasnya seperti berikut ini.
1.    Visi dan orientasi filsafatinya haruslah diletakan pada nilai-nilai Pancasila sebagai cermin budaya bangsa.
2.    Visi dan orientasi praksisnya haruslah diletakkan pada sifat-sifat teleologis, etis, dan integratif.
 Teleologis dalam arti bahwa ilmu pengetahuan sebagai asas pembangunan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan (teleos) yaitu ideal sebagaimana digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945.
Etis dalam arti bahwa ilmu pengetahuan diterapkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Bukan manusia yang direkayasa ilmu, tetapi sebaliknya. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
Integratif dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan selain untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia atau kualitas SDM, juga dimaksudkan untuk meningkatkan struktur dan kultur masyarakat. Manusia tidak pernah terisolasi, manusia selalu berada dalam relasi dengan sesama dan lingkungan masyarakatnya. Peningkatan kualitas SDM hanya akan mempunyai arti dan makna apabila terintegrasikan ke dalam masyarakat yang juga ditingkatkan struktur dan kulturnya.
Dalam hal itu, sebagaimana dampak pengaruh globalisasi baik positif maupun negatif yang tidak dapat dielakkan, maka tidak dapat dielakkan pula adanya urgensi untuk mengembangkan ilmu, tidak hanya atas dasar metodologi yang dibatasi oleh context of justification, melainkan juga atas dasar heuristik yang bergerak dalam context of discovery.




BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak rumusan mengenai filafat itu sendiri, namun pada hakikatnya rasa ingin tahu akan mendorong seseorang untuk berfilsafat melalui proses ontologi, epistemolog, dan aksiologi. Maka dengan demikian, filsafat dapat membantu memecahkan persoalan yang muncul secara lebih mendalam, utuh, sistematis, fleksibel, karena memang pada dasarnya filsafat ingin menyelesaikan permasalahan secara lebih mendalam, kritis, rasional, logis, dalam rangka mencari kebenaran. Adapun kebenaran itu sendiri tidaklah bersifat mutlak tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan. Begitu pun dalam sejarah perkembangannya, filsafat mengalami pasang surut hingga akhirnya melahirkan paradigma-paradigma baru hingga masa kontemporer muncul polemik yang dilandasi oleh degradasi kehidupan manusia dan pemikiran yang lahir mengalami pembaharuan dari periode-periode sebelumnya. Hal itu menjadi landasan munculnya beragam aliran dalam filsafat dan dinamisasi itu sendiri telah mengantarkan pengetahuan sampai pada filsafat ilmu.

3.2  Saran

Dengan mengetahui konsep dasar dan sejarah mengenai filsafat dan filsafat ilmu, diharapkan dapat membantu pembaca dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai penyusun, kami menyadari banyak hal yang masih kurang. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan atau kekeliruan, mohon kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar-Dasar Psikologis Dalam Analisis Kontrastif

BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang James menyatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat dengan Anakon bersifat hybrid atau berkembang. Anakon adalah suatu upaya linguistik yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan. [1] Hakikat dan posisi anakon dalam ranah linguistik yaitu: pertama, anakon berada di antara dua kutub generalis dan partikularis. Kedua, anakon menaruh perhatian dan tertarik kepada keistimewaan bahasa dan perbandingannya. Ketiga, anakon bukan merupakan suatu klasifikasi rumpun bahasa dan faktor kesejarahan bahasa-bahasa lainnya serta anakon tidak mempelajari gejala-gejala bahasa statis yang menjadi bahasan linguistik sinkronis. Ellis membagi anakon menjadi dua aspek yaitu: aspek linguistik dan aspek psikologis. [2] Dalam ranah linguistik terdapat suatu cabang yang disebut telaah antarbahasa. Cabang lingistik ini tertarik kepada kemunculan bahasa...

Cakupan Linguistik Dengan Pendekatan Struktural dan Fungsional

BAB I PENDAHULUAN A.        Dasar Pemikiran Kalau kita mendengar kata linguistik, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kata bahasa, dan memang benar linguistik seperti yang dikatakan oleh Martinet (1987:19) [1] , telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Bahasa adalah objek utama yang dibahas  pada kajian linguistik. Bahasa sebagai objek kajian linguistik bisa kita bandingkan dengan peristiwa-peristiwa alam yang menjadi objek kajian ilmu fisika; atau dengan berbagai penyakit dan cara pengobatannya yang menjadi objek kajian ilmu kedokteran; atau dengan gejala-gejala sosial dalam masyarakat yang menjadai objek kajian sosiologi. Perbandingan ini akan dibahas juga pada pembahasan selanjutnya. Meskipun dalam dunia keilmuan ternyata yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya bukan hanya linguistik, tetapi linguistik tetap merupakan ilmu yang memperlakukan bahasa sebagai bahasa, sedangkan ilmu lain tidak demikian. Kata linguistik (yang...

Ontologi, Metafisika, Asumsi, Peluang

BAB I PENDAHULUAN 1.                   Latar Belakang Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta, untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya, sedangkan proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Adapun beberapa cakupan ontologi adalah Metafisika, Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah ilmu. Membahas ilmu pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan metafisika. Metafisika merupakan sebuah ilmu, yakni suatu pencarian dengan daya intelek yang bersifat sistematis atas data pengalaman yang ada. Metafisiska sebagai ilmu yang mempunyai objeknya tersendiri, hal inilah yang membedakannya dari pendekatan rasional yang lain. Setiap manusia yang baru dilahirkan ...